- Sebuah Fakta dan Interpretasi
Catatan Drs. Ketut Muhammad Suharto *)
UMAT Islam mempunyai peran yang penting dan strategis dalam perjalanan sejarah Buleleng, dari zaman kerajaan hingga saat ini. Perkembangan pesat Kerajaan Buleleng di zamannya, bila dikaji dari sudut politik lintas pulau, ada peran besar dari para pendekar seberang, baik dari Makassar, Jawa, maupun Madura. Mereka (umat Islam) diperankan sebagai personil yang terlibat langsung dalam kehidupan perkembangan Kerajaan I Gusti Anglurah Panji Sakti.
Ketika I Gusti Anglurah Panji Sakti dengan panggilan Ki Barak sewaktu masih kecil, di usia 12 tahun, ia telah membuat sebuah perjanjian batin yang diungkapkan dengan sumpah Panji Landung-nya. Janji batin itu untuk menguasai wilayah yang terpantau atau terlihat dari atas bukit belantara Asah Panji.
Sumpah Panji Landung itulah yang menjadi dasar pengembangan penguasaan Buleleng, dari batas timur perbatasan Karangasem sampai ke seberang laut Jawa, yaitu Kerajaan Blambangan, Jawa Timur (dr. Soegianto, I Gusti Angglurah Panji Sakti).
Daerah pinggir pantai sangat mendukung posisi Kerajaan Buleleng. Itulah kekuatan yang dimiliki oleh kerajaan ini. Dari sisi perdagangan, umpamanya, pesisir pantai sangat memberi kesempatan perekonomian Kerajaan Buleleng berkembang pesat.
Lewat pesisir Bali utara itulah memungkinkan pedagang-pedagang dari semua wilayah mendatangi Buleleng. Dari wilayah Nusantara seperti pedagang dari Makassar, Jawa, dan Madura. Dari mancanegara, misalnya pedagang dari India, Arab, Cina, Pakistan, dan sebagainya. Semua ini dibuktikan dengan adanya sejumlah kampung-kampung dengan istilah yang sesuai dengan asal dari para migran tersebut. Seperti Kampung Jawa, Kampung Sasak, Kampung Bugis, Kampung Arab, dan seterusnya.
Besarnya komunitas para migran ini sangat memberi arti pada kehidupan perekonomian dalam Kerajaan Buleleng. Dan semua inilah yang mendorong pesatnya perkembangan perekonomian Kerajaan Buleleng, dengan titik pusatnya di wilayah pinggir pantai yang dijadikan pelabuhan, yang sekarang dikenal dengan Pelabuhan Buleleng.
Keberadaan pelabuhan di pesisir Buleleng bisa dirunut kembali dari abad X. Pada masa itu, pesisir Buleleng pernah menjadi dan berkembang sebagai pelabuhan internasional. Tepatnya pelabuhan itu diperkirakan ada di Pantai Julah, Kecamatan Tejakula.
Hal itu diperkuat dengan ditemukannya dua puluh lempengan prasasti yang ditandatangani oleh enam raja Bali (mulai Ratu Ugrasena sampai Jayapangus- berdasarkan keterangan arkelog dari Universitas Udayana, Dr. Rochtri Agung Bawono).
Posisi Julah memberi kemudahan dalam memindahkan pelabuhan ke posisi lebih ke barat. Sebab jalur pantainya sejajar dan hanya hitungan puluhan kilometer.
Komunitas-komunitas yang ada di dalam Kerajaan Buleleng juga sangat mewarnai pada dinamika politik yang ada. Seperti hubungan Panji Sakti dengan para pelaut Bugis yang sangat akrab dengan laut. Para pelaut Bugis merupakan senjata bagi Panji Sakti untuk dijadikan sebagai telik sandi antarpulau.
Pada saat itu, tokoh yang sangat terkenal yaitu Karaeng Galesong. Karaeng Galesong merupakan pasukan Bugis Makassar yang anti VOC dan bekerja sama dengan semua raja yang anti penjajah, seperti Arya Wiraraja, Untung Surapati, serta Panji Sakti.
Dalam bukunya, dr. Sugianto menjelaskan bahwa Karaeng Galesong merupakan telik sandi Kerajaan Buleleng, untuk mengetahui kondisi politik kerajaan di wilayah Jawa pada saat itu. Karaeng Galesong gencar melakukan perlawanan terhadap VOC, pada sekitar tahun 1662-1677. Tahun-tahun inilah yang merupakan tahun-tahun heroiknya konfrontasi Makassar dengan VOC.
Dan pada saat itu Makassar di bawah Raja Sulltan Hassanudin kalah perang dengan Kerajaan Bone, di mana Raja Bone dibantu VOC dalam perang tersebut. Lalu lahirlah Perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Makassar.
Dan mulai tahun-tahun inilah para Bugis Makassar banyak bertebaran ke seluruh Nusantara hingga sampai banyak mengisi pinggir pantai dan gunung wilayah Buleleng, seperti Desa Pegayaman, Desa Tegallinggah, Panji Anom, Sumberkelampok, Tajatama, Pengastulan, Kampung Bugis, hingga Sangsit (pinggir pantai dari barat sampai timur Singaraja).
Keberadaan komunitas Muslim yang semakin berkembang, baik secara kuantitas maupun kualitas, memberi arah pemikiran bagi Raja Buleleng, I Gusti Anglurah Panji Sakti, untuk memberi peran dan peluang kepada komunitas ini sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Kita sangat tahu kemampuan para pelaut Bugis Makassar dalam menaklukkan laut. Maka dalam hal ini para komunitas Bugis lebih banyak mengisi peluang wilayah di pinggir laut. Sekalipun begitu, banyak juga para Bugis ulama yang menghuni wilayah dataran tinggi, seperti Bugis ulama yang menempati Pegayaman yang sangat eksis sampai sekarang dengan kemampuannya mengajarkan agama Islam dan berkebun, mengolah lahan yang dimiliknya.
Begitu juga dengan warga Bugis yang ada di Desa Tegallinggah. Diceritakan, awalnya warga Bugis menempati wilayah pinggir pantai, yaitu daerah Tukadmungga. Karena orang-orang tersebut lebih suka pada dataran tinggi, maka para keturunan Bugis yang di Tukadmungga mencari wilayah kea rah selatan atas yang dulu disebut Kubu. Yang kemudian berubah menjadi Desa Tegallinggah.
Akan tetapi komunitas Bugis lebih banyak memilih pinggir pantai. Mereka bertahan dan sangat eksis berada di pinggir pantai, seperti di Desa Pengastulan, Kampung Bugis Singaraja, dan komunitas Bugis di pinggir pantai lainnya sampai ke wilayah Sangsit.
Selain komunitas Bugis, komunitas suku Jawa juga ikut andil didatangkan oleh Panji Sakti sebagai penguat wilayah. Seperti yang berasal dari Blambangan diletakkan di wilayah pegatepan atau yang dikenal sekarang dengan nama Pegayaman sekarang.
Warga Jawa Blambangan yang diletakkan di gunung pegatepan ini sebagai sendi pengaman Kerajaan Buleleng dari arah selatan ini sangat eksis juga sampai sekarang. Sebab, mereka memang para pendekar yang multitalenta dan siap hidup di manapun dalam kondisi apapun.
Mereka adalah para satria yang tangguh dan terlatih pada semua medan. Terbukti dengan diberikannya tugas berat dan diposisikan di medan belantara yang ganas, para laskar ini mampu bertahan sampai sekarang yang sangat mungkin menggarap lahan seluas dua ribu hektar. Luasnya dulu sampai mencapai batas Kabupaten Tabanan arah selatan (sekarang pemekaran menjadi Desa Pancasari. Dulu Pegayaman berdampingan dengan Desa Padangbulia. Di sebelah barat jalan Padangbulia, dan sebelah timur jalan Desa Pegayaman).
Keberadaan wilayah Pegayaman inilah yang memperkuat pertahanan Kerajaan Buleleng dari masa awal kerajaan ini berjaya. Hingga sekarang orang Pegayaman sangat bangga menjadi rakyat Panji Sakti dan bela tindih mati untuk kejayaan Buleleng.
Dari sisi barat Kerajaan Buleleng, menurut penuturan dari Anak Agung Dana, keluarga Puri Sukasada Buleleng, Raja Panji Sakti meletakkan suku Jawa yang berasal dari Kedu, Jawa Tengah. Mereka diletakkan pada satu tempat yang diberi nama Kedu, di Desa Panji, Kecamatan Sukasada, karena penduduknya berasal dari Kedu.
Pada tahun 1815 M terjadi banjir besar yang dikenal dengan peristiwa blabar agung, yang menelan korban yang banyak. Desa Kedu, Desa Panji, Kerajaan Sukasada dan warga serta semua aset kerajaan musnah pada saat blabar agung tersebut. Akibat musibah tersebut, banyak warga Kedu yang meninggal dunia. Yang lolos dari musibah tersebut, mereka membuat tempat hunian baru di sebuah wilayah yang kini bernama Pancoran, Desa Panji Anom. Sampai kini mereka bertahan sebagai penduduk muslim di sebelah barat Kerajaan Sukasada.
Para keturunan Kedu ini banyak yang menikah dengan warga muslim Bugis Tegallinggah dan warga Pegayaman. Juga dengan penduduk asli Bali Hindu yang dimualafkan.
Dari sisi kependudukan, yang ada sampai sekarang yang merupakan pendukung komunitas pengamanan kerajaan yaitu penduduk Banjar Jawa. Penduduk Banjar Jawa ini merupakan orang-orang yang dulunya ditugaskan sebagai perawat gajah kerajaan. Dari keterangan yang penulis dapat, bahwa pengelingsir di Banjar Jawa ada dua, yaitu kumpi Mustofa dan kumpi Saimun. Dua keturunan pengangon gajah ini masih bertahan dengan musholla tua dan kuburan tua sebagai bukti arkeologisnya sampai sekarang.
Satu pertanyaan besar yang mungkin muncul dari diri kita, kenapa Banjar Jawa ada di sekitar ini. Jawabannya adalah karena dilihat dari kondisi sungai Buleleng yang menjulur jauh dari pantai Buleleng sampai selatan, dahulunya adalah sungai dalam. Menurut penuturan H.M. Muhidin Habas, penglingsir Kampung Islam Dangin Puri Buleleng, bahwa sungai itu dulu sewaktu dia kecil dalamnya mencapai 10 meter. Dan di sebelah barat ada tenten pasar kecil.
Kalau kita analisa bahwa dahulu di Banjar Jawa ini bisa merupakan pelabuhan kapal kecil dari pinggir pantai menuju ke pusat kerajaan. Ada kemungkinan juga ketika Raja Panji Sakti mulai menyerang Jawa, berangkat dari sungai ini, dan juga datangnya berakhir di ujung sungai ini. Sebab, kita bisa membuktikan dengan adanya komunitas Banjar Jawa sekarang. Bukti arkeologisnya adalah, warga Muslim Banjar Jawa, kuburan tua, dan musholla tua yang ada di dalam belakang rumah keluarga keturunan Mustofa dan Saimun.
Lantas dari pinggir pantai Buleleng didukung oleh kampung Islam, yang kemudian menjadi nama Kampung Kajanan. Di Kampung Kajanan ini dihuni oleh sejumlah suku, di antaranya suku dari mancanegara, seperti Cina, Arab, India, Banglades, serta suku Bugis, suku Jawa, suku Sasak, dan sejumlah suku di Nusantara lainnya.
Juga dengan bukti arkeologi berdirinya Masjid Kuno Keramat yang ada di Kampung Kajanan. Masjid ini ditemukan sudah berdiri pada tahun 1654 M. Ada Masjid Agung Jami Singaraja yang dibangun sekitar 1872 M. Ada juga Al Qur’an tulisan tangan yang bertahun 1624 di Kampung Buleleng, dan sejumlah Al Qur’an tulis tangan di Masjid Agung Jami’ Singaraja. Juga Al Qur’an dan kitab tulis tangan di Desa Pegayaman.
Semua bukti arkeologis tersebut menjadi kekutaan sejarah jati diri umat Islam Buleleng. Dalam tulisan dan penuturannya, penglingsir Kampung Islam Dangin Puri, H.M. Muhidin Habas, menyebtukan bahwa penglingsir beliau berasal dari Pegayaman yang bernama kumpi Nurul Mubin (tahun 1723 M).
Kumpi Nurul Mubin diminta oleh Raja Buleleng untuk menjaga Kerajaan Buleleng dan diberikan tanah hunian seluas lima hektar (data ini juga diungkapkan oleh AA Purwata Panji dari Puri Kanginan Buleleng).
Keluarga Kampung Muslim Dangin Puri ini bertahan sampai sekarang. Mereka sangat besar andilnya dalam pendampingan Raja Buleleng. Dan itu diakui Raja Buleleng.
Perhatian Raja Buleleng sangat besar kepada semua keluarga muslim yang ada di seputaran Kerajaan Buleleng. Sekalipun radius huniannya berpuluh kilometer, seperti Pegayaman, jaraknya dengan pusat kerajaan (batas paling utara yaitu 10 km dan terjauh 50 km di perbatasan dengan Tabanan. Ini bagian selatan Kerajaan Buleleng).
Dari uraian di atas bisa kami simpulkan tentang peran serta warga muslim terhadap Kerajaan Buleleng. Bahwa posisi keberadaan umat Islam dengan wilayah teritorialnya memang menjadi strategi penempatan secara politik oleh Raja Panji Sakti di masa-masa awal perjuangan Raja menuju kejayaan Kerajaan Buleleng pada tahun 1648 M.
Posisi strategi pertahanan Kerajaan Buleleng dengan umat Islam sebagai penjaganya bisa diuraikan sebagai berikut: Sebelah selatan kerajaan dijaga oleh pasukan Blambangan yang diposisikan di Desa Pegayaman. Di sebelah barat Kerajaan Panji Sakti dijaga oleh umat Islam Kedu dan Tegalinggah, yang berasal dari Kedu, Jawa tengah dan Bugis.
Di sebelah utara bagian barat dijaga oleh umat Islam Pengastulan yang berasal dari Bugis. Daerah utara pinggir kota, dijaga oleh Kampung Islam yang terdiri dari sejumlah komunitas suku dan kewarganegaraan, yaitu Bugis, Madura, Jawa, Cina, India, Arab, Banglades dan komunitas lainnya, dengan tempat sentral awal tempat ibadah Islam, yaitu Masjid Kuno Keramat Kampung Kajanan.
Di bagian tengah dijaga oleh Kampung Islam Dangin Puri, yang pada awalnya berasal dari kumpi Nurul Mubin Pegayaman. Ia dimohon untuk ikut menjaga Kerajaan Buleleng di tahun 1723. Didukung oleh muslim Banjar Jawa sebagai pemelihara aset kerajaan yaitu hadiah gajah dari Kerajaan Mataram Islam. Lantas Kampung Islam Sangsit dari arah timur laut Buleleng.
Inilah data-data keberadaan umat Islam yang andil dalam kejayaan Kerajaan I Gusti Anglurah Panji Sakti Buleleng.
(Tulisan ini berdasarkan dari hasil kajian lapangan, foklor yang berkembang, data wawancara, literatur, dan data dari Puri Sukasada dan Puri Kanginan Buleleng yang penulis lakukan dari tanggal 1 /1/2020 sampai 20/1/2022). (bs)
*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Pegayaman. Anggota Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Bali