KEDAI Kopi De Kakiang. Jumat, 11 Oktober 2024, malam. Komunitas Berita Keroncong mengalunkan lagu-lagu lawas. Bengawan Solo, Aryati, dan juga yang lain.
Suara suuueerrrp, suuueerrrp, samar-samar terdengar dari seruputan pengunjung. Duduk di sudut-sudut venue yang klasik. Menikmati kopi hangat. Kopi susu dingin. Coklat atau coklat susu. Atau ya, menikmati beragam menu yang disuguhkan De Kakiang.
Malam itu, malam berbeda di kedai kopi tersebut. Suasana mungkin sama. Tapi konten suasananya yang lain. Sajian musik keroncong di tengah pengunjung yang sebagian besar generasi Z. Itu beda banget.
Dan, ini yang juga beda di De Kakiang malam itu. Terjadinya pertemuan sejumlah kegelisahan dengan segepok mimpi. Yang punya kegelisahan itu generasi Z. Yang punya mimpi adalah seorang calon pemimpin. Calon pemimpin Buleleng.
Tajuk pertemuan di De Kakiang malam itu “Brewing Hope”. Atau terjemahan bebasnya ‘Membangun Harapan’. Acara yang dikemas pegiat komunitas di Singaraja Kardian Narayana, dan kawan-kawan. “Brewing Hope” dinarasikan sebagai ruang dialog antara masyarakat dan calon kepala daerah dalam suasana yang santai dan terbuka.
Seperti halnya menyeduh kopi, ‘Membangun Harapan’ membutuhkan proses yang teliti dan penuh komitmen. Rakyat boleh mendengar visi-misi calon pemimpinnya. Tapi, pemimpin harus mendengar suara rakyatnya.
Calon pemimpin yang hadir malam itu adalah Dr. Gede Suardana, Calon Wakil Bupati Buleleng. Ia akan bertarung dalam Pilkada Serentak 2024 mendampingi Calon Bupati Buleleng,Dr. Nyoman Sugawa Korry. Dialog dipandu editor tatkala.co, Jaswanto.
Kegelisahan pertama diutarakan Dinda. Ia menyoroti kasus kekerasan di Buleleng, yang justru banyak terjadi di ruang privat, bahkan di ruang adat. Apakah sudah saatnya Buleleng memiliki rumah aman bagi korban kekerasan seksual?
Menjawab Dinda, Dr. Gede Suardana menyatakan, bahwa di Bali, isu tentang gender masih kurang. Bahkan pernah ada isu profesi tertentu dilarang tampil. Ia punya mimpi soal itu. Kata dia, para korban yang mendapatkan ketidakadilan di ruang privat itu biasanya enggan melapor.
“Karena itu, kami rancang untuk membuat aplikasi. Aplikasi pengaduan. Jika cerita keluar, mereka kadang malu dan memandang itu adalah aib. Nah, dari aplikasi itu nanti ada tindak lanjut dari pemerintah untuk mengambil langkah selanjutnya,” katanya.
Dr. Gede Suardana sadar, untuk menghentikan tindakan kekerasan seksual butuh waktu panjang. Perlu upaya memberikan pemahaman kepada tetua dan masyarakat luas di Bali. Jika pemahaman itu kuat, maka kekerasan seksual itu dapat diminimalisir.
“Kesadarannya kita bangun. Dengan kesadaran yang dimiliki, mereka akan tahu batasan yang dilakukan sehingga akan urung melakukan hal tersebut. Kelian desa juga diharapkan dapat mengadopsi pemahaman kesetaraan gender agar masuk dalam awig-awig. Dan di Buleleng saat ini agar didorong KPAI agar ada hingga ke daerah. Tidak hanya ada di provinsi saja,” ujarnya.
Mengenai rumah aman, Dr. Gede Suardana mengaku merasa cukup terkejut. Karena dengan kasus kekerasan seksual tertinggi, Buleleng tidak punya rumah perlindungan.
Menurutnya, rumah aman itu sangat penting untuk perlindungan korban. Dengan kasus yang begitu tinggi, pihaknya memiliki komitmen kuat akan hadirnya rumah perlindungan ibu dan anak. “Kami akan mengajak pegiat dan akademisi untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Tidak semata-mata soal kekerasan, bisa jadi ada permasalahan ekonomi, pendidikan, sosial dan yang lainnya. Saya berkomitmen untuk itu,” katanya.
“Ini lebih keresahan saya. Ini tentang iklim komunitas di Buleleng. Saya punya harapan jika ada orang yang datang ke Buleleng tidak lagi bimbang mau cari apa di Buleleng. Tapi, banyak hal yang tidak terfasilitasi. Seperti halnya lapangan skateboard yang sampai saat ini tidak punya tempat. Sedangkan pemain skateboard banyak sekali. Beberapa tempat mereka bermain berbenturan dengan pihak keamanan. Ruang seperti itu harusnya dibuat. Begitu juga dengan sastra, budaya dan lainnya,” Gus Mahadi menyampaikan kegelisahan yang lain.
“Saya awali dari grup Berita Keroncong ini. Ini menunjukkan anak muda Buleleng sangat kreatif. Tetapi iklimnya yang belum mendukung,” kata Dr. Gede Suardana menjawab Gus Mahadi.
Menurutnya, yang disampaikan Gus Mahadi adalah persoalan iklim. Dr. Gede Suardana mengaku siap menjadi teman komunitas. “Aspirasi keresahan akan secara nyata saya dapatkan dan lebih intim saya dapatkan. Berita Keroncong ini nasibnya sama seperti komunitas skateboard,” sambungnya.
Ia menceritakan, skateboard dulu di depan warungnya, Apple Mart di Jl. A. Yani Singaraja, sering mondar-mandir. Sempat muncul cerita-cerita bagaimana kalau Buleleng punya skatepark. Dulu pernah ada, tapi tidak layak.
Bagi Dr. Gede Suardana, sarana prasarana untuk komunitas harus dipenuhi. Iklim keramaian yang kondusif untuk beraktivitas harus diciptakan. “No Traffic no business, tidak ada keramaian UMKM tidak hidup,” ujarnya.
Menurut mantan jurnalis ini, tidak semua orang punya keahlian untuk menjadikannya pusat keramaian. Caranya menciptakan iklim, Buleleng harus ramai setiap hari. Tidak ada tempat pertunjukan yang nganggur. “Contoh Kampung Tinggi dan Taman Yowana Banyuasri banyak nganggur. Kami akan membuat kegiatan yang menghidupkan Buleleng. Semua seniman baik kontemporer, modern dan tradisional dapat tampil sesuai porsinya,” tegasnya.
Lalu Eka Darmawan, owner Rumah Plastik, menimpali. “Saya ingin bilang, pemikiran seorang pemimpin kadang tidak sampai di bawah. Contoh ngomongin UMKM. Jika ada kegiatan, maka yang diundang orangnya itu-itu saja. Seakan-akan tidak ada yang lain. Bagaimana cara Bli De untuk menyalurkan program kerja itu dan tidak ambigu sampai ke dinas-dinas yang di bawah? Sehingga semua orang dapat porsinya secara merata.”
Terkait hal itu, jawab Dr. Gede Suardana, ketika nanti dipercaya memegang mandat, pihaknya akan berusaha untuk melakukan pemerataan itu. “Ini memang kegalauan dari anak-anak muda dan komunitas. Saya sejak awal sudah memberikan atau mewakafkan diri saya. Jika dipercaya saya akan selalu hadir di lapangan,” jelasnya.
Ia juga akan selalu mengecek kebijakan pemerintah jika itu terhambat atau belum berjalan. Menurutnya, dirinya akan lebih banyak di lapangan karena jiwanya sudah terbiasa seperti itu.“Dan saya yakinkan itu akan terlaksana. Anggaplah saya jembatan generasi kolonial dan generasi milenial. Kalau tidak, saya akan terima konsekuensinya. Mulai sekarang, jangan lagi bertanya, tapi komunitas itu meminta dan mengajukan konsep agar cepat terlaksana,” tandasnya, disambut tepuk tangan. (yum)