- Kolom Khusus Ketut Muhammad Suharto
KISAH perjalanan Mekel Putu pada tahun 1891 M ke Bumi Sasak sebagai duta pengaman kisruh yang terjadi antara rakyat Praya Lombok Tengah yang memberontak terhadap Kerajaan Mataram telah dibahas pada tema sebelumnya. Ternyata setelah saya kembali mengulik tentang kisah masa lalu warga Pegayaman dan peran sertanya pada dinamika yang sangat kompleks, kembali saya menemukan kisah-kisah yang dituturkan oleh para kumpi-kumpi yang secara langsung mendengar ceritanya dari para pelaku sejarah di masa lampau.
Salah satu cerita saya dapat dari Dadong Solah (Meme Humainah). Beliau sudah terhitung kumpi. Luar biasanya, sampai sekarang beliau masih sehat dan masih mengingat apa yang didengar pada saat beliau berusia kurang lebih 9 tahun.
Saya mendatangi beliau pada hari Selasa, 16 Juli 2024, di pagi hari, sekitar pukul 7.30, WITA. Saya sengaja berkunjung ke gubuk beliau di tengah kebun cengkeh ambal-ambal (lahan waqaf) masjid. Lokasinya dekat rumah saya. Kurang lebih 300 meter jaraknya.
Ketika saya menghampiri gubuknya, saya melihat Dadong Solah sedang ada di tengah kebun. Terlihat belaiu sedang berusaha mencabut umbi-umbian. Saya tidak menyapa beliau, dengan harapan tidak mengagetkannya, dan tidak mengganggu aktivitasnya. Sampai beliau selesai melakukan aktivitasnya, sekalipun tidak berhasil mencabut umbi jahe karena tenaga beliau sudah tidak cukup kuat untuk mencabut umbi jahe yang rencananya dipindahkan untuk ditanam di tempat lain.
Akhirnya Dadong Solah berdiri dan tersenyum melihat saya. Beliau mempersilahkan saya untuk duduk di bebalean beliau dengan sapaan yang sangat ramah sebagaimana biasa orang-orang Pegayaman yang mempersilahkan para tamu untuk duduk dan menawarkan kopi. Untuk tawaran kopi beliau, saya mohon maaf menolak, karena baru habis ngopi di rumah.
Saya membuka cerita dengan menanyakan umur beliau. Ternyata cerita pada zaman Jepang, Dadong Solah sudah tahu dan saat itu kira-kira berusia 8 tahun. Belum baligh (menstruasi). Banyak sekali yang beliau ceritakan pada saat itu, tentang kisah-kisah dan keluarga yang bernasab terkait.
Pada saat Dadong Solah bercerita, beliau secara tidak sadar menyebut kisah tentang seorang pendekar yang selama ini saya sama sekali tidak pernah dengar namanya, yakni Kumpi Murid.
Menurut Dadong Solah, Kumpi Murid ini merupakan seorang pendekar yang ngiring (bahasa halus bagi orang biasa mengikuti kalangan bangsawan untuk ikut mengabdikan dirinya dalam pembelaan).
Kata Dadong Solah, Kumpi Murid ngiring Mekel Putu ke Bumi Sasak sebagai pembela dalam berperang. Meme Dadong Solah mendengar cerita dari Kumpi Murid bahwa sesampai di Bumi Sasak, Kumpi Murid menemukan banyak sekali mayat bergelimpangan. Ada yang terpenggal kepalanya, dan kena tombak.
Ketika Kumpi Murid menceritakan kisahnya di depan banyak orang, termasuk Dadong Solah yang masih kecil pada saat itu. Dadong Solah ikut menikmati cerita Kumpi Murid. Saat bercerita itu, usia Kumpi Murid sudah sangat renta dengan berpangku pada tongkat dan badannya sudah bungkuk karena usia.
Cerita dari Dadong Solah ini seakan membuka cakrawala sejarah. Saya sampai berulang kali bertanya untuk meyakinkan cerita Dadong Solah tentang Kumpi Murid ini. Sampai-sampai menanyakan siapa nama lain dari Kumpi Murid ini. Ada yang memanggil pungkusan-nya dengan nama Bapak Hadijah, yang nama panggilannya Sri Tami.
Kumpi Murid ini ternyata seorang muallaf dari Selulung Karangasem. Beliau menetap di Pegayaman, dan menurunkan generasi sampai sekarang tersebar di Pegayaman. Disebutkan oleh Dadong Solah, keturunan Kumpi Murid yaitu Malkan, Zarkasi, Sufinah, Hajjah Mahrah, Nuhrimah. Dari Kumpi Sufinah lahirlah Dadong Solah. Keturunan Kumpi Murid sampai sekarang sudah generasi kedelapan.
Dari kisah yang dituturkan oleh Dadong Solah ini, saya mendapat sebuah gambaran tentang kisah diutusnya Mekel Putu sebagai punggawa pada tahun 1891 M ke Bumi Sasak, ternyata didampingi oleh seorang pendekar pilih tanding.
Sebab, seperti dikisahkan oleh Dadong Solah, Kumpi Murid adalah seorang pendekar yang hebat dan bisa terbang melompati rumah kalau dalam melatih murid-muridnya di Pegayaman. Kenyataan sejarah ini membuktikan sinergi para cendikia dahulu, selalu didampingi oleh para pendekar pilih tanding.
Dan ketika saya bertanya kepada Dadong Solah, Mekel Putu tetap dan berdomisili di Bumi Sasak, kenapa Kumpi Murid kok pulang ke Pegayaman, Dadong Solah menjawab. Kata dia, Kumpi Murid itu tanahnya banyak, dan anaknya juga banyak. Kalau tinggal menetap di Sasak, siapa yang menggarap tanahnya di Pegayaman.
Sampai-sampai diceritakan bahwa tanah Kumpi Murid ada di Banjar Dinas Kubu (Kumaan Tegeh Sampi, dekat Keramat), juga ada di Tembara. Intinya, Kumpi Murid banyak tanahnya di Pegayaman. Ini bisa diduga juga Kumpi Murid sudah andil juga dalam peperangan Banjar pada tahun 1868 M.
Hasil perjuangan para kumpi-kumpi bukit Pegayaman ternyata sampai ke wilayah Sasak. Jelasnya ketika pemberontakan Haji Bangkol Praya terhadap Kerajaan Mataram, Anak Agung Made Karangasem. Pemberontakan itu terjadi karena ketidakpuasan H. Bangkol terhadap kebijakan raja, yang telah semena-mena terhadap rakyat. Raja mencabut perjanjian kebijakan raja-raja Karangasem sebelumnya dalam masalah pajak amati getih, yakni bebas pajak, tapi ‘pajak’ dengan bela mati pada kerajaan).
Hal inilah yang menyulut pemberontakan warga Praya dan Sasak pada umumnya kepada Kerajaan Anak Agung Mataram, yang dimulai dari tahun 1891 M, sampai kedatangan Belanda pada tahun 1894 sebagai penguasa Bumi Sasak.
Dan selanjutnya Mekel Putu di Bumi Sasak sebagai punggawa. Sebagai bukti keberadaannya, sampai sekarang keturunannya menempati wilayah Kebon Raja, Jalan Pariwisata, di belakang kantor Gubernur NTB sekarang, serta di Desa Banyumulek, Desa Sesaot dan tersebar di tempat lainnya.
Demikian kisah pendekar pilih tanding dari Pegayaman sebagai pengiring Mekel Putu dari Desa Pegayaman, Bali, Buleleng, dalam tugas mengamankan situasi krodit di Bumi Sasak pada tahun 1891 M, yang diutus oleh Kerajaan Buleleng. []
*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Pegayaman