Etika dan Tanggungjawab Sosial dalam Pemasaran: Refleksi Fenomena Lingkungan dan Pariwisata di Bali

Oleh Made Putra Widyasana

 

BALI saat ini berada pada titik refleksi yang sangat penting dalam perjalanan pembangunannya. Berbagai fenomena alam, sosial, dan lingkungan muncul secara bersamaan dan saling terkait, mulai dari banjir ekstrem akibat cuaca dan alih fungsi lahan, tekanan pariwisata berlebih (overtourism), hingga degradasi nilai budaya yang semakin terasa dalam praktik ekonomi dan pemasaran.

Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapi Bali bukan semata persoalan alam atau pariwisata, melainkan persoalan cara manusia memaknai pembangunan dan keuntungan, termasuk bagaimana pemasaran dijalankan.

Dalam konteks inilah, etika dan tanggung jawab sosial dalam pemasaran menjadi isu yang sangat relevan, nyata, dan mendesak untuk dibahas, karena pemasaran merupakan proses penciptaan dan komunikasi nilai yang berdampak luas terhadap masyarakat dan lingkungan (Kotler & Keller, 2016).

Fenomena banjir ekstrem yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di Bali menjadi contoh paling jelas dari krisis relasi antara manusia dan lingkungan. Wilayah seperti Denpasar, Badung, hingga Gianyar kerap dilanda banjir saat hujan lebat, termasuk di kawasan perkotaan dan daerah yang sebelumnya jarang terdampak. Banjir di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jalan Cokroaminoto, hingga area sekitar Sungai Badung bukan lagi peristiwa langka.

Jika ditelusuri lebih dalam, banjir ini tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi, tetapi juga oleh menyempitnya daerah resapan air akibat alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan permukiman, pusat komersial, vila, dan hotel. Ironisnya, banyak pembangunan tersebut justru dipromosikan sebagai hunian atau destinasi wisata yang “menyatu dengan alam”.

Ketidaksesuaian antara klaim pemasaran dan realitas ekologis inilah yang menunjukkan krisis etika dalam praktik pemasaran, di mana promosi tidak lagi mencerminkan kejujuran dan tanggung jawab moral kepada publik (Crane & Matten, 2016).

Alih fungsi lahan pertanian dan ruang hijau juga semakin masif terjadi di Bali bagian selatan dan kawasan penyangga pariwisata. Sawah-sawah produktif di Canggu, Umalas, Pererenan, hingga sebagian wilayah Tabanan perlahan berubah menjadi vila, beach club, dan akomodasi wisata. Kawasan yang dahulu dikenal sebagai lumbung pangan kini lebih dikenal sebagai pusat gaya hidup dan hiburan.

Dalam konteks pemasaran, banyak pelaku usaha menggunakan narasi “pemandangan sawah”, “nuansa desa”, dan “ketenangan alam Bali” sebagai daya tarik utama, padahal pembangunan mereka sendiri menjadi penyebab hilangnya lanskap tersebut. Praktik ini menunjukkan bagaimana pemasaran dapat berkontribusi pada normalisasi eksploitasi lingkungan jika tidak dibingkai oleh etika dan tanggung jawab sosial.

Tekanan pariwisata berlebih atau overtourism juga semakin nyata dirasakan, khususnya di kawasan selatan Bali. Daerah seperti Kuta, Seminyak, Canggu, Ubud, hingga Uluwatu mengalami lonjakan wisatawan yang jauh melampaui daya dukung lingkungan dan sosial.

Kemacetan parah di jalur Canggu–Berawa, penumpukan sampah di kawasan wisata, serta meningkatnya konflik ruang antara masyarakat lokal dan pelaku usaha menjadi fenomena sehari-hari.

Namun dalam praktik pemasaran, Bali tetap dipromosikan secara masif sebagai destinasi yang harus dikunjungi tanpa batas, seolah-olah ruang, air, dan alam Bali tidak memiliki kapasitas maksimum. Pemasaran pariwisata semacam ini mendorong konsumsi berlebihan dan mengabaikan keberlanjutan jangka panjang.

Isu yang semakin problematis adalah penggunaan nilai Tri Hita Karana sebagai tameng dan alat promosi di tengah krisis tersebut. Tri Hita Karana, yang menekankan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam, sejatinya merupakan filosofi hidup masyarakat Bali. Namun dalam praktik pemasaran modern, nilai luhur ini kerap direduksi menjadi slogan, label, atau jargon yang dilekatkan pada hotel, vila, restoran, dan destinasi wisata.

Tidak jarang konsep Tri Hita Karana digunakan untuk membangun citra ramah lingkungan dan budaya, sementara pada saat yang sama aktivitas bisnis justru berkontribusi pada kerusakan lingkungan, penguasaan ruang, dan marginalisasi masyarakat lokal.

Penggunaan Tri Hita Karana sebagai strategi branding tanpa implementasi nyata dapat dipandang sebagai bentuk ketidakjujuran moral dalam pemasaran, karena nilai budaya seharusnya dijalankan sebagai praktik hidup, bukan sekadar simbol komunikasi komersial (Pemerintah Provinsi Bali, n.d.).

Ketika sebuah usaha mengklaim menghormati alam tetapi beroperasi di kawasan resapan air, ketika mengklaim menghargai masyarakat lokal tetapi tidak melibatkan mereka secara adil dalam rantai ekonomi, maka nilai tersebut kehilangan makna etikanya.

Dalam perspektif etika pemasaran, ketidaksesuaian antara pesan dan praktik merupakan masalah serius karena menyesatkan konsumen dan merusak kepercayaan publik.

Etika pemasaran menuntut lebih dari sekadar kepatuhan hukum. Ia menuntut kejujuran, transparansi, dan kesadaran akan dampak sosial serta lingkungan dari setiap aktivitas bisnis.

Dalam konteks Bali, pemasaran yang etis berarti berani membatasi klaim, jujur terhadap kapasitas alam, dan tidak menjadikan budaya serta lingkungan sebagai komoditas semata. Pemasaran seharusnya mencerminkan praktik nyata, bukan sekadar membangun citra yang indah di permukaan.

Tanggung jawab sosial dalam pemasaran juga menuntut perubahan orientasi bisnis, dari pertumbuhan tanpa batas menuju keberlanjutan, di mana perusahaan diharapkan menciptakan nilai ekonomi sekaligus nilai sosial dan lingkungan secara bersamaan (Kotler & Lee, 2005; Porter & Kramer, 2011).

Pelaku usaha perlu menyadari bahwa reputasi dan keberlangsungan jangka panjang tidak dibangun melalui kampanye hijau atau simbol budaya semata, tetapi melalui tindakan konkret.

Pengelolaan limbah yang bertanggung jawab, perlindungan ruang hijau, keterlibatan masyarakat lokal, serta kesediaan membatasi skala usaha sesuai daya dukung lingkungan merupakan bentuk nyata dari tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, pemasaran seharusnya menjadi alat komunikasi atas praktik-praktik tersebut, bukan alat untuk menutupinya.

Lebih jauh lagi, pemasaran memiliki kekuatan besar dalam membentuk cara pandang dan perilaku manusia. Narasi yang disebarkan melalui iklan, media sosial, dan promosi pariwisata memengaruhi bagaimana wisatawan, investor, dan bahkan masyarakat lokal memandang Bali.

Oleh karena itu, pemasaran memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya membujuk, tetapi juga mendidik. Promosi yang bertanggung jawab dapat mendorong wisatawan untuk lebih sadar lingkungan, menghormati budaya lokal, dan memahami batas-batas ruang hidup Bali. Dengan demikian, pemasaran tidak hanya menjual pengalaman, tetapi juga menanamkan kesadaran.

Sebagai refleksi akhir, berbagai fenomena nyata yang terjadi di Bali—banjir di kawasan perkotaan, alih fungsi lahan pertanian, kemacetan dan tekanan sosial akibat overtourism, serta komodifikasi nilai Tri Hita Karana—menunjukkan bahwa krisis yang dihadapi bukan semata krisis alam, melainkan krisis etika.

Etika dan tanggung jawab sosial dalam pemasaran bukan lagi pilihan, melainkan keharusan moral. Ketika pemasaran dijalankan dengan kesadaran etis, ia dapat menjadi sarana untuk memperbaiki relasi manusia dengan alam dan sesamanya.

Harapannya, melalui pemasaran yang lebih jujur, bertanggung jawab, dan berlandaskan nilai, masyarakat Bali—baik pelaku usaha, konsumen, maupun wisatawan—dapat tumbuh menjadi manusia yang lebih sadar, lebih adil, dan lebih menghormati kehidupan.

Inilah peran pemasaran yang tidak hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga menjaga Bali sebagai ruang hidup yang bermartabat bagi generasi kini dan mendatang. []

*) Penulis adalah Mahasiswa S2 Ilmu Manajemen Universitas Pendidikan Ganesha 

 

DAFTAR SUMBER

– Crane, A., & Matten, D. (2016). Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization. Oxford University Press.
– Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing Management (15th ed.). Pearson Education.
– Kotler, P., & Lee, N. (2005). Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. John Wiley & Sons.
– Porter, M. E., & Kramer, M. R. (2011). Creating shared value. Harvard Business Review, 89(1/2), 62–77.
– Rahayu, S., & Pratama, A. (2023). Etika dan tanggung jawab sosial dalam pemasaran global: Membangun reputasi yang berkelanjutan. Minfo Polgan, 12(2), 133–145.
– Putra, D. A., & Lestari, N. P. (2024). Etika dan tanggung jawab sosial dalam pemasaran global. Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Manajemen, 2(12), 87–101.
– United Nations World Tourism Organization (UNWTO). (2018). Overtourism? Understanding and Managing Urban Tourism Growth beyond Perceptions. UNWTO.
– Pemerintah Provinsi Bali. (n.d.). Tri Hita Karana sebagai landasan pembangunan Bali. Pemerintah Provinsi Bali.
– Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali. (n.d.). Laporan kondisi lingkungan hidup dan alih fungsi lahan di Bali. DLH Provinsi Bali.
– BaliSharing. (2025). Artikel dan refleksi isu lingkungan, kebencanaan, dan sosial di Bali. Diakses dari https://www.balisharing.com/

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *