* Oleh Lewa Karma
EMPATI bukan sekadar perasaan kasihan, tetapi upaya memahami dan menghargai kondisi, kesulitan, serta potensi individu lain termasuk mereka yang hidup dengan disabilitas. Bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan, empati berarti pengakuan atas kemanusiaan, hak, dan martabat mereka.
Dalam konteks sosial dan kebijakan, empati bisa menjadi landasan inklusi, keadilan, dan solidaritas.
“Kelompok disabilitas” mencakup orang-orang dengan keterbatasan fisik, sensorik, intelektual, mental atau kombinasi diantara keterbatasan tersebut.
Situasi dan tantangan disabilitas di Indonesia sesuai dengan data dan fakta.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 tercatat sekitar 22,97 juta penyandang disabilitas di Indonesia, atau sekitar 8,5% dari populasi.
Di sisi lain, sebagian laporan dan survei menunjukkan angka yang bervariasi, karena perbedaan definisi, metodologi, dan under-reporting.
Kelompok dengan disabilitas cenderung menghadapi kerentanan lebih besar: misalnya, tingkat kemiskinan dalam rumah tangga dengan penyandang disabilitas lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.
Partisipasi dalam dunia kerja bagi penyandang disabilitas sangat rendah: per data terbaru, hanya 0,55% dari total tenaga kerja nasional adalah penyandang disabilitas. Sebagian besar bekerja di sektor informal, sering tanpa perlindungan sosial atau akses stabil.
Akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lingkungan fisik yang ramah disabilitas masih sangat terbatas selain itu, stigma sosial juga tetap menjadi penghambat utama.
Oleh karena itu, banyak penyandang disabilitas yang “tersembunyi”, artinya tidak tercatat secara resmi, atau mereka enggan melaporkan kondisi mereka karena stigma. Hal ini membuat data nasional sulit ditentukan secara akurat.
Semua data ini menggambarkan bahwa penyandang disabilitas bukanlah “minoritas kecil” dimana mereka adalah bagian signifikan dari Masyarakat. Akan tetapi banyak dari mereka menghadapi ketidakadilan struktural dan eksklusi sosial.
Mengapa empati dan inklusi penting? Pertama, mengembalikan martabat dan hak asasi. Empati membantu kita melihat penyandang disabilitas sebagai manusia penuh hak bukan sekadar objek belas kasihan. Dengan empati, masyarakat dapat memahami bahwa mereka berhak mengakses pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, serta berpartisipasi dalam kehidupan publik.
Kedua, mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Dengan inklusi dan akses setara (misalnya akses kerja, fasilitas publik yang ramah disabilitas, layanan kesehatan dan pendidikan), penyandang disabilitas memiliki kesempatan untuk hidup mandiri dan produktif. Ini membantu mengurangi risiko kemiskinan dan marginalisasi.
Ketiga, memperkaya keragaman dan potensi sosial. Banyak penyandang disabilitas memiliki keahlian, potensi, kreativitas, dan kontribusi unik. Inklusi bukan hanya soal “memberi bantuan”, tetapi juga menghargai keberagaman potensi, dan memanfaatkan kekayaan manusia dari semua kalangan.
Keempat, menguatkan nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial. Empati terhadap kelompok rentan seperti penyandang disabilitas mencerminkan nilai keadilan, toleransi, dan rasa kemanusiaan dalam masyarakat. Ini memperkuat solidaritas sosial dan memastikan bahwa pembangunan tidak meninggalkan siapapun.
Empati dan inklusi tidak hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga formal. Setiap individu, keluarga, komunitas, dan institusi bisa berkontribusi melalui berikut ini.
1. Menghormati dan memperlakukan penyandang disabilitas dengan setara dan bermartabat.
2. Mengadvokasi aksesibilitas — misalnya, mendorong ruang publik, sekolah, fasilitas kesehatan, transportasi agar ramah disabilitas.
3. Mendukung partisipasi penyandang disabilitas dalam pendidikan, dunia kerja, dan kehidupan sosial — bukan sekadar memberi bantuan, tapi memberi kesempatan.
4. Melawan stigma: dengan pengetahuan, empati, dan rasa hormat, kita bisa mengubah narasi bahwa disabilitas adalah beban — sebaliknya, menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekuatan.
5. Meminta data valid dan kebijakan yang inklusif — karena tanpa data dan pengakuan resmi, sulit bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak yang adil.
Peringatan Hari Disabilitas Internasional sebagai peringatan global International Day of Persons with Disabilities bukan sekadar seremoni. Momentum ini merupakan panggilan untuk mengenali, menghargai, dan bertindak.
Empati terhadap penyandang disabilitas adalah pintu masuk menuju masyarakat yang adil, inklusif, dan manusiawi. Dengan empati, kita tidak hanya memberi ruang bagi penyandang disabilitas, tetapi memberi mereka hak untuk hidup dengan bermartabat, berkembang, dan berkontribusi secara penuh.
Kita semua memiliki peran baik sebagai individu, warga masyarakat, dan bagian dari bangsa. Semoga empati ini menjadi dasar bagi tindakan nyata dari lingkungan terdekat hingga kebijakan publik agar tidak ada yang tertinggal.
Oleh sebab itu, kita harus hadir di tengah mereka dengan membangun empati yang inklusif dan humanis. Memosisikan mereka sejajar tanpa ada diskriminasi dalam mewujudkan haknya sebagai warga negara maupun sebagai insan ciptaan Tuhan. []
*) Penulis adalah Kasi Pendis Kemenag Buleleng, Mahasiswa Program Doktoral Prodi IAK pada IMK

