Kumangmang
- Esai Sejarah dr. Soegianto Sastrodiwiryo
SEPANJANG jalan Singaraja saat itu tak seorangpun tak mengenal Kumangmang. Pemuda berotot yang suka telanjang mengelilingi kota Singa. Sebelum ditimpa penyakit Schozophrenia, Kumangmang adalah pemuda biasa yang cukup berprestasi di bidang olahraga.
Saat itu, dia baru sekolah di SR 1 Banjar Paketan dan dia pun berasal dari banjar itu, tempat ayahnya Bung Karno sempat jadi guru bantu sampai tahun 1901.
Ayah Kumangmang adalah pembantu opas polisi yang biasa mengawal tawanan-tawanan hukuman yang lazimnya digiring beramai-ramai buat mandi di kolam Mumbul. Namanya Guru Pasek, termasuk pegawai yang rajin dan disiplin walaupun Guru Pasek orangnya juga ada bibit-bibit aneh dan agak sinting, tapi tak separah Kumangmang.
Pernah Guru Pasek mencabut pistolnya di tempat kerangkeng tahanan karena para tawanan berebut minta air kendi pada dia. Karena jengkel Guru Pasek lalu mengeluarkan pistolnya dan menyuruh si peminta air untuk membuka mulutnya.
Tahanan itu ketakutan karena opas ini segera mencabut pistolnya lalu menyuruh membuka mulutnya. Tapi bukan diberi ujung kendi namun ujung pistol yang telah dikokang ke arah mulut.
Tentu saja seluruh tawanan berteriak gempar. Akhirnya komandan polisi Belanda, Tuan Teefnet, memindahkan sementara ke bagian gudang dan diistirahatkan dua minggu.
Prestasi Kumangmang nampak menonjol di bidang olahraga di Bali. Karena dia berhasil melompati mistar 170 cm dengan gaya kampungan tanpa teknik. Dolok menyaksikan kejadian itu dan penonton di kejuaraan sekolah itu bertepuk tangan riuh rendah.
Sejak kejadian itu Kumangmang tak pernah nampak. Konon dia membantu ayahnya di tegalan miliknya, dimana dia amat cepat piawai waktu bertugas menurunkan buah kelapa yang jumlahnya puluhan.
Tapi tanda-tanda keanehan terlihat ketika dia mulai menjual kelapa milik tetangganya lalu dijual ke pasar. Saat ditanya, Kumangmang hanya berjalan kaki cekakan tapi uangnya dikembalikan pada orangtuanya.
Kini mulailah Kumangmang berjalan kaki tanpa baju keliling kota Singaraja. Tiap banjar dimasuki. Lama-lama dia mulai melepaskan celananya dan ‘barang’-nya dibiarkan kontal-kantil berdiri.
Dia mulai suka mendekati wanita-wanita mandi di sungai. Tentu saja wanita-wanita yang mencuci pakaian itu berteriak-teriak takut. Untungnya Kumangmang tidak pernah mengganggu sekalipun. Ini mungkin sejenis exporisme biasa yang tak jarang disukai laki-laki tertentu.
Kumangmang mulai berangkat dari rumahnya di Banjar Paket Agung lalu ke barat sampai depan kantor Gubernur. Kemudian melewati TMP Qumarasthana yang saat itu lambang bantengnya belum diturunkan.
Lalu dia menyusuri jalan sepanjang Banjar Tegal, tapi di pengkolan Banyumala dia turun melewati Tukad Banyumala dan memanjat sebatang nyiur dan menurunkan beberapa buahnya.
Kumangmang memang pemanjat hebat. Dia naik pohon seperti jalan kaki dan cepat sekali. Di tengah jalan, dia menjual kelapanya sebelum menyusuri tepi barat Tukad Banyumala. Memasuki wilayah Banjar, Kumangmang berhenti sebentar menyaksikan anak-anak pemudi Banyumala sedang bermain air sambil siram-siraman.
Kumangmang ikut tertawa-tawa, tapi karena dia berdiri telanjang. Para pemudi itu berteriak lari ke pinggiran takut Kumangmang turun memegang mereka. Entah kenapa Kumangmang segera pergi menghilang menuju arah stasiun Bus Banyumala.
Kemudian jalan kaki menuju timur arah Kaliuntu. Di tengah jalan, depan SR 11, anak-anak berkerumun mengejek Kumangmang. Kumangmang diam saja, tidak marah, tapi malah guru-gurunya marah sekali.
“Kalian jangan mengganggu orang gila yang tidak mengganggumu,” kata kepala sekolah Pak Marthika. Anak anak pun berhenti mengganggu dan kembali ke kelasnya.
Kini sampailah Kumangmang di perempatan kota. Bu Darminah yang baik hati itu membungkuskan nasi lauk buat Kumangmang. Kumangmang tertawa dan menerima pemberian itu sambil juga minta air minum. Setelah kenyang Kumangmang pergi tanpa pamit atau ucapan terimakasih.
Namun Ibu Warung Darminah memahami. Dengan masih telanjang Kumangmang sampai di perempatan. Banyak orang berhenti melihat Kumangmang. Diantaranya ada Yatno dan Kacung yang hendak ke pasar.
“Kumangmaaaang,” Yatno duluan memanggil namun tak dijawab. Tiba-tiba Kumangmang menoleh ke arah keduanya. “Yen,” katanya pelan tapi cukup terdengar di telinga keduanya.
Yatno terkejut. ‘Aku heran hanya namamu yang diingat.’ Kacung alias Yen memanggil melambaikan tangan.
Kumangmang menyeberang perempatan jalan. Sementara Yatno, bos tajen itu, berunding dengan Kacung dengan ide yang menurut Yatno akan ikut. Tapi Kacung menolak mentah-mentah.
“Kau gila Yat, Kumangmang itu sahabatku walau gila, aku tak akan ikut. Itu merendahkan martabat seseorang walaupun orang gila.” Yatno terdiam sebentar. Tapi setelah berdebat sebentar, Kacung setuju.
Yen atau Kacung memegang tangan Kumangmang dan menggiringnya ke belakang Kantor Pos. Kumangmang ikut saja. Di ujung gang ada deretan kamar berjumlah delapan buah. Maka lazim disebut Kampung Delapan.
Yatno membawanya ke kamar Ribeg, wanita tuna susila langganannya. Terjadi perdebatan sengit antara Yatno dengan Ribeg. Tapi setelah Yatno mengeluarkan lembaran-lembaran merah Ribeg berubah pikiran. ”Itu cukup buat hidupmu dua bulan,” kata Yatno tersenyum.
Ribeg tersenyum sambil memasukkan dua puluh lembaran ke dalam dompetnya dan berhasil. Kumangmang didorong masuk. Ia dilempari celana kolor oleh Yatno yang tak segera dipakainya.
Segera saja Kumangmang dilayani oleh Ribeg. Kumangmang tertawa-tawa cekikikan. Cukup lama sekitar dua jam. Celakanya Kumangmang tidak mau turun. Ia mau naik terus, tentu saja Ribeg kecapaian.
Akhirnya Kacung terpaksa masuk membujuk Kumangmang dan berhasil. Kacung minta Kumangmang segera memakai kolornya. Kumangmang setuju.
Demikian drama Kumangmang di Kampung Delapan. Kemudian dia disewakan bemo pulang ke Banjar Paketan.
Setelah mendapat pemberian sebuah celana, tak lama kemudian seorang Bhiksu dari Banjar Peguyangan memberinya seperangkat kain kuning kemerahan yang segera dipakaikan ke badan Kumangmang yang biasa telanjang itu.
Menjadilah Kumangmang seperti seorang Biarawan Budhha dan kebiasaan keliling sepanjang jalan di kota masih ia lakukan. Namun kini masyarakat tampak lebih menghargainya daripada sebelumnya. []
*) Penulis adalah Cendekiawan Sejarawan