Oleh Lewa Karma
SEBELUM aksara dikenal luas, masyarakat mengandalkan cerita rakyat, mitos kosmologis, dan legenda lokal sebagai sarana pewarisan nilai, norma, dan sejarah. Tradisi lisan bersifat dinamis, kontekstual, dan performatif.
Ketika tulisan mulai diperkenalkan melalui pengaruh India, Arab, atau Eropa cerita-cerita ini menjadi bahan utama yang pertama kali dituliskan.
Proses penulisan tidak hanya memindahkan cerita dari lisan ke teks, tetapi juga menata ulang narasi agar sesuai dengan logika teks melalui runtutan waktu, tokoh, dan pesan moral menjadi lebih sistematis. Di sinilah manuskrip berfungsi sebagai penjaga memori sekaligus penafsir budaya.
Menurut KBBI, manuskrip merupakan naskah tulisan tangan atau ketikan yang bukan hasil cetakan, sering menjadi objek kajian filologi. Namun dalam konteks digunakan untuk merujuk pada dokumen sejarah, karya ilmiah awal, atau naskah kuno yang ditulis tangan (di atas lontar, kulit kayu, kertas, dan lainnya) sebelum era percetakan massal.
Manuskrip sebagai jejak penting dalam perjalanan peradaban manusia. Kehadirannya menandai peralihan dari tradisi lisan menuju tradisi tulis, dari ingatan kolektif menuju dokumentasi sejarah. Namun manuskrip tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh dari rahim legenda, mitos, dan cerita rakyat yang telah hidup lama dalam tradisi tutur masyarakat.
Dengan demikian, manuskrip bukan sekadar teks, melainkan hasil penerjemahan budaya upaya manusia mengabadikan memori kolektif ke dalam tulisan.
Banyak manuskrip Nusantara merekam legenda dan mitos yang sebelumnya hidup secara lisan. Misalnya, kakawin Ramayana dan Mahabharata dalam tradisi Jawa dan Bali merupakan adaptasi dari epos India yang telah lebih dahulu bertransformasi melalui tradisi tutur lokal. Ketika dituliskan dalam bentuk kakawin dan lontar, kisah-kisah tersebut mengalami lokalisasi nilai, simbol, dan konteks sosial.
Contoh lain adalah manuskrip babad, seperti Babad Tanah Jawi, yang menuliskan legenda asal-usul raja dan kerajaan Jawa. Tokoh-tokoh historis sering dipadukan dengan unsur mitologis—wahyu, pertanda gaib, dan legitimasi ilahi—yang menunjukkan bahwa manuskrip tidak memisahkan sejarah dari kosmologi.
Di Bali, manuskrip lontar seperti Usana Bali dan Babad Dalem merekam mitos asal-usul masyarakat Bali dan silsilah raja-raja, sekaligus menanamkan nilai religius Hindu Bali. Mitos kosmik tentang dewa, gunung, dan laut diterjemahkan ke dalam teks sebagai dasar tatanan sosial dan ritual.
Dalam tradisi Melayu Islam, banyak cerita rakyat dituliskan dalam bentuk hikayat. Hikayat Hang Tuah merupakan contoh penting bagaimana legenda kepahlawanan yang awalnya lisan kemudian dibakukan dalam manuskrip.
Kisah ini tidak hanya mengisahkan keberanian tokoh, tetapi juga membangun nilai kesetiaan, kedaulatan, dan etika kepemimpinan.
Demikian pula Hikayat Raja-Raja Pasai yang memadukan legenda, sejarah awal Islam, dan silsilah raja. Manuskrip ini menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana masyarakat Melayu mengonstruksi identitas religius dan politiknya melalui teks.
Perjalanan manuskrip juga tidak lepas dari konteks kekuasaan dan otoritas. Penulisan legenda dan mitos sering digunakan untuk melegitimasi raja dan dinasti, menyatukan identitas kolektif, meneguhkan nilai agama dan adat.
Dalam hal ini, manuskrip bukan hanya merekam masa lalu, tetapi membentuk cara masyarakat memahami sejarahnya. Apa yang ditulis, diseleksi, dan ditafsirkan mencerminkan kepentingan zaman dan penulisnya.
Meskipun telah dituliskan, cerita dalam manuskrip tidak sepenuhnya “beku”. Banyak teks terus dibacakan, ditafsirkan ulang, dan bahkan kembali ke ruang lisan melalui pembacaan ritual, pewayangan, atau pengajaran tradisional. Hal ini menunjukkan adanya sirkulasi dua arah antara tradisi lisan dan manuskrip.
Manuskrip bukan hanya dokumen masa lalu, melainkan penyimpan memori kolektif yang menjembatani tradisi lisan dengan sejarah tertulis.
Sementara itu, Bali dikenal luas sebagai pulau dengan kekayaan budaya yang hidup dan berkelanjutan. Namun di balik praktik ritual, seni, dan adat yang tampak di ruang publik, tersimpan warisan intelektual tertulis yang menjadi fondasi peradaban Bali, yakni manuskrip-manuskrip kuno.
Manuskrip Bali yang umumnya ditulis pada media lontar—merupakan jejak sejarah tertulis yang merekam perjalanan kerajaan, sistem nilai, agama, sastra, hingga tata kehidupan masyarakat Bali dari masa ke masa.
Tradisi tulis di Bali berkembang seiring pengaruh India dan Jawa Kuno, terutama sejak masa Bali Kuno dan Majapahit. Media utama yang digunakan adalah lontar, daun pohon rontal yang diolah secara khusus. Aksara yang digunakan meliputi aksara Bali dan Jawa Kuno (Kawi), dengan bahasa Bali, Jawa Kuno, dan Sanskerta.
Keistimewaan manuskrip Bali terletak pada keberlanjutan tradisi nyurat lontar dan mabebasan (membaca dan menafsirkan teks) yang masih hidup hingga kini. Hal ini menjadikan manuskrip bukan artefak mati, melainkan teks hidup dalam kebudayaan.
Manuskrip Bali banyak merekam sejarah kerajaan dan legitimasi kekuasaan. Teks-teks seperti Babad Dalem, Babad Gelgel, dan Babad Buleleng menuliskan asal-usul raja, silsilah dinasti, serta dinamika politik Bali.
Dalam babad-babad tersebut, sejarah tidak ditulis secara positivistik seperti historiografi modern, melainkan bercampur dengan unsur mitologis, wahyu dan pertanda gaib, dan legitimasi spiritual kekuasaan.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Bali, kekuasaan tidak hanya bersumber dari kekuatan politik, tetapi juga dari restu kosmis dan moralitas spiritual.
Selain sejarah kerajaan, manuskrip Bali juga menyimpan kekayaan budaya dan tradisi masyarakat. Teks-teks seperti Usana Bali dan Usana Jawa memuat mitos asal-usul Bali, tatanan desa adat, dan pembagian ruang sakral.
Manuskrip juga merekam tata upacara keagamaan, sistem kalender (wariga), etika sosial dan adat istiadat, dan konsep ruang sakral (kaja–kelod, kangin–kauh). Dengan demikian, manuskrip menjadi rujukan normatif bagi kehidupan religius dan sosial masyarakat Bali.
Manuskrip Bali juga kaya akan karya sastra, seperti kakawin (Ramayana, Mahabharata), Kidung, dan Geguritan. Karya-karya ini tidak hanya bernilai estetis, tetapi juga mengandung ajaran moral (dharma), filsafat hidup, dan refleksi tentang hubungan manusia dengan alam dan Tuhan. Sastra dalam manuskrip Bali berfungsi sebagai media pendidikan karakter dan spiritual.
Salah satu ciri khas peradaban Bali adalah ketidakterpisahan antara agama, adat, dan kehidupan sehari-hari. Manuskrip menjadi alat utama integrasi tersebut. Teks-teks tattwa, susila, dan acara menjelaskan tentang konsep ketuhanan, tata perilaku manusia, dan tata upacara dan ritual.
Konsep Tri Hita Karana merupakan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan tidak hanya hidup dalam praktik, tetapi juga tertanam kuat dalam manuskrip-manuskrip lontar.
Sebagai warisan peradaban, manuskrip Bali menghadapi tantangan zaman seperti : kerusakan fisik, keterbatasan pembaca aksara, dan alih fungsi budaya. Namun demikian, berbagai upaya pelestarian melalui digitalisasi lontar, pendidikan aksara Bali, dan revitalisasi tradisi mabebasan menjadi harapan bagi keberlanjutan warisan ini.
Manuskrip Bali tidak hanya penting bagi masyarakat Bali, tetapi juga bagi Indonesia dan dunia, karena ia menunjukkan bahwa peradaban Nusantara telah memiliki tradisi intelektual, sistem nilai, dan historiografi sendiri jauh sebelum modernitas Barat.
Dengan kata lain, manuskrip bukan akhir dari cerita rakyat, melainkan fase baru dalam siklus kebudayaan. Perjalanan manuskrip sebagai produk tradisi sejarah memperlihatkan bahwa tulisan adalah bentuk pemadatan ingatan kolektif.
Melalui manuskrip, legenda, mitos, dan cerita rakyat diterjemahkan ke dalam bahasa teks, dijaga lintas zaman, dan diwariskan sebagai identitas peradaban. Manuskrip bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi cermin dialog panjang antara lisan, tulisan, dan sejarah. []
*) Penulis adalah Kasi Pendis Kemenag Buleleng, Mahasiswa Program Doktoral Prodi IAK
pada IMK

