Oleh Umar Ibnu Alkhatab *)
SELAIN Muhammadiyah Bali, Nahdlatul Ulama (NU) Bali juga merupakan salah satu komponen penting yang mendukung Pak Koster sebagai calon Gubernur Provinsi Bali. NU Bali melihat bahwa Pak Koster mampu menjamin hidupnya kerukunan beragama di pulau Dewata.
Dalam pandangan NU Bali, kerukunan di Bali mesti dijaga untuk kepentingan pembangunan agar tidak mengalami hambatan. Bagi NU Bali, kerukunan adalah modal penting untuk memelihara keberagaman di Bali. Dengan menjaga kerukunan, Bali bisa menjadi tolok ukur bahwa pembangunan bisa seiring sejalan dengan keragaman dan toleransi.
Dalam konteks itulah, NU Bali yakin bahwa Pak Koster mampu mewujudkan hal itu, dan karena itu NU Bali memberikan dukungan penuh pencalonan Pak Koster sebagai Gubernur Bali.
Rupanya, dukungan dari NU Bali untuk Pak Koster bukanlah berasal dari ruang kosong. Pak Koster sendiri, dalam sebuah kesempatan, mengaku bahwa ia telah memiliki hubungan yang cukup untuk intim dengan NU, dan hubungan itu telah dibangunnya sejak muda.
Oleh karena itu, ia merasa sangat nyaman dan bangga berada di tengah-tengah keluarga besar Nahdhatul Ulama (NU) Bali. Menurutnya, sejak muda, ia telah mengenal NU khususnya organisasi sayap NU, yakni Ansor.
Saat menghadiri Konferensi Wilayah (Konferwil) VII Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Provinsi Bali di Hotel Harris Denpasar pada pertengahan tahun 2020 yang lalu, misalnya, tidaklah keliru jika Pak Koster menyebutkan bahwa ia tidak mungkin meninggalkan NU. Sikap untuk tidak meninggalkan NU Bali dapat diartikan sebagai sebuah sikap respek terhadap NU Bali yang selama telah ikut menjaga dan ikut pula membangun Bali.
Kehadiran NU Bali, dengan demikian, tidak dapat dinafikan begitu saja oleh karena peran serta NU dalam membangun Bali sangat dirasakan kemaslahatannya oleh masyarakat Bali. NU Bali telah dipandang sebagai organisasi masyarakat yang besar yang mampu menjadi perekat bagi keragaman agama, suku, dan etnis di Bali. Bagi Pak Koster, NU Bali adalah asset masyarakat Bali yang harus dirawat dan dimanfaatkan secara produktif untuk kebaikan masyarakat Bali.
Cara pandang Pak Koster kepada NU Bali itulah yang menyebabkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf meminta Pak Koster berbicara dalam Forum Religion of Twenty (R20), yakni forum yang mempertemukan banyak ulama dan pemuka agama dari berbagai negara. Bagi NU, Bali telah dianggap mampu mengelola masyarakatnya untuk hidup damai, dan pengalaman itu perlu disampaikan dalam forum yang strategis tersebut.
Pak Koster juga diminta bercerita tentang bagaimana Bali mengelola masalah yang terkait dukungan antar umat beragama pasca terjadinya bom Bali I dan II sehingga tidak menimbulkan perpecahan yang berkepanjangan dan berhasil mengembalikan harmoni. Bagi Pak Koster, pertemuan para tokoh agama dunia itu adalah momentum yang baik untuk membawa peradaban baru ke depan.
Hubungan yang intim antara Pak Koster dan NU Bali tersebut tidak dapat dipungkiri telah membuat Pak Koster merasa nyaman karena menganggap dirinya bagian dari warga NU Bali dan telah membuat NU memiliki peluang untuk berkiprah semakin baik ke depannya, serta dan terus bisa bersinergi dengan mendukung program pemerintah.
Peluang tersebut dapat dipakai juga untuk menunjukkan sifat menyamabraya-nya guna membangun ukhuwah kebangsaan. Konsepsi menyamabraya ini sejalan dengan konsepsi NU tentang ukhuwah khususnya ukhuwah wathaniyah yakni sebuah komitmen persaudaraan antar seluruh masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam agama, suku, bahasa dan budaya. Hemat kita, konsepsi menyamabraya merupakan modal utama untuk membangun pergaulan sosial dan dialog dengan pelbagai komponen masyarakat Bali tanda ada keraguan apapun.
Akhirnya, baik Pak Koster maupun NU Bali telah memiliki kesamaan pandangan terkait bagaimana membangun Bali ke depan. Kita berharap, kesamaan pandangan ini terus terawat agar konsepsi menyamabraya juga ikut terawat. Dan oleh karena itu, rasa nyaman akan terus bertumbuh, baik di dalam diri Pak Koster sendiri, maupun di tengah masyarakat Bali.
Tabanan, 20 Juli 2023.
*) Penulis adalah Pengamat Kabijakan Publik