‘Biu’ Kreativitas Berbau Fitnah

  • Esai Sejarah dr. Soegianto Sastrodiwiryo *)

SAAT itu sekitar tahun1958 dan SMP 2 masih meminjam gedung sekolah Belanda yang dipakai bersama SMEAN Singaraja. SMAN pun meminjam tempat yang sama bergantian dengan SMEA.

Setiap keluar jam lonceng pertama sore anak-anak SMP lazimnya berkumpul di pintu belakang sekolahan.

SMP 2 masuk siang. Ada juga kesempatan berkumpul mendengarkan anak-anak SMA di pintu dekat pagar ke belakang.

Dolok yang baru SMP paling senang berdiri di pagar dekat pintu ke belakang sekolah sambil mendengarkan anak-anak SMA yang suka bercerita. Ada dua orang yang paling suka bercerita yaitu Aswin A dan Aswin B, dua kakak beradik, yang sama-sama sekolah di SMAN. Keduanya kembar.

Aswin berceloteh dia paling senang kalau saat berbaris ketemu dengan siswa-siswa SGKP di jalan raya.

“Biuu biuuu biuuu”, teriak Aswin diikuti oleh beberapa kawannya sambil mengejek siswa-siswa SGKP yang lagi berbaris itu. Tentu saja anak-anak siswa itu keheranan, apa maksud pemuda-pemuda ini berteriak demikian. Pasti ada yang tidak beres.

Akhirnya diketahui sebabnya setelah kepala sekolahnya melaporkan ke inspektur pendidikan kemudian yang terakhir ini melaporkan ke Dandim Mayor Iwan Stamboel.

Setelah terungkap masalahnya, beberapa orang pemuda yang acapkali berteriak demikian ditangkap atas perintah Mayor Iwan. Hasil penyelidikan mengatakan bahwa ada anak SMA yang sempat bermain ke asrama SGKP tapi di tempat sampah menemukan gelondongan pisang yang dibungkus dengan karet pelembungan buat balon.

Tapi setelah ditanya lebih teliti ternyata pemuda itu hanya mengarang cerita sebagai kreasi untuk disampaikan ke kawan-kawannya.

Berita penangkapan anak SMA ini segera sampai ke kepala SMA dan pimpinan sekolah segera minta bantuan kepada Ibu Gedoeng yang hubungannya dekat dengan Mayor Iwan.

Ibu Gedoeng yang trengginas itu berhasil melunakkan hati Dandim dan berhasil mengeluarkan anak-anak yang telah ditahan beberapa hari dengan catatan tak mengulangi perbuatan lagi, serta harus minta maaf kepada pimpinan SGKP.

Semuanya berjalan mulus, namun cerita itu tentu menjadikan kisah palsu yang tidak enak didengar. Bayangkan anak-anak siswa yang tak berdosa itu dituduh melakukan onani dengan menggunakan biu (bahasa Indonesia pisang).

Dolok masih mengingat peristiwa ejekan itu sampai bertahun-tahun kemudian. Sejak saat itu hubungan antara anak-anak SMAN dengan siswi-siswi SGKP tidak harmonis lagi. Anak SGKP lebih suka beranjangsana ke asrama sekolah SGPD yang polos dan tidak banyak tingkah itu.

Bahkan konon Gde Pasek yang menjalin asmara dengan Larmini, gadis molek dari SGKP. Itupun entah bagaimana diputusi pacarnya. Gde Pasek sangat kecewa. Belakangan dia mengganti namanya menjadi Puja Mantra, tapi tetap saja masa lalu tak bisa dikembalikan. []

*) Penulis adalah Cendekiawan dan Sejarawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *