SEBUAH sepeda motor. Sebentuk kayu yang disusun sedemikian rupa diikatkan di atas sadel. Seperangkat tumbler, untuk wadah kopi, gula, dan susu ada di atasnya.
Gelas-gelas plastik dan sendok melengkapi. Sejumlah buku jadi pemanis penampilan. Digantungkan juga papan lingkaran bertuliskan “Open”, dan papan bertulis ”Kasir”.
Jadilah warung kopi keliling. Namanya “Mai Nongki”. Ah, mungkin tak istimewa bagi warga. Toh banyak pedagang kopi keliling sejenis itu, di daerah lain, di kota lain.
Tapi warung kopi keliling “Mai Nongki” sungguh beda. Bisa disebut juga istimewa. Usaha ini dijalankan oleh mahasiswa. Ya mahasiswa yang kuliah di kampus di Singaraja. Jadinya, warung kopi keliling “Mai Nongki” menjadi ruang produktif bagi mahasiswa.
Munculnya usaha warung kopi keliling “Mai Nongki” memang berangkat dari keprihatinan terhadap mahasiswa perantau. Mereka harus pintar-pintar jatah uang dari ortunya. Kalau tidak, ya harus hidup prihatin, yang tak hanya menekan kantong, tetapi juga batin.
Warung kopi keliling “Mai Nongki” bisa menjadi solusi bagi mahasiswa yang sering tersedak biaya. Apalagi sistem usaha warung kopi keliling “Mai Nongki” ini sangat fleksibel. Mahasiswa bisa berbisnis sambil tetap fokus menjalani pendidikannya. Mahasiswa diberi kesempatan untuk bekerja paruh waktu tanpa mengganggu jadwal kuliah, sekaligus mendapat ruang untuk berkembang secara finansial dan sosial.
“Mai Nongki” untuk sementara beroperasi di kawasan Pantai Pidada, Banyuasri. Seorang karyawan “Mai Nongki”, yang juga mahasiswa semester VI di Institut Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan (IMK) Singaraja, mengungkapkan dampak positif yang dirasakannya sejak bergabung dengan usaha ini.
“Saya bekerja mulai pukul 16.00 sampai 20.00 Wita setelah kuliah. Sistem kerja seperti ini sangat membantu saya dalam mengatur waktu, menyelesaikan tugas kampus, dan tidak perlu lagi sepenuhnya mengandalkan kiriman dari orangtua,” ujarnya.
Menurut pendiri “Mai Nongko”, Nyoman Ardana Pradnya Santosa, usaha ini berangkat dari kepedulian terhadap dunia pendidikan serta keinginan untuk mendorong literasi di kalangan masyarakat.
“Kami ingin berkontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan di Buleleng, meskipun dalam skala kecil. Selain menyediakan lapangan kerja untuk mahasiswa dan pengajar, kami juga menghadirkan buku bacaan yang bisa dinikmati pelanggan. Tujuannya adalah menjadikan warung kopi sebagai ruang edukatif yang inklusif,” jelasnya.
Komitmen tersebut juga ditegaskan oleh dua pendiri lainnya, Wahyu Adianta dan Febi Rorensa. Mereka menyatakan bahwa ekspansi usaha menjadi langkah strategis agar lebih banyak mahasiswa dapat terlibat dan merasakan manfaat ekonomi.
“Kami sedang berupaya memperluas jaringan usaha dengan membuka cabang baru. Tantangan terbesar saat ini adalah mencari lokasi yang mendukung dan mendapatkan izin berjualan, mengingat sejumlah titik telah memiliki pelaku usaha tetap,” ungkap keduanya.
Dengan filosofi ‘kopi keliling untuk perubahan’, “Mai Nongki” menunjukkan bahwa bisnis kecil bisa memberikan dampak besar. Inisiatif ini tidak hanya memperkuat ekonomi mahasiswa, tetapi juga membuka jalan bagi masyarakat untuk terlibat dalam budaya literasi dan solidaritas pendidikan. (bs)

