AYU Laksmi pernah mengalami duka dan luka. Hidupnya sempat limbung. Nyaris kalah dan menyerah. Tapi secara perlahan ia bisa sembuh. Proses menyembuhkan diri yang demikian puitis.
“Kehilangan ayahku adalah duka dan luka,” suaranya bergetar lirih, saat membacakan monolog “Apabila Aku Kembali dan Mengobati Diriku Sendiri” pada Rabu Puisi di Rumah Belajar Mahima Singaraja, Rabu (25/6/2025) malam.
“Kehilangan ayahku, adalah duka dan luka, tapi aku entah kenapa aku perlahan sembuh. Lewat cahaya semesta, aku disembuhkan oleh ibuku sendiri. Dia tidak menyembuhkan dengan kata-kata, namun dengan perlakuan dan pembuktian. Dalam kesendirian, dia menumbuhkan kami, sekaligus mengobati luka kami, sekaligus menghibur kesunyiannya sendiri. Dalam kemudaan yang tak ramah pada perempuan, ibu menjadi penyangga jiwa kami, anak-anak yang haus kasih sayang dan masih merindukan ayah”.
Dalam monolog “Apabila Aku Kembali dan Mengobati Diriku Sendiri” yang ditulis sastrawati Kadek Sonia Piscayanti itu, Ayu Laksmi mengisahkan dirinya, perjalanan lukanya, cerita duka, serial menang dan kalahnya, terbang entah ke mana, lalu kembali kepada diri, dan menemukan kekuatan yang menyembuhkan.

Lahir dengan nama indah, I Gusti Ayu Laksmiyani. Di kota bersejarah, kota Singaraja. Masa kecilnya di kota itu penuh keindahan.
“Merindukan masa kecilku. Aku menjadi ingin bertanya: bagaimana jika aku lahir kembali menjadi Ayu yang lalu, yang memburu kunang-kunang hanya untuk dilepas kembali. Aku akan terbang bersama kunang-kunang dan menjadi kunang-kunang. Aku akan menjadi lepas dan seluruh ketakutan akan lepas. Aku akan tenang dan damai.” Mata Ayu berbinar.
Pada usia 7 tahun, 1972, ia sudah menyanyi. Salah satu talenta yang melekat padanya. Di usia remaja, 1983, Ayu Laksmi menjuarai ajang lomba nyanyi Bintang Radio dan Televisi (BRTV) di Bali, bersama dua saudarinya, Ayu Weda dan Ayu Partiwi. Tiga remaja bersaudari tersebut membentuk trio vokal. Trio Ayu Sisters namanya.
Dan wajah ayu mereka pun sering nongol di TVRI. Stasiun televisi satu-satunya di era itu. Mereka pun berhasil menaklukkan Jakarta, ibukota Indonesia. Trio Ayu Sisters menembus juara 3 pada ajang Bintang Radio dan Televisi di kancah nasional.
Jakarta dengan segala cerita hebat dan gemerlapnya sempat Ayu Laksmi cicipi. Tapi, di Jakarta pula talenta Ayu Laksmi disakiti. Idealismenya terkebiri.
Pada tahun 1991, ia me-launching album “Istana yang Hilang”. Dan ia harus kecewa. Pasar tak merespon baik. Ia kalah dan menyerah dengan menarik diri dari industri musik. Ayu Laksmi setelah itu benar-benar menghilang. “Setelah meluncurkan lagu “Istana yang Hilang”, saya hilang beneran,” tutur Ayu Laksmi.
“Aku sempat limbung, dan dalam seluruh pergulatan itu aku kembali pada diriku sendiri. Aku ingin menjadi apa. Aku pulang. Pada diriku. Aku meninggalkan Jakarta, dengan segenap gemerlap dan peluangnya. Aku kembali pulang, menjadi diriku yang kurindukan.”
Ayu Laksmi kembali ke Bali, menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Ia lulus tahun 1993.
Dan, seperti kata-kata pada pembuka monolog yang ia bawakan malam itu, “Namaku Ayu Laksmi. Ayu artinya rahayu, damai. Laksmi artinya kekuatan. Aku bekerja dalam dua kata itu, sebagai bahan membuat kekuatan sendiri, damai dan kuat.”
Ayu Laksmi hadir kembali di panggung musik. Ia menelorkan album Svara Semesta pada 2010. Lantas me-launching album Svara Semesta 2 pada 2012. Semua lagu-lagunya ia ciptakan sendiri.
“Seluruh judul lagu dari album lagu itu saya buat positif. Sudah tidak ada lagi seperti misalnya “Istana yang Hilang, atau “Termiskin di Dunia”. Saya menghindari tema-tema yang negatif,” jelasnya.
Di album-album terakhir tersebut, Ayu Laksmi benar-benar menjadi dirinya. Idealismenya terjaga. “Sebelumnya saya mengajukan lagu sering ditolak oleh industri major, karena lagu-lagu saya dinilai terlalu berat. Maka saya jengah. Ketika saya punya kekuatan daya dan secara finansial mampu membiayai project saya sendiri, saya memproduseri album saya sendiri, dan saya buat lagunya sekalian berat. Bahkan saya memakai bahasa Jawa Kuno. Ya, sekalian supaya tidak dimengerti. Bahkan ketika saya nyanyi, saya lihat contekan dulu apa artinya,” cerita Ayu Laksmi.
Menyanyi bagi Ayu Laksmi adalah kendaraan untuk pergi dan juga pulang. Talenta utama yang melekat pada dirinya. Dan ia memilih menjaga idealisme terpatri di dalamnya. “Ketika saya menumpang wahana film, teater, monolog, drama, saya patuh. Saya membuka diri untuk dikelola, dimanfaatkan,” ujarnya. Namun, tidak dalam dunia nyanyi, musik. Ia menjadi dirinya sendiri.
Ayu Laksmi memang kesohor sebagai pemain film. Ia membintangi sejumlah film, bahkan film-filmnya laris. Sebut saja “Under the Tree”, “A Perfect Fit”, “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas”, “Soekarno” dan “Bumi Manusia”. “Sekala Niskala”, atau yang terbaru seperti “Komang”, “Hamka” dan “Pengabdi Setan 3: Origin”.

“Aku mengembara dalam dunia yang aku inginkan. Menjadi pencipta. Aku ciptakan apa yang aku ingin ciptakan. Lalu membiarkan dunia mengalir di dalamku.”
“Aku menyanyi dan terus menyanyi, berulang-ulang dan membuatku bahagia. Tapi. Ternyata aku merindukan kebaruan. Waktu cepat mengajariku untuk berubah. Dan terus lahir. Aku bertanya. Apa maumu, waktu. Aku berdiam dalam sunyi. Kembali hanya mendengar dan belajar.”
“Lalu aku mengenal puisi masa lalu dari lontar-lontar yang indah itu. Aku tertaut dengan masa lalu yang purba. Dan aku ingin kembali menjadi kanak yang rindu belajar. Aku mulai menelusuri kata-kata klasik yang hampir luput diucapkan.”
“Aku belajar makidung. Belajar matembang. Lalu di sinilah aku menjadi kembali. Dengan aku yang terus belajar menyanyi, aku menjadi seseorang yang terus memperbaharui diri sendiri.”
Penampilan Ayu Laksmi membawakan monolog “Apabila Aku Kembali dan Mengobati Diriku Sendiri” pada Rabu Puisi di Rumah Belajar Komunitas Mahima malam itu memang belum utuh, belum penuh dari perjalanan Ayu Laksmi di ruang semesta. Penampilannya malam itu hanya ‘pemanasan’ atau latihan menuju pentas yang sesungguh, yakni nanti pada Singaraja Literary Festival (SLF), 25-27 Juli 2025.
Pada SLF 2025 tersebut, Ayu Laksmi akan menyuguhkan penuh seluruh perjalanan hidupnya, dan bagaimana ia menyembuhkan luka. (yum)

