Mumbul

  • Esai Sejarah dr. Soegianto Sastrodiwiryo *)

NAMA aslinya Kampung Sawah karena dibuat oleh imigran Jawa yang dengan belas kasih orang-orang dari Banjar Jawa mereka boleh membangun rumah di sepetak sawah. Akan tetapi ada syarat : Pertama, mereka harus memelihara tiga pura desa milik orang Banjar Jawa (Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Bali-red). Kedua, harus membayar sewa bulanan ala kadarnya yang kadang-kadang dibayar, kadang tidak.

Komunitas Jawa ini adalah generasi berikutnya dari Raden Sukemi, ayah Bung Karno yang sudah ada sebagai guru sejak akhir abad ke-20. Mereka berasal dari berbagai daerah Jawa, seperti dari Pekalongan, Banyumas, Jogja, Solo, Banyuwangi, Bugis, dan lain-lain.

Di Kampung Mumbul ada beberapa jalan. Jalan satu, membatasi perkampungan dengan sawah di atasnya dan di bawahnya. Jalan dua, adalah jalan lebar Mumbul membagi bagian atas dengan jalan raya.

Di atas jalan satu ditempati orang-orang pendatang yang kebanyakan sisa-sisa tentara yang pernah operasi di Maluku menumpas RMS. Di sini ada rumah Pak Amik, kakeknya Husin yang disewakan buat tentara yang suka mabuk-mabukan itu.

Di depan rumah Pak Amik ada selokan kecil jernih dimana banyak ditemukan ikan kepala timah yang suka ditangkap oleh Dolok, si hitam itu. Tepat di depan rumah Pak Amik ada gang Cokro atau Gang II yang menghubungkan jalan raya dengan jalan satu.

Mabuk-mabukan adalah acara biasa bagi tentara mantan pejuang RMS yang selesai bertugas. Mereka masih muda-muda dan belum berkeluarga. Tak jarang kawan-kawannya melempar mereka yang lagi teler dengan batu bata, tapi orang-orang kecapaian ini tidak membalas, hanya sekadar mengeluh aduuh atau malah diam saja.

Anak-anak Mumbul hanya menyaksikan dari jauh berjarak dan tak berani mendekat. Di ujung Gang III terdapat keluarga dari Desa Busungbiu. Panggilannya Guru Sara, seorang dukun yang lazim menolong penghuni Mumbul dengan air setaman tirta, yang telah diberi mantram.

Di belakang rumah Guru Sara tinggal Pak Kantor asal dari Seririt. Seorang sopir ramah yang suka menolong orang. Dia sangat dicintai isterinya yang muda dan cantik karena konon senjatanya besar dan panjang memuaskan lawan mainnya. Pak Kantor kadang-kadang memberi pelajaran silat pada anak-anak Mumbul keturunan Bali.

Pak Kantor berbicara halus dengan bahasa agak kejawa-jawaan tapi menerapkan aturan keras tak boleh berkelahi walau ditantang.

Di Gang II agak ke tengah ada sebuah rumah sewaan milik Lik Khaerun, seorang janda muda yang ramah disukai para lelaki. Konon janda ini juga seorang jago silat hebat, makanya tak ada lelaki iseng yang coba-coba menggoda atau berlaku kurang ajar padanya.

Di depan rumah Lik Khaerun tinggal keluarga Bok San, seorang Cina yang beristeri orang Bali dari desa, yang biasa dipanggil Mae Kacung. Ia memiliki pula seorang anak laki-laki dari perkawinannya terdahulu dengan lelaki Bali yang biasa dipanggil Bli Gede. Bli Gede adalah seorang sastrawan teater yang biasa memaikan lakon La Paloma bersama seorang seniman karyawan Jawatan Penerangan, namanya Sutikno.

Mereka biasanya latihan di ruang Taman Kanak Kanak Perwari saat sore hari di wilayah Kaliuntu. Bli Gede berpasangan dengan Mbak Sri, seorang Katholik yang taat.

Adik Bli Gede, namanya Kacung, adalah salah seorang pemberani yang suka main perang-perangan apalagi berkelahi. Jagoan anak-anak Mumbul seperti Paimun takut melawan Kacung. Nama sebenarnya Kacung adalah Ang Cin Yen. Kelak setelah dewasa dia masuk tentara dan ikut dalam perang di TimTim dengan pangkat Letkol.

Mumbul adalah sebuah kampung yang merupakan tanah orang-orang Bali dari Banjar Jawa yang disewa oleh pendatang-pendatang dari Jawa pada tahun 1930-an.

Mbuuul iduppadipadup idapiduppadipadup. Mbuul idupmbuul idup“. Ini dinyanyikan oleh Putu Alit, yang baru kelas satu SR sambil mengawasi sebuah layangan putus jauh di angkasa.

Kegembiraan keluarga Putu Alit kecil tiba-tiba sirna setelah berembus wabah diptheri yang merenggut nyawanya. Dan itu terjadi hampir bersamaan dengan meninggalnya adik perempuan Dolok yang baru berumur 2 tahun.

Maklum saat itu belum ada Vaccinasi DPT dan tentu kalangan luas memahami bahwa penyakit kerak tenggorokan ini sangat fatal menjilat leher menikam jantung. Rata-rata pasien meninggal karena jantung atau tertutupnya saluran nafas. []

*) Penulis adalah Cendekiawan dan Sejarawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *