Oleh Eka Sabara
JEMBRANA merupakan potret Indonesia kecil. Pernyataan ini sering dilontarkan budayawan Bali Barat, Bang DS Putra (almarhum) semasa hidupnya saat kumpul Bersama-sama ngopi di Komunitas Budaya Ngopi Djembrana. Memang Jembrana yang terletak di Bali barat mempunyai berbagai keunikan ragam budaya tersendiri yang menjadi ciri khas, seperti mekepung, jegog, kendang mebarung, dan lain-lain.
Hal ini tidak terlepas dari perjalanan panjang yang menjadi jejak sejarah Jembrana di masa silam. Komunitas Bugis Melayu Loloan kala itu ikut mewarnai budaya yang ada. Benturan budaya di masa silam menjadikan kekayaan lokal kesenian Jembrana seperti “Jegog Janturan”.
Pada masa itu terjadi akulturasi budaya. Seni rebana dan silat Bugis banyak berakulturasi dengan seni jegog. Kesenian ini merupakan perpaduan dari dua kesenian lokal di Jembrana, yang disebut Jegog Janturan. Namun, saat ini sudah sangat jarang dipentaskan.
Jegog Janturan ini awal mulanya diperkenalkan oleh Pan Nyuling di akhir abad ke-17 Masehi. Pan Nyuling merupakan seorang seniman tari asal Mertesari yang juga sempat belajar silat Bugis dengan Daeng Sikudadempet.
Seni Jegog Janturan menggunakan dua buah rebana sebagai pengiringnya, ditambah dengan kecek, suling, rebab, kendang dan kempul, dengan media bahasa campuran antara bahasa Bali, bahasa Loloan.
Perpaduan kendang, rebana dengan jegog inilah dinamakan benturan atau ‘janturan’. Benturan budaya tersebut dinamakan Jegog Janturan.
Jegog Janturan ini dipimpin oleh Tuan Daag (seorang tokoh di dalam pertunjukan sebagai komunikator antara seniman dengan penonton, atau dalam acara resmi Daag tidak lain sebagai protokol atau pembawa acara).
Menggali kesenian lokal Jembrana di masa silam akan menambah khazanah atau perbendaharaan kesenian di Jembrana. Juga menyelamatkan aset tak benda yang mulai punah. (bs)
Sumber : Tulisan I Wayan Reken dan artikel Nanoq da Kansas yang berjudul Adaptasi Bebas Jegog Janturan I Wayan Reken dalam koran Jembrana Post tahun 2003.