Mengenal Tradisi Halal Bihalal: Selebrasi Kemenangan dalam Ruang Kesetaraan

  • Oleh Muhammad Idris, M.Pd.

SETELAH sebulan penuh umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadan yang kemudian ditutup dengan gelaran hari raya Idulfitri dengan penuh suka cita. Di Indonesia, terdapat tradisi yang khas, umumnya masyarakat menyebutnya tradisi Halal Bihalal, sebuah momentum yang bukan hanya sekadar ajang silaturahmi, tetapi juga sebagai bagian dari selebrasi kemenangan dalam ruang kesetaraan.

Sejarah dan Makna Halal Bihalal

Tradisi Halal Bihalal sendiri berakar dari budaya masyarakat Indonesia yang mengutamakan nilai kebersamaan. Konsep ini mulai berkembang sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno, di mana para tokoh bangsa menggunakan momen Idulfitri untuk mempererat persatuan setelah terjadi ketegangan politik.

Adalah KH. Wahab Hasbullah (1888-1971) dimintai masukan dan pandangan oleh Presiden Soekarno, yang pada intinya bagaimana perpolitikan di tanah air dapat guyub di antara komponen anak bangsa yang terfragmentasi dalam berbagai faksi politik dan ideologi.

KH Wahab Hasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi bersama. Karena Hari Raya Idul Fitri menjadi momentum bagi seluruh lapisan umat Islam yang disunahkan bersilaturahim.

Seiring waktu, Halal Bihalal menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat, baik di lingkungan keluarga, perkantoran, hingga institusi pemerintahan. Tradisi Halal Bihalal kini berlaku umum, bukan hanya bagian dari acara keagamaan semata namun kini bertransformasi menjadi tradisi otentik bangsa Indonesia tanpa memandang sekat identitas manapun.

Secara literal, istilah “Halal Bihalal” berasal dari kata “halal,” yang berarti sah atau diperbolehkan, dan sering dikaitkan dengan makna saling memaafkan serta membersihkan hati dari rasa dendam. Dengan demikian, Halal Bihalal bukan sekadar pertemuan fisik, melainkan juga perjumpaan batin yang penuh dengan nilai keikhlasan dan kasih sayang.

Terangkainya kata halal bi halal menjadi istilah yang menyiratkan agar kita sesama manusia saling menghalalkan dosa-dosa. Karena pertikaian demi pertikaian yang sebelumnya menjadi alasan perpecahan politik di Indonesia kala itu.

Atas saran dan masukan dari KH Wahab Hasbullah itulah kemudian Bung Karno dalam momentum Hari Raya Idul Fitri tahun 1948 mengundang semua tokoh politik. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja. Hal ini menandakan babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal lekat dengan tradisi di Indonesia pasca-lebaran hingga kini.

Dalam sejarahnya, Halal Bihalal sering menjadi sarana untuk menjalin kembali hubungan yang mungkin sempat renggang. Tradisi ini bukan hanya dilakukan oleh umat Muslim, tetapi juga oleh berbagai kalangan yang menghargai pentingnya silaturahmi dan harmoni sosial. Bahkan, Halal Bihalal telah menjadi bagian dari budaya nasional yang diterima secara luas di masyarakat.

Ruang Kesetaraan dalam Halal Bihalal

Salah satu nilai fundamental yang ditawarkan oleh Halal Bihalal adalah kesetaraan. Dalam momen ini, tidak ada sekat antara atasan dan bawahan, kaya dan miskin, ataupun pejabat dan rakyat biasa. Semua orang hadir dengan niat yang sama: saling bermaafan dan mempererat hubungan persaudaraan.

Hal ini mencerminkan esensi Islam yang menempatkan manusia dalam posisi yang egaliter di hadapan Tuhan. Perbedaan status sosial tidak menjadi penghalang untuk berbagi kebahagiaan dan kedamaian. Bahkan, dalam tradisi masyarakat pedesaan, Halal Bihalal sering kali digelar secara terbuka baik dalam bentuk reuni keluarga, syawalan atau sekedar mempererat rasa persaudaraan dan solidaritas sosial sehingga memiliki implikasi dalam upaya mendorong kohesi sosial di tengah-tengah masyarakat.

Lebih dari sekadar formalitas, Halal Bihalal memberikan kesempatan bagi individu untuk larut dalam kebersamaan. Mereka yang sebelumnya memiliki perbedaan atau kesalahpahaman dapat menjadikan momen hari raya sebagai waktu untuk berdamai dan memperbaiki hubungan. Dengan demikian, Halal Bihalal menjadi simbol rekonsiliasi yang efektif dalam membangun masyarakat yang lebih harmonis.

Halal Bihalal dan Modernitas

Seiring perkembangan zaman, Halal Bihalal mengalami berbagai penyesuaian, terutama dengan kemajuan teknologi. Di era digital, tradisi ini tidak lagi terbatas pada pertemuan langsung, tetapi juga dapat dilakukan secara virtual. Kita masih diingatkan ketika merebaknya Pandemi COVID-19 di seluruh dunia, misalnya, telah mengubah cara pandang masyarakat dalam bersilaturahmi dengan mengandalkan platform digital sebagai media tegur sapa dan bersilaturahmi.

Meskipun begitu, esensi dari Halal Bihalal tetap sama yakni memperkuat tali persaudaraan, menebarkan kedamaian, dan menjaga harmoni sosial. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk tetap melestarikan tradisi ini, baik dalam bentuk tatap muka maupun melalui teknologi yang ada.

Sekalipun dalam perkembangannya, aktivitas soliter dengan fokus pada gawai kian mereduksi kehangatan dalam obrolan. Namun demikian, dengan memanfaatkan teknologi dengan baik maka yang jauh dapat didekatkan dalam genggaman.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam tradisi Halal Bihalal adalah pergeseran nilai di masyarakat. Di beberapa tempat, tradisi ini mulai kehilangan esensinya dan hanya menjadi seremoni tahunan. Nilai kebersamaan yang seharusnya diusung justru digantikan dengan formalitas belaka.

Ke depan, tradisi Halal Bihalal diharapkan dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai fundamentalnya. Dengan menjaga semangat kebersamaan dan kesetaraan yang terdapat dalam tradisi ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis, inklusif, dan penuh dengan kedamaian.

Oleh karena itu, mari kita jadikan Halal Bihalal sebagai momentum untuk merayakan kemenangan dengan saling mendekatkan diri kepada Allah dan mempererat hubungan sesama manusia (Hablum Minallah).

Jika dulu Halal Bihalal menyatukan bangsa yang terfragmentasi oleh friksi politik, maka hari ini tradisi ini dapat menjadi alat untuk menyatukan kembali masyarakat yang mulai terpisah oleh sekat sosial dan teknologi. Kini, pertanyaannya bukan apakah Halal Bihalal masih relevan, tetapi bagaimana kita menjaga agar ia tetap bermakna. Halal Bihalal menjadi cerminan dari nilai luhur bangsa Indonesia baik dalam bentuk persaudaraan, kesetaraan, dan harmoni sosial. []

*) Penulis adalah Dosen Undiksha Singaraja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *