PADA era 1990-angeliatpara penyair dan seniman teater di Bali Barat sangat tinggi. Atas dorongan dan prakarsa dari penyair legendaris Umbu Landu Paranggi, mereka menggelar “Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat pada Purnamaning Kapat”, yang sering disingkat Rajer Babat Purnamaning Kapat. Pagelaran seni yang rutin digelar setiap tahun tersebut antara lain baca puisi, bedah puisi, pementasan teater, pameran lukisan dan juga seni instalasi.
Di masanya, Rajer Babat sangat ditunggu-tunggu setiap tahunnya oleh kalangan penyair maupun seniman baik dari Jembrana maupun dari luar Jembrana. Event seni itu tepatnya diadakan setiap purnama keempat, sehingga oleh Umbu Landu Paranggi ditambahkan kata “Pukat-19” di belakang “Rajer Babat”.
Pada waktu, tahun 1991, saya sudah sering diajak oleh A. Saichu Imran, Yuniman, Nasrul Rahman, Muslihin Aripin dan Ali Fikri menyaksikan Rajer Babat. Pada tahun 1993 mulai membentuk Teater GAR Loloan Barat, sambil belajar menggeluti sastra, menulis puisi bersama Saichu, dengan tetap melihat puisi-puisi dari para senior, semisal Yusak Isswahyudi, Agus Beniq Anwar, Agung Stirair, Budi Deo Dharma, Nanoq Da Kansas, A.G. Pramono, Abang D.S. Putra, juga main ke kosan Bli Lanus Sumatra yang kala itu aktif membina komunitas sastra (kini menjadi pemangku dan menghabiskan masa tuanya di kampung halamannya di Belayu, Tabanan).
Sejak penampilan perdana Teater GAR di Rajer Babat yang berjudul Kudeta, maka itulah titik balik yang membuat saya mulai gelisah dan intensif berdiskusi bersama A. Saichu Imran. Dari hasil diskusi tersebut, Teater GAR mencoba menampilkan Burdah Puisi yang cukup banyak menggunakan pemain, karena perpaduan antara syair-syair burdah klasik dengan rangkaian puitisasi. Hingga pementasan kolosal Teater GAR dengan burdah puisinya sempat menarik perhatian WS Rendra yang didampingi oleh Sitoresmi dalam acara Dewan Kesenian Banyuwangi pada kisaran tahun 1995.
Pergulatan budaya Bali Barat saat itu membuat iklim penyemangat berdirinya teater-teater di Jembrana. Ada satu hal kenangan yang tetap saya ingat terhadap Bang Umbu, walau sudah sekian lama Rajer Babat hilang termakan jaman. Kala itu, saya mencoba menyodorkan 10 buah puisi ciptaan sendiri yang sudah terkumpul selama setahun, dan ketika kusodorkan kepada Bang Umbu yang sedang asyik ngobrol di trotoar, Bang Umbu bilang kurang 90 lagi baru dikumpulkan.
He he he akupun senyum cengar-cengir sambil manggut-manggut kepada sang Presiden Malioboro yang juga guru dari Emha Ainun Najib itu. Saichu yang ikut mendengar juga tersenyum simpul. Ya itulah kenangan indah di masa-masa keemasan Rajer Babat.
Perlahan jaman semakin lama semakin berubah, event seni Rajer Babat, akhirnya tak dilaksanakan lagi setelah kira-kira 10 tahun berjalan. Padahal, event seni ini sangat bagus, tak hanya sebagai wadah ekspresi seni generasi muda Jembrana, tapi juga sarana edukasi dan regenerasi para seniman di Jembrana. Selain itu, Rajer Babat tempat reuni dan temu kangen para penggiat dan aktivis seni asal Bali dan beberapa wilayah di Jawa yang datang secara khusus untuk meramaikan perhelatan seni dan budaya tersebut.
Purnama Kapat malam ini mengingatkan saya pada Rajer Babat. Tak berlebihan jika hal ini mengusik diri saya akan kerinduan masa silam tentang event kesenian tahunan di Bali Barat. Regenerasi seniman Jembrana perlu ada, jika tak ingin hilang dari sejarah arus kebudayaan, terlebih ketika sejarah kebudayaan itu ditulis oleh penulis atau wartawan yang tak mengenal Jembrana dengan baik.
Alhasil, Jembrana tetap saja termarginalkan, atau sering dilupakan meski memiliki seni dan kesenian yang tak kalah baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Harapan saya semoga tulisan ini mampu membuat Rajer Babat bangun dari tidur yang sangat panjang serta mampu merebut kembali panggung peta seni dan budaya di Bali.
Di bawah ini sebuah bait dari syair kebangsaan pada saat event budaya Rajer Babat karya Umbu Landu Paranggi.
Syair Rajer Babat
Rajer
bukan ke mana bukan di mana
bumi dipijak langit dijunjung
Babat
bukan di mana bukan ke mana
langit dijunjung bumi dipijak
Suaka deskara siguntang
hadir selalu menopangmu
(kemanamana kau ayun langkahmu
dimanamana kau tanam cintamu)
Rajer
bukan ke mana bukan di mana
Babat
bukan di mana bukan ke mana
langit dijunjung bumi dipijak
Ilmu salak seni subak
mengalir setia mengawalmu
(dimanamana kau bongkar rindumu
kemanamana kau tembakkan lagu)