INGATKAN PENYERAHAN BPUM JANGAN UNTUK MENANGKAN PASLON
DENPASAR – Bawaslu Bali mengirimkan surat cegah dini kepada Gubernur Bali terkait penyerahan Bantuan Pemerintah bagi Pelaku Usaha Mikro (BPUM). Dalam surat Nomor : 163/K.BAWASLU.BA/PM.00.01/XI/2020 tertanggal 27 November 2020 tersebut, Bawaslu Bali mengingatkan Gubernur Bali agar penyerahan BPUM tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik dalam Pilkada 2020.
“Dalam upaya melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran pemilihan tahun 2020, Bawaslu Provinsi Bali mengingatkan agar kegiatan penyerahan secara simbolis penerimaan bantuan pemerintah bagi pelaku usaha mikro (BPUM) yang akan dilaksanakan tersebut, supaya tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik dalam tahapan pemilihan tahun 2020, yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu pada daerah yang melaksanakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 di Provinsi Bali,” demikian surat cegah dini Bawaslu Bali yang ditandatangani Plh. Ketua Bawaslu Bali, I Wayan Wirka.
Surat cegah dini tersebut merespon Surat Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Bali kepada Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Karangasem tertanggal 25 November 2020. Dalam Nomor : 005/1519/UKM/Diskop tersebut disebutkan bahwa Gubernur Bali akan menyerahkan secara simbolis Bantuan Pemerintah bagi Pelaku Usaha Mikro (BPUM) di beberapa lokasi di Karangasem. Yakni pada Jumat (27/11/2020) di Wantilan Desa Ababi, Kecamatan Abang, Senin (30/11/2020) di Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Selasa (1/12/2020) di Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Rabu (2/12/2020) di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Kamis (3/12/2020) di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, dan Jumat (3/12/2020) di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.
Menurut Komisioner Bawaslu Provinsi Bali, Ketut Sunadra, surat pencegahan dini tersebut penting untuk mencegah terjadi pelanggaran dalam penyerahan BPUM tersebut. Kata dia, jangan sampai nanti penyerahan bantuan pemerintah tersebut disalahgunakan untuk memenangkan salah satu pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada 2020.
Sunadra menyebutkan, dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang ditegaskan bahwa: “Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.”
Pada Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang juga ditegaskan bahwa: “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.”
Sunadra juga mengingatkan, Pasal 188 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang menyatakan bahwa: “Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).” (bs)