Benarkah Dahulu Singaraja Bernama Singapura?

  • Esai Sejarah Amoeng A. Rachman *)

PABEAN Buleleng adalah pelabuhan laut tua yang posisinya berada di semenanjung pesisir pantai utara Pulau Bali. Dari sisi geografis, pelabuhan ini merupakan jalur yang sangat strategis karena berada dalam jalur perdagangan yang disebut Jalur Sutra atau The Silk Rood yang dilintasi dalam perdagangan maritim pada masa abad-abad yang lalu.

Penelusuran sejarah menunjukkan sejak awal abad Masehi, pulau Bali tampaknya telah terlibat dalam sistem perdagangan internasional. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di beberapa lokasi semakin meyakinkan hal tersebut. Rute perdagangan internasional yang menghubungkan Indonesia dengan Timur dan Barat akan selalu melintasi pantai utara Bali.

Dengan demikian letak grografis pelabuhan-pelabuhan yang ada di pesisir pantai adalah lokasi yang amat strategis pada era perdagangan maritim. Pabean Buleleng salah satu pelabuhan terbesar setidaknya sampai pertengahan abad XX. Pelabuhan ini menjadi tulang punggung perekonomian serta pertahanan militer di Buleleng sejak masa kerajaan-kerajaan dahulu hingga paska kemerdekaan.

Adalah Willem Lodewijcksz, salah seorang pengikut ekspedisi pelayaran Belanda berlayar ke Asia Tenggara tahun 1595 – 1598 yang dipimpin Cornelis de Houtman (1540 – 1599) telah mendatangi pulau Bali dan dari hasil keikutsertaannya dalam ekspedisi tersebut ia telah berhasil membuat peta pulau Bali pada tahun 1598.

Dalam peta tersebut nama Buleleng disebut, akan tetapi ditulis Buliling. Jika demikian halnya, maka nama Buleleng sejatinya telah dikenal sebelum berdirinya Kerajaan Buleleng bahkan sebelum lahirnya Ki Panji Sakti yang kelak memimpin Kerajaan Buleleng pada pertengahan abad ke-17.

Kita mencoba melihat sedikit ke belakang pada masa pemerintahan Raja Buleleng berkuasa, khususnya pada abad ke-18 dan abad ke-19, ketika budak serta opium pada masa itu menjadi komoditas perdagangan dan merupakan sumber pemasukan bagi Kerajaan Buleleng dan juga beberapa kerajaan yag ada di Bali.

Ada hal yang cukup menarik dalam catatan sejarah yang bisa dikutip dari beberapa sumber tentang hubungan Raffles dengan Raja Buleleng. Thomas Stamford Raffles, Gubernur Hindia Belanda (1811-1816) seperti yang ditulis oleh Sugi Lanus (ig@baliritual), telah menerima kiriman seorang anak kecil (budak) dan seekor kuda hitam dari seorang Raja Buleleng.

Surat yang dikirim itu menggunakan tahun hijriyah dan jika dikonversi menjadi Minggu, 24 Februari 1811 Masehi. Sedangkan Raffles dalam bukunya yang sangat tersohor, dan merupakan buku magnum opus dari karyanya, menulis bahwa ia pernah mengunjungi Buleleng pada awal masa jabatannya (1811) dan juga pada tahun 1815. Akan tetapi dalam buku tersebut, Raffles mengatakan ia hanya menginap dalam waktu singkat untuk memperoleh beberapa informasi (The History of Java, 2008 : 880).

Kemungkinan kedatangan Raffles terakhir ini adalah sebelum terjadi musibah letusan Gunung Tambora 10 April 1815 yang telah menewaskan hampir seratus ribu orang. Bencana letusan gunung berapi yang terjadi adalah bencana paling dahsyat sepanjang sejarah dan telah membuat langit Eropa menjadi gelap gulita untuk beberapa lama. Selain itu pada 24 Nopember 1815 juga terjadi musibah bencana alam besar yang telah memporak-porandakan beberapa desa di Buleleng.

Setelah kunjungannya ke Buleleng, konon Raffles tergiur melihat potensi Pelabuhan Buleleng yang posisinya sangat strategis dan letaknya berada diantara kepulauan Nusantara. Raffles ingin bekerja sama dengan Raja Buleleng, Gusti Gede Karang (1806 – 1819), untuk membangun kota pelabuhan yang akan diberi nama Singapura.

Akan tetapi niat tersebut tampaknya sulit terwujud karena Raffles sangat menentang perdagangan budak, sedangkan bagi Raja Buleleng perdagangan budak adalah sumber pemasukan bagi kas kerajaan. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab kegagalan rencana pendirian pelabuhan internasional tersebut adalah dahsyatnya bencana alam yang terjadi sebagaimana telah disebutkan di atas yang mengakibatkan rencana tersebut tidak dapat diwujudkannya. Disamping itu tampaknya Inggris juga tidak ingin berselisih dengan pihak Belanda.

Seandainya pada masa itu ada persetujuan politik kedua belah pihak dapat tercapai maka Singapura sebagai pelabuhan terbesar di dunia saat ini sangat mungkin akan berdiri di Buleleng (kota Singaraja), di pesisir pantai Bali Utara, bukan di Tumasik yang kini dikenal dengan nama Singapura yang didirikan oleh Raffles pada tahun 1819.

Tentang nama yang berkaitan dengan nama Singapura pernah disinggung dalam Babad Puri Andul Jembrana. AA Ngurah Sentanu, salah seorang penglingsir Puri Ayodya Kalibukbuk dalam sebuah bukunya memberi komentar : Waktu Jembrana masih dibawah Kerajaan Buleleng tentang Manca Agung Jembrana bernama Brambangmurti mendapat undangan ke Singapura di Buleleng.

Tidak mendapat penjelasan tahun berapa Babad Andul dibuat, dengan masih menyebut Singapura untuk Singaraja. Namun bisa diperkirakan sekitar 1850-an. Benar dulunya bernama Singapura sebelum berganti menjadi Singaraja.

Kalau demikian Raffles memang benar berperan dan Bill Dalton menulisnya dalam bukunya Bali Handbook. Nama Singaraja tidak bisa diterima oleh rakyat Buleleng, dan tidak populer. Nama yang diterima adalah Buleleng. (Warisan Buleleng I, 2005 : 64)

*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah, Koordinator Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *