SURABAYA – Cendekiawan Muslim Indonesia, Profesor Muhammad Quraish Shihab, menjelaskan fungsi strategis negara dari perspektif fikih. Menurutnya, perbincangan soal fungsi negara telah lama didiskusikan oleh para ahli fikih.
Secara mendasar, kata dia, para ahli fikih bersepakat mengenai urgensi adanya negara karena kehidupan manusia (pada setiap tingkatannya) tidak dapat lepas dari peraturan.
“Para cendekiawan/intelektual, khususnya para ahli fikih, sebenarnya telah memperbincangkan tema struktur negara sejak zaman yang lampau,” kata Prof Quraish, saat menjadi pembicara kunci di acara MUktamar Internasional Fiqih Peradaan I, di Surabaya, Senin (6/2/2023).
Mufasir jebolan Al Azhar, Kairo, itu kemudian menerangkan bahwa umat manusia telah mengenal beberapa contoh dan bentuk negara. Dalam perjalanan panjangnya, pertama-tama, negara dimulai dengan sistem kabilah/kesukuan. Sistem ini bertumpu pada kekuasaan kepala suku yang dianggap layak/mampu mengatur seluruh anggota sukunya.
“Lalu berpindahlah pada masa kekuasaan agama/aliran kepercayaan. Dalam catatan sejarah, negara dengan sistem ini pernah menguasai/mendominasi sebagian besar muka bumi,” terang Pendiri Pusat Studi Al Qur’an (PSQ) itu.
“Hari ini, kita menghadapi era globalisasi, di mana kita merasa menjadi anggota/bagian dari dunia internasional, sambil tetap menjaga identitas kebangsaan dan nasionalisme kita masing-masing,” sambung dia.
Tentu saja, lanjutnya, upaya-upaya mewujudkan rasa keanggotaan itu haruslah berasaskan keadilan, perdamaian, serta kesetaraan di antara seluruh umat manusia, demi sebuah tujuan yang dikehendaki oleh semuanya, tanpa melihat perbedaan agama, kebangsaan, maupun tingkat kehidupan sosialnya.
“Hal itu pun berjalan selaras dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat: 13,” ungkap Penulis Tafsir Al Misbah itu.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa ulama dan cendekia telah sepakat mengenai pentingnya menegakkan negara. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam hal-hal detailnya. Pertanyaan mengenai hubungan negara dan agama telah bergulir sejak lama.
“Misalnya, pertanyaan apakah menegakkan negara tersebut merupakan kewajiban syara’, ataukah kewajiban akal, ataukah keduanya. Atau pertanyaan apakah yang Rasulullah SAW bangun di Madinah itu merupakan suatu umat ataukah bahkan sebuah negara,” ucap dia.
Pertanyaan-pertanyaan itu, menurutnya, sejak zaman lampau, bahkan belum berhenti hingga hari ini, perbincangan-perbincangan mengenai struktur negara masih saja bergulir.
“Sungguh tidak sedikit para cendekia yang menyumbangkan pemikirannya untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti di atas,” tutur dia.
Terlepas dari apa pun pertanyaannya, ia mengajak kepada seluruh elemen bangsa Indonesia untuk dapat hidup dan bermasyarakat beriringan dengan dunia internasional demi mewujudkan perdamaian, membangun prestasi, dan kemajuan.
“Mari kita hidup bersama-sama pada alam planet yang sama. Atau bahkan, sebagaimana diumpamakan oleh Baginda Nabi; ‘Kita menaiki perahu yang sama. Apabila terdapat oknum yang merusak perahu ini, maka yang akan tenggelam adalah semuanya’,” imbuh Prof. Quraish. (bs)