Dedikasi Guru Meneguhkan Nasionalisme

Oleh Lewa Karma

HARI Bela Negara yang diperingati setiap tanggal 19 Desember bukan sekadar seremoni kenegaraan, melainkan momentum reflektif untuk meneguhkan kembali makna bela negara dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bela negara tidak semata dipahami sebagai kewajiban militer atau pertahanan fisik, tetapi juga sebagai ikhtiar kolektif seluruh warga negara dalam menjaga keutuhan, martabat, dan masa depan bangsa. Dalam konteks inilah, peran guru yang mengabdi di sekolah/madrasah/pesantren sangat strategis.

Guru berada di garda terdepan dalam membentuk karakter generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual, berakhlak mulia, dan memiliki jiwa nasionalisme yang matang.

Mengajar dengan dedikasi, cinta, dan sepenuh hati bukan sekadar sikap profesional, melainkan wujud nyata bela negara dalam bidang pendidikan. Guru membela negara melalui pena, ilmu, keteladanan, dan kasih sayang yang ditanamkan setiap hari kepada peserta didik.

Bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Dalam perkembangan zaman, bentuk bela negara mengalami perluasan makna dari pertahanan fisik menuju pertahanan ideologis, kultural, dan moral.
Nasionalisme yang sejati tidak lahir dari doktrin kosong, tetapi dari proses pendidikan yang menumbuhkan kesadaran sejarah, rasa memiliki terhadap bangsa, serta komitmen untuk berkontribusi sesuai peran masing-masing.

Guru menjadi aktor utama dalam proses ini. Melalui pembelajaran, interaksi sosial, dan keteladanan sikap, guru menanamkan nilai kebangsaan secara halus namun mendalam.

Di madrasah/sekolah/pesantren, nasionalisme tidak dipertentangkan dengan nilai keagamaan. Justru sebaliknya, cinta tanah air dipahami sebagai bagian dari iman. Dalam nilai keislaman misalnya, seperti keadilan, persaudaraan, tanggung jawab, dan kemaslahatan umat menjadi pondasi kokoh bagi tumbuhnya nasionalisme yang inklusif dan moderat.

Guru menjalankan tugas bela negara melalui jalur pendidikan dan pembudayaan nilai. Mereka berhadapan langsung dengan generasi muda yang kelak menjadi penentu arah bangsa.

Dalam keseharian, guru :
– Menanamkan nilai Pancasila dan kebangsaan melalui pembelajaran yang kontekstual dan bermakna.
– Membentengi peserta didik dari radikalisme, intoleransi, dan disintegrasi sosial dengan pendidikan agama yang moderat dan rahmatan lil ‘alamin.
– Membentuk karakter cinta tanah air melalui disiplin, tanggung jawab, dan semangat gotong royong.
– Menguatkan identitas kebangsaan tanpa menegasikan identitas keagamaan.

Semua ini dilakukan bukan dengan paksaan, tetapi dengan pendekatan pedagogis yang humanis. Guru membela negara bukan dengan senjata, melainkan dengan kesabaran, ketulusan, dan keteladanan moral.

Dedikasi guru sering kali melampaui batas formal tugas profesi. Banyak guru mengajar di daerah terpencil, dengan keterbatasan sarana dan kesejahteraan, namun tetap setia mengabdi. Dedikasi ini merupakan bentuk nasionalisme yang nyata—sebuah pengorbanan sunyi demi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Guru yang mengajar dengan sepenuh hati berarti:
– Hadir bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga pendidik dan pembimbing jiwa;
– Memahami kondisi sosial dan psikologis peserta didik; dan
– Memberikan perhatian dan motivasi, terutama kepada anak-anak yang rentan secara sosial dan ekonomi.

Dedikasi semacam ini mencerminkan semangat bela negara yang autentik, karena telah mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Dalam konteks pendidikan kontemporer, semangat bela negara menemukan relevansinya melalui kurikulum berbasis cinta.

Cinta kepada Tuhan, sesama manusia, ilmu pengetahuan, lingkungan, dan tanah air menjadi ruh pembelajaran. Nasionalisme yang ditanamkan bukan nasionalisme sempit, melainkan nasionalisme humanis yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan.

Guru yang mengajar dengan cinta telah :
– Menciptakan ruang belajar yang aman dan bermakna;
– Menumbuhkan rasa percaya diri dan harga diri peserta didik; dan
– Membangun kesadaran bahwa mencintai Indonesia adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual.

Dengan pendekatan ini, nasionalisme tidak diajarkan sebagai slogan, tetapi dihidupkan sebagai sikap hidup.
Peringatan Hari Bela Negara menjadi momentum penting bagi guru untuk merefleksikan perannya.

Di tengah tantangan globalisasi, digitalisasi, dan krisis nilai, tugas guru semakin kompleks. Guru tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menjaga nilai, identitas, dan masa depan bangsa.

Refleksi ini menegaskan bahwa:
– Mengajar dengan jujur dan penuh tanggung jawab adalah bentuk bela negara;
– Membimbing peserta didik menjadi manusia berakhlak dan cinta tanah air adalah investasi jangka panjang bangsa; dan
– Menjaga persatuan di ruang kelas yang majemuk adalah kontribusi nyata bagi keutuhan NKRI.

Relevansi Hari Bela Negara dengan jiwa nasionalisme dan tugas profesi guru terletak pada kesadaran bahwa pendidikan adalah medan perjuangan yang mulia. Guru, dengan dedikasi, cinta, dan sepenuh hati, menjalankan bela negara dalam bentuk yang paling fundamental yang membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

Di tangan guru nasionalisme tidak lahir dari paksaan, tetapi dari keteladanan. Tidak tumbuh dari ketakutan, tetapi dari cinta. Dengan demikian, mengajar dengan sepenuh hati bukan hanya panggilan profesi, melainkan ibadah kebangsaan sebagai sebuah wujud nyata bela negara yang sunyi, tetapi menentukan arah masa depan Indonesia. []

*) Penulis adalah Kasi Pendis Kemenag Buleleng, Mahasiswa Program Doktoral Prodi IAK pada IMK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *