Oleh Suprio Guntoro *)
BERAWAL dari acara Halal Bi Halal Idul Fitri Tahun 2021 lalu di Stikom Bali yang diselenggarakan oleh FPSI Bali. Bertemulah saya dengan Pak Haji Mahsun, Kepala Kampung Muslim Sindhu, Desa Sindhuwati, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali.
Lalu kami janjian untuk ketemu di Sindhu. Seminggu kemudian, dengan diantar oleh Pak Haji Ashadi, kami bertemu di Sindhu. Saya banyak mendapat infomasi tentang Sindhu dari Pak Haji Mahsun.
Sindhu sesungguhnya memIliki sumber daya alam yang cukup prospektif. Tanahnya subur. Air melimpah di mana-mana. Hawanya sejuk dan segar, serta panorama alamnya menawan. Dan yang lebih menawan hati saya, disamping masyarakatnya ramah, juga hubungan komunitas Muslim dan Hindu demikian dekat dan akrabnya. Kehidupan sehari-hari kedua komunitas ini berjalan harmonis. Ini yang membuat saya kerasan di Sindhu.
Tapi sayang, menurut Pak Haji Mahsun, perkembangan ekonomi di Sindhu terasa makin redup. Dahulu semangat warga dalam berusaha tani amat tinggi. Tapi kini semangat itu semakin pudar. Di satu sisi, harga-harga saprodi seperti pupuk, obat-obatan, dan lain-lain meroket tinggi.
Di sisi lain, harga produk bahan pangan seperti gabah, jagung, kedele, dan lain-lain tidak beranjak naik. Keadaan semacam ini memang dirasakan oleh seluruh petani di tanah air. Lantas sebagian warga Sindhu beralih mengembangkan tanaman buah-buahan, terutama salak. Tapi sayang, di musim panen raya harga salak jeblok, hanya Rp 1.000 bahkan hanya Rp 500 per kg. Bahkan belakangan ini seluruh tanaman buah, baik salak, mangga atau rambutan sering ludes digasak hama, yakni monyet, terutama di kawasan timur.
“Lantas apa ya Pak yang bisa kami usahakan sekarang. Karena sebagian besar warga bergantung pada pertanian?” tanya Pak Haji Mahsun. “Sabar. Tunggu 2-3 hari lagi. Saya kasih informasi,” jawab saya.
Besoknya, saya kontak kolega-kolega saya, para pengusaha yang ada di Bali maupun luar Bali. Dua hari kemudian, saya telpon Pak Haji Mahsun. Saya tawarkan untuk menanam gaharu. “Pasarnya bagaimana Pak. Soalnya kata teman-teman komoditas ini sulit memasarkannya?” tanya Haji Mahsun.
“Jangan khawatir, eksportir gaharu ke Arab Saudi dan Qatar, adalah teman dekat saya. Mereka sudah mau jamin pasar,” tegas saya.
“Kalau pasar terjamin, bapak suruh menanam apapun kami siap Pak,” jawab Pak Haji Mahsun.
Seminggu kemudian kami bertemu. Maka kami merencanakan mengembangkan gaharu dan sirsak ratu di Sindhu. Bibit tanaman gaharu jenis Gyrinop kami peroleh dari Fakultas MiPA, Universitas Mataram-NTB dengan harga yang amat murah. Sedangkan bibit sirsak ratu saya peroleh dari Balai Penelitian Buah Solok, Sumatera Barat. Jenis sirsak terbaik di dunia ini ditemukan oleh seorang peneliti di hutan, di kaki Gunung Kerinci.
“Sirsaknya ditanam di dekat rumah agar buahnya tidak dimakan monyet. Sedang gaharunya ditanam di kebun yang banyak monyetnya, biar mereka habiskan buahnya,” kata saya. Dan Pak Haji Mahsun setuju.
Hari itu juga kami melatih mereka membuat pupuk organik dari feses sapi. Saya tidak menyangka, ternyata banyak warga yang datang ikut bergotong-royong. Hadir pula para tokoh dan warga Hindu. Mereka bekerja bersama-sama. Saya senang melihat mereka, tampak guyub dan rukun.
Demi menjaga kebersamaan dan keharmonisan, akhirnya kami putuskan dengan Pak Haji Mahsun, bibit tanaman gaharu dan sirsak tidak saja diberikan kepada warga Muslim, tapi sebagian juga untuk warga Hindu. Mereka ternyata semangat menanam dan merawatnya dengan serius, sehingga hampir 100 persen tanaman hidup dan tumbuh baik.
Untuk tanaman gaharu, memang pasarnya sudah jelas. Teman saya, eksportir gaharu ke Arab Saudi dan Qatar sudah menjamin untuk membelinya. Bahkan siap membantu mengirim tenaga untuk menginokulasi pada waktunya nanti.
Secara ekonomi, tanaman ini menjanjikan, tetapi sayang umur panennya cukup lama. Bila pemeliharaanya baik, umur 6 tahun baru diinokulsi dan sekitar umur 7-8 tahun baru dipanen. Untuk itu, saya kombinasikan dengan tanaman yang umur panennya lebih pendek, yakni sirsak ratu, sejenis sirsak yang rasanya manis dengan aroma yang kuat. Mulai berbuah umur 2 tahun dan panen perdana umur 3 tahun.
Untuk pasar buahnya juga sudah terjamin. Saya sudah ada kesepakatan dengan sahabat saya, Direktur PT. Prima Indonesia (Pak Setiadi Sugih Slamet) yang siap menampung dengan kebutuhan 2 ton per bulan daging buah sirsak tanpa kulit dan biji.
Warga pun makin bersemangat mendengar kepastian pasar. Pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk dasar hingga cara menanam, mereka lakukan persis seperti petunjuk saya, tidak dikurangi atau ditambah. Artinya, mereka bisa saya percaya.
Untuk menciptakan lapangan kerja dan sumber pendapatan baru di kampung ini, saya tawarkan gagasan untuk membuka kelas-kelas komoditas, agar warga memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk mengelola sumber daya lokal yang mereka miliki. Merekapun setuju.
Di bawah pohon rindang, di tebing sungai saya merenung. Mau dikemanakan Kampung Sindhu? Mereka, warga Sindhu, sudah bersemangat dan mereka bisa saya percaya. Jika bisa saya percaya, mengapa tidak saya arahkan yang terbaik.
Lalu yang terbaik itu apa? Saya ingin, setelah pendapatan mereka meningkat, ada inovasi yang berkembang di Sindhu, yang belum dimiliki okeh kampung-kampung lain di Bali. Sindhu harus menjadi yang pertama.
Karena itu, saya tidak mau mengembangkan sesuatu yang sudah ada di kampung atau desa lain, seperti pariwisata, industri kreatif, pasar kerajinan, dan lain-lain. Saya ingin sesuatu yang beda dengan kampung lain. Lantas muncul ide untuk mengembangkan “Bio Industri”. Industri yang ramah lingkungan yang total menggunakan bahan baku lokal.
Sekolah Kacang
Dalam waktu dekat ini akan kami buka “Sekolah Kacang”. Ini untuk menggarap komoditas yang siklus produksinya pendek. Lebih pendek dibanding sirsak. Saya sudah kontak dengan para kolega saya (para pengusaha di Jawa). Saya meminta mereka untuk membantu saya menbangkitkan ekonomi Kampung Muslim Sindhu. Saya katakan, saya tidak minta bantuan uang, tapi saya perlu bantuan pasar yang pasti untuk menampung produk-produk Kampung Sindhu.
Konon ada sahabat saya seorang eksportir kacang yang siap membantu dengan memberikan kuota awal 7 – 10 ton per bulan. Beliau memerlukan jenis Kacang Sacha yang berasal dari lembah Amazon. Kebetulan agroklimit Kampung Sindhu, cocok untuk pengembangan kacang ini.
Dengan kacang dan sirsak, saya optimis pendapatan warga Sindhu dapat ditingkatkan secara “significant” dalam waktu cepat. Sedangkan gaharu yang umur panennya panjang (7-8 tahun) bisa menjadi “tabungan” bagi warga Sindhu. Dari hasil penjualan gaharu nanti sebagian akan saya suruh sisihkan untuk membangun berbagai laboratorium. Sedikitnya diperlukan 3-4 laboratorium untuk mendukung pengembangan “Bio Industri”.
Pengertian “Bio Industri” di sini, ada 2 aspek, yakni aspek bahan bakunya dan aspek prosesnya. Bahan baku bio industri menggunakan bahan-bahan alami (mungkin organik meski tidak murni). Disamping itu, dalam prosesnya tidak seluruhnya menggunakan mesin-mesin mekanis, tetapi sebagian besar akan dikerjakan oleh “mesin-mesin biologis”, seperti serangga, di antaranya lebah, ulat, lalat, kutu, dll. Juga menggunakan fermes dan mikroba, seperti bakteri, fungi, kapang, yeast dan mikro algae.
Untuk mengembangkan model industri ini memang tidak mudah dan perlu waktu yang panjang. Namun, bila ini berhasil, Insya Allah akan dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat secara nyata, serta mampu menunjukkan kepada para, pejabat dan tokoh di Bali, bahwa umat Islam Bali mampu menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi, dan peradaban Bali, tanpa merengek-rengek bantuan dana ke pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. (bs)
*) Suprio Guntoro, Ketua Lab Inovasi “Ulul Albab”, FPSI Bali