Moderasi Beragama dalam Pembelajaran PAI di Sekolah

Oleh Lewa Karma

MODERASI beragama merupakan sikap beragama yang moderat, toleran, inklusif, dan menghormati kebhinekaan yang telah menjadi kebijakan strategis nasional di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir.

Pemerintah memperkuat agenda ini secara kelembagaan, salah satunya melalui Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama, sebagai upaya menumbuhkan warga negara yang religius sekaligus moderat.

Pada pendidikan tingkat dasar dan menengah, Pendidikan Agama Islam (PAI) memainkan peran kunci. PAI bukan hanya mengajarkan doktrin, melainkan juga membentuk sikap sosial, kebangsaan, dan kemampuan berinteraksi antarkelompok. Mengontekstualkan moderasi beragama dengan kearifan lokal memberi peluang agar nilai-nilai moderasi lebih mudah diterima, relevan, dan berkelanjutan.

Salah satu kearifan lokal yang potensial adalah Tri Hita Karana—filosofi Bali yang menekankan harmoni antar-manusia (pawongan), harmoni dengan Tuhan (parahyangan), dan harmoni dengan alam (palemahan). Filosofi ini telah diakui dan diaplikasikan pada berbagai aspek kehidupan sosial ekologis di Bali.

Mengapa mengaitkan moderasi beragama dengan Tri Hita Karana? Berikut ini rasionalitas kebijakan dan pedagogis yang menjadi argumentasinya.

Pertama, keselarasan nilai dalam moderasi beragama menonjolkan sikap toleransi, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial—nilai-nilai yang sejalan dengan aspek pawongan (harmoni antar-manusia) pada Tri Hita Karana.

Dengan mengaitkan pembelajaran PAI ke kerangka Tri Hita Karana, guru dapat menunjukan bahwa ajaran agama mendukung hidup rukun dalam konteks kebudayaan setempat, sehingga mengurangi jarak antara norma agama dan praktik sosial lokal.

Kedua, dukungan kebijakan nasional dan kurikulum yang dituangkan ke dalam penguatan moderasi beragama mendapat payung kebijakan pusat (Perpres No.58/2023) dan berbagai modul pelatihan serta panduan kurikulum yang dirancang oleh Kementerian Agama dan pihak terkait untuk diterapkan di sekolah. Ini memberi legitimasi dan sumber daya bagi pengembangan bahan ajar PAI berbasis moderasi yang terkonkretkan secara lokal.

Ketiga, urgensi berbasis data sosial, meskipun tingkat religiusitas di Indonesia tetap tinggi, dimensi kerukunan dan komitmen kebangsaan memerlukan penguatan berkelanjutan.

Indeks Religiusitas 2024 menunjukkan aspek kerukunan belum setinggi dimensi kesalehan individu, sehingga intervensi pendidikan yang menekankan harmoni sosial penting untuk diperkuat. Pendidikan yang mengaitkan nilai agama dan kearifan lokal dapat menutup celah ini.

Keempat, ketahanan budaya dan lingkungan pada kearifan lokal Tri Hita Karana juga menekankan hubungan manusia–alam (palemahan).

Mengintegrasikan pesan-pesan lingkungan dalam PAI (misalnya, tanggung jawab khalifah/pemimpin terhadap alam) membantu membentuk warga beriman yang peduli lingkungan sebuah aspek penting di era krisis iklim dan kerusakan lingkungan lokal. UNESCO sendiri menilai subak dan Tri Hita Karana sebagai wujud kearifan lokal yang mendukung kelestarian.

Tujuan umum dari penguatan moderasi beragama untuk peserta didik adalah memahami nilai-nilai moderasi beragama dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui lensa kearifan lokal Tri Hita Karana, yaitu parahyangan, pawongan, palemahan.

Sementara kompetensi spesifik yang diharapkan muncul adalah :
1. Menjelaskan prinsip moderasi beragama dan kaitannya dengan ajaran Islam serta kearifan lokal Tri Hita Karana.

2. Mengidentifikasi contoh sikap moderat dalam interaksi antarumat beragama di lingkungan sekolah/komunitas.

3. Merancang dan melaksanakan proyek layanan masyarakat yang memadukan nilai agama dan pelestarian lingkungan.

Strategi pembelajaran dan metode pengajaran moderasi beragama di sekolah dapat menggunakan berbagai model.

Pertama, Pendekatan Tematik-Interkonektif. Dimana modul PAI menyisipkan tema “Moderasi Beragama dan Tri Hita Karana” selama 2–3 minggu dengan tiap minggu fokus pada satu pilar (Parahyangan sebagai etika beribadah dan penghormatan lintas keyakinan; Pawongan sebagai sikap sosial, toleransi; Palemahan sebagai etika lingkungan). Panduan modul semacam ini sudah dikembangkan sebagai bagian dari program pengarusutamaan moderasi beragama di sekolah.

Kedua, Studi Kasus Lokal dan Diskusi Demokratis dengan menghadirkan studi kasus nyata (semisal konflik penggunaan ruang ibadah, kerjasama antaragama saat bencana, tata laku gotong-royong dengan dasar Tri Hita Karana). Guru memfasilitasi diskusi berbasis nilai: apa yang diajarkan ajaran Islam, apa relevansi Tri Hita Karana, bagaimana menerapkan solusi moderat.

Ketiga, Project-based Learning (PBL): Proyek Tri Hita Karana sekolah dengan contoh: “Sekolah Rukun & Hijau” — murid melakukan aksi kolaboratif (a) kunjungan lintas-agama ke tempat ibadah setempat dan membuat laporan reflektif; (b) program penghijauan/irigasi kecil yang melibatkan komunitas mengaitkan spiritualitas (doa/perenungan), sosial (kerjasama komunitas), dan ekologis (pelestarian). Hasil proyek dipresentasikan sebagai bukti penerapan moderasi.

Keempat, Pembelajaran Kontekstual dan Multi-disipliner diperlukan kerja sama PAI dengan pelajaran IPS, PKn, dan Biologi untuk membahas aspek sosial, politik, dan lingkungan Tri Hita Karana. Ini memperkuat transfer nilai dari kelas ke kehidupan sosial.

Kelima, Pelatihan Guru & Pengembangan Bahan Ajar. Dimana guru PAI perlu pelatihan (capacity building) yang menggabungkan pedagogi moderasi dan penguasaan kearifan lokal. Kemenag dan lembaga riset pendidikan menyediakan modul/panduan menggunakan materi teruji agar pembelajaran sesuai kebijakan nasional.

Dalam pelaksanaan penguatan moderasi beragama di sekolah harus memperhatikan indikator untuk refleksi. Indikator keberhasilan dan evaluasi dapat dilihat dari dua hal;

1. Kuantitatif dapat diamati dari adanya penurunan insiden konflik berbasis agama di lingkungan sekolah (catatan sekolah); peningkatan skor sikap toleransi pada survei internal siswa dimana jumlah kegiatan lintas agama dan proyek lingkungan yang terlaksana.

2. Kualitatif berupa laporan reflektif siswa, observasi guru tentang komunikasi antar siswa, testimoni komunitas tentang peran siswa dalam kegiatan sosial lingkungan.

Data nasional menunjukkan bahwa meski tingkat religiusitas tinggi, dimensi kerukunan masih memerlukan penguatan melalui pendidikan terstruktur menjadi indikator lokal di sekolah harus diukur secara berkelanjutan.

Kendatipun program penguatan moderasi beragama dan indikator sudah ditentukan, namun hambatan pasti ada. Untuk itu diperlukan pemetaan hambatan dan mitigasi dalam implementasi moderasi beragama.

Berikut ini langkah yang bisa diambil sebagai upaya preventif dan opsi solutif;

1. Keterbatasan kapasitas guru mitigasinya melalui pelatihan terprogram dan bahan siap pakai berbasis moderasi dan lokal.

2. Resistensi karena dianggap ‘mengaburkan doktrin’, maka mitigasinya dengan penekanan bahwa pendekatan ini bukan mengubah doktrin tetapi menunjukkan relevansi ajaran agama dengan harmoni sosial dan lingkungan. Melibatkan tokoh agama lokal dan tokoh adat untuk memberikan legitimasi.

3. Perbedaan konteks antar-daerah, sehingga mitigasinya diperlukan adaptasi kearifan lokal lain selain Tri Hita Karana di daerah non-Bali, sehingga model ini bersifat template kontekstual.

Mengontekstualkan moderasi beragama ke dalam pembelajaran PAI menggunakan kearifan lokal Tri Hita Karana menawarkan jalur yang kuat untuk menanamkan nilai toleransi, tanggung jawab sosial, dan kepedulian lingkungan di kalangan generasi muda.

Untuk efektivitas, implementasi harus didukung: (1) modul PAI adaptif berbasis moderasi, (2) pelatihan guru, (3) kolaborasi lintas-mapel dan lintas-komunitas, dan (4) monitoring & evaluasi indikator kerukunan di tingkat sekolah. []

*) Penulis adalah Kasi Pendis Kemenag Buleleng, Mahasiswa Program Doktoral Prodi IAK pada IMK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *