- Kolom Khusus Ketut Muhammad Suharto
ALHAMDULILLAH. Awalnya, Masjid Jami’ Safinatussalam Pegayaman didaulat sebagai peserta dalam ajang Anugerah Masjid Percontohan dan Ramah (AMPeRa) untuk Kategori Masjid Bersejarah Percontohan yang digelar Kementerian Agama.
Dengan status sebagai peserta lomba mewakili Kabupaten Buleleng, pengurus Masjid Jami’ Safinatussalam Desa Pegayaman sangat percaya diri untuk menerima tawaran ini. Para pengurus bersepakat untuk menyelesaikan semua bentuk syarat dan administrasi yang harus diisi dan diselesaikan.
Dalam kaitannya dengan administrasi kemasjidan, ada tiga komponen administrasi wajib yang harus diisi sesuai dengan sub kelembagaan administrasi kemasjidan. Di antaranya sub idaroh (manajemen dan administrasi), imaroh (kemakmuran), dan ri’ayah (pemeliharaan).
Dengan kerja sama yang utuh dari ketiga pengurus Masjid Safinatussalam, dan didukung kuat oleh Kemenag Kabupaten Buleleng, terutama oleh Kasi Bimas Islam, Bapak H.Ismail, secara ketat, alhamdulillah semua administrasi bisa terselesaikan dalam jadwal lomba yang sudah dipastikan.
Kita sangat menyadari dalam hal administrasi, dimana dan dalam situasi apapun, administrasi adalah masalah yang selalu menjadi perhatian untuk diselesaikan secara cermat dan disiplin. Hal ini juga terjadi di Masjid Jami’ Safinatussalam Desa Pegayaman. Akan tetapi, karena kondisi masjid yang dalam tahap renovasi berat membuat administrasi Masjid Jami’ Safinatussalam masih dalam kondisi belum maksimal, menuntut para pengurus untuk membuat waktu spesial untuk merapikannya.
Alhamdulillah, dengan kerja sama yang utuh pada bagian-bagian yang memang menjadi tugasnya pada tiga bidang (idaroh, imaroh, dan ri’ayah), akhirnya semua terselesaikan dengan sangat baik, mendekati sempurna, seperti buku profil masjid tercetak sangat sempurna dilengkapi dengan pendukung administrasi yang yang baik dan tertata rapi. Ini semua karena kinerja selama ini baik dan tercatat dengan baik.
Masjid Jami’ Safinatussalam dipilih sebagai masjid bersejarah, sangatlah tepat untuk mewakili Bali. Hal ini dikarenakan masjid ini memiliki sejarah yang jelas dalam kaitannya dengan sejarah Kerajaan Buleleng yang didirikan I Gusti Anglurah Panji Sakti.
Raja Panji Sakti merekrut 100 orang laskar yang dibawa dari Blambangan Jawa Timur pada tahun 1648 M. Dari sinilah cikal bakal awal berdirinya Masjid Jami’ Safinatussalam Desa Pegayaman.
Ketika kami menentukan tahun berdirinya masjid ini, kami duduk bareng bersama para sesepuh untuk membuat kesepakatan. Akhirnya kami menyepakati tahun berdirinya Masjid Jami’ Safinatussalam pada tahun 1650 M.
Kesepakatan tersebut diambil atas pertimbangan, diantaranya; 1. Komunitas yang hadir pada tahun 1648 adalah laskar yang direkrut Raja Panji Sakti yang beragama Islam, berjumlah 100 orang yang dipimpin oleh tiga orang, yaitu Nur Alam, Nur Awin dan Nur Mubin. Komunitas ini taat dan fanatik dalam menjalankan akidah Islam dalam ibadah dan sosial keumatan.
2. Hubungan dengan pihak Kerajaan Buleleng sangat baik dan para laskar tersebut mendapat tugas yang pasti, yakni sebagai pengaman wilayah Kerajaan Buleleng. Hingga dengan posisi ini sangatlah memberi posisi penting bagi kerajaan dan kelas pada strata sosial di Bali.
3. Kemudian Pegayaman diberi lokasi yang sangat luas dan strategis, kurang lebih 2.000 hektar. Dan ini sangat memberi peluang untuk membangun komunitas khusus yang beragama Islam, hingga menuntut untuk dibangunnya masjid.
4. Luasnya wilayah dan tersebarnya warga pada posisi strategis sampai ke wilayah perbatasan Tabanan, membuat konsentrasi para penglingsir Pegayaman untuk membuat masjid pada satu posisi strategis yang mempunyai multifungsi, yakni sebagai tempat ibadah, kegiatan sosial, budaya, dan adat, serta politik.
5. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kebiasaan umat Islam Pegayaman yang disiplin dalam melaksanakan ibadah shalat (terbiasa shalat di pinggir kali, sawah, batu-batu sungai ), menandakan umat Islam Pegayaman sangat taat dan disiplin dalam melaksanakan ibadah.
Setidaknya lima hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan dalam mencari keputusan tahun berdirinya Masjid Jami’ Safinatussalam yakni di tahun 1650 M. Sebab, jika dihitung dari masa kedatangan 100 laskar pada tahun 1648 M dari Blambangan, Jawa Timur, maka jeda waktu dua tahun sangatlah masuk dalam akal untuk pertimbangan membuat tempat ibadah yang permanen, yaitu Masjid Safinatussalam Desa Pegayaman. Dengan mencari posisi yang pas agar bisa masjid ini menjadi multifungsi.
Sejak awal keberadaannya, tahun 1648, dengan usia kurang lebih 4 abad, merupakan sebuah perjalanan panjang bagi Desa Pegayaman dalam mencari dan menentukan jati dirinya sebagai warga Bali yang sudah berumur tua. Dalam perjalanan Desa Pegayaman mencari jati dirinya, terjadi nuansa akulturasi di bidang budaya, politik sosial dan yang lainnya.
Hal ini nampak dalam semua aktivitas masyarakatnya yang bernuansa Bali. Terutama dalam aktivitas kesehariannya, seperti dalam berbahasa menggunakan bahasa Bali. Ketika memanggil nama, menggunakan nama-nama Bali, seperti Wayan, Nengah, Nyaman dan Ketut. Dalam membuat kuliner, masyarakat Pegayaman juga dengan menggunakan kuliner Bali, seperti tape, jaje uli, kaliadem, dodol, dan yang lainnya.
Dalam aktivitas perayaan dan peringatan, tahapan-tahapannya juga semuanya menggunakan tahapan-tahapan pelaksanaan yang ada di Bali, seperti penapean, penyajaan, penampahan, dan rainan, serta umanis. Juga di semua aktivitas sosial lainnya seperti subak, ada subak basah dan subak kering.
Dalam berkesenian pun menggunakan kesenian yang berirama Bali dan bernuansa Bali, baik dari kidungnya, pakaiannya, semuanya bernuansa Bali. Misalnya dalam kesenian burdah. Ada juga kesenian yang hanya dengan vokal yang disebut dengan zikir maulid. Zikir maulid ini juga irama lagunya mirip dengan kidung Bali, akan tetapi semua syair-syairnya adalah syair-syair bahasa Arab, yang diangkat dari Al Barzanji.
Juga dalam membuat acara hajatan seperti dalam pernikahan. Dalam acara ini juga digunakan tahapan-tahapan yang dipakai dalam budaya Bali, seperti tahapan utama, madya, dan nista.
Artinya bisa disimpulkan semua budaya yang berkembang di Pegayaman adalah budaya akulturatif dengan budaya Bali.
Semua budaya akulturasi ini berkembang dari awal adanya Pegayaman sampai sekarang, tetap bertahan secara utuh. Budaya akulturasi ini, bisa disaksikan dan dinikmati sampai sekarang bukan hanya untuk atraksi, akan tetapi juga sebagai sebuah budaya keseharian.
Dan seakan-akan akulturasi inilah yang membuat sebuah kebanggaan bagi warga Pegayaman hingga kini. Eksistensi dari nilai akulturasi ini membawa nilai keberuntungan bagi warga Pegayaman. Sebab, selama ini, Desa Pegayaman menjadi objek kajian-kajian ilmiah dari semua kalangan. Dan juga menjadi lokasi kunjungan-kunjungan untuk kajian kesejarahan.
Dalam perjalanannya selama 4 abad, Desa Pegayaman mampu membuat sebuah peradaban lokal dengan ciri khasnya. Di sisi lain, Pegayaman juga mampu mempertahankan akidah keislamannya tanpa ada sedikitpun nilai budaya yang masuk dalam nilai-nilai keakidahan Islam-nya. Hal inilah yang bisa membuat warga Islam Pegayaman bertahan dengan ciri khas kemampuannya, bisa membedakan mana kegiatan yang bernuansa agama dan mana kegiatan yang bernuansa budaya.
Untuk menjawab hal ini, mungkin satu pertanyaan dan sering juga diungkapkan oleh kalangan akademisi, apa sebabnya Pegayaman yang sudah berumur 4 abad dan ada di satu wilayah dengan komunitas minoritas, mampu mempertahankan nilai-nilai akidahnya secara murni.
Kenyataan inilah yang bisa menjadi daya tarik dari Desa Pegayaman pada khususnya dan pada umumnya kepada warganya yang sangat kuat dalam menjalankan akidah dan sosial budayanya tidak terhalangi oleh nilai-nilai keimanan yang dipegangnya.
Dalam perjalanan sosial dan budaya serta ekonomi, warga Pegayaman tidak pernah terhalangi karena keyakinannya, berkomunikasi selalu dilakukan, apalagi dalam hal mencari ekonomi tidak pernah ada batas sekalipun berbeda keyakinan.
Menurut analisa penulis, itu sebab-sebab kenapa Masjid Safinatussalam Pegayaman mampu meraih juara 1 lomba masjid nasional. Semua ini adalah hasil dari sebuah penilaian yang jujur tentang umur dari Desa Pegayaman yang sudah mencapai 4 abad. Dan dalam masa 4 abad yang merupakan masa yang sangat panjang itu, tidak mampu digoyahkan keimanannya, berada dalam komunitas yang minoritas di Bali ini. Justru warga Masjid Safinatussalam Desa Pegayaman mampu menjadikan budaya-budaya Bali ini sebagai sebuah budaya yang bernilai apresiasi dan mendukung keberadaan dari keimanan, keislaman dan keikhlasan warga Masjid Safinatussalam Desa Pegayaman.
Insya Allah yang membuat berbeda dengan masjid-masjid yang bersejarah lainnya adalah, nilai-nilai keberadaan komunitas Pegayaman. Di samping nilai sejarah yang cukup panjang, juga lokasi keberadaan dari jamaah Pegayaman yang berada pada lingkaran komunitas yang berkelainan keyakinan, dan bisa mempertahankan akidah Islam secara murni tanpa terganggu oleh budaya yang berkembang di sekitarnya. Dan sekali lagi malah budaya yang ada di sekitarnya sebagai pendukung untuk meriahnya berlangsungnya keyakinan keimanan akidatul Islam bertahan berada pada dada warga Masjid Safinatussalam Desa Pegayaman. []
*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Desa Pegayaman