Tahun 2020 ini, selain berjibaku menghadapi Pandemi Covid-19, masyarakat juga harus melewati tahun politik melalui gelaran Pilkada Serentak Tahun 2020. Enam kabupaten/kota di Bali (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Bangli dan Karangasem) tengah menggelar pemilihan kepala daerah, termasuk ke dalam 270 daerah di Indonesia yang juga melaksanakan. Berbagai tahapan dalam Pilkada harus dilalui sebagai perwujudan election period. Tahapan yang kini akan segera digelar adalah tahapan kampanye.
Sesuai regulasi kepemiluan, tiga hari setelah penetapan pasangan calon maka masa kampanye akan dimulai. Untuk tahun ini dimulai 26 September hingga 5 Desember 2020. Rentang waktu tiga bulan ini merupakan tahapan yang menjadi fokus atensi bagi pasangan calon, parpol pengusul, KPU sebagai penyelenggara, Bawaslu yang harus melakukan pengawasan dengan ketat, dan stakeholder masyarakat lainnya. Ijinkan saya menyebutnya sebagai tahapan yang eye cathing (menarik perhatian) dari Pemilu ke Pemilu.
Saat Pemilu digelar pada situasi biasa saja kampanye sudah sangat menarik perhatian berbagai pihak, lebih-lebih dalam kondisi luar biasa seperti saat ini. Tahapan krusial bagi parpol, pasangan calon beserta tim suksesnya untuk memperkenalkan diri, visi dan misi, program kerja serta ruang bagi mereka untuk meyakinkan, membujuk, memberikan informasi kepada pemilih agar berketetapan hati memilih mereka. Sejatinya kampanye merupakan wujud pendidikan politik kepada masyarakat yang harus dilakukan secara bertanggung jawab, sehingga partisipasi masyarakat tinggi. Perubahan pola, metode, teknik, dan pilihan penggunaan media dalam berkampanye pada beberapa kali penyelenggaraan Pemilu dapat diamati secara nyata.
Kegiatan rapat umum, temu warga, dan kegiatan mobilisasi massa lainnya sudah semakin ditinggalkan oleh para kontestan, terlebih pada masa pendemi ini. Peserta Pemilu mulai berfokus pada penggunaan media sosial dalam berkampanye, bahkan mereka telah melakukannya jauh-jauh hari sebelum berstatus sebagai peserta Pemilu. Jika mendapatkan atensi atau teguran, mereka akan berkilah bahwa konten pemberitaan pada media sosial itu bukan inisiatif mereka, tetapi dibuat oleh simpatisan.
Pilihan ini bukanlah tanpa alasan, media sosial memiliki daya jangkau yang tidak terbatas. Tidak terikat waktu sepanjang 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan seterusnya, bahkan jika terpaksa dihapus karena alasan tertentu, jejak digitalnya tidak akan hilang dan tetap melekat pada benak nitizen.
Media sosial digunakan sebagai ruang membangun citra positif, penyampaian ide, informasi dan ruang pemberitaan semua aktivitas mereka. Begitu larutnya pasangan calon dan tim kampanye pada penggunaan medsos, hingga mereka melupakan bahwa medsos sejatinya adalah ruang publik bukanlah ruang privat. Bukan tempat untuk memberitakan aktivitas pribadi, meskipun hal itu bisa saja dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari pencitraan. Batas antara ruang publik dan privat dalam mesdos sangatlah tipis bahkan nyaris hilang. Sebagai ruang publik maka siapapun ada di dalamnya, dapat dinikmati oleh semua kalangan dan tidak terbatas usia tertentu. Terlebih saat ini,jumlah pengguna medsos mengalami peningkatan, 56% dari penduduk terdata sebagai pengguna medsos.
Biaya kampanye melalui medsos juga dapat diukur oleh tim kampanye, dan memiliki dampak yang sangat luas. Keberadaan tenaga ahli untuk meramu konten dan tampilan medsos juga tak kalah pentingnya. Merekalah ujung tombak sukses tidaknya pesan yang diinginkan sampai kepada pemilih. Maka pemilihan foto, gambar, situasi, pemilihan kalimat, gaya bahasa menjadi kesatuan komponen penting.
Pilihan untuk mengoptimalkan medsos dalam kampanye adalah pilihan yang realistis, terlebih pada situasi pandemi saat ini. Trend perubahan budaya instan yang terjadi pada masyarakat menyebabkan mereka ingin mendapat informasi yang dibutuhkan dengan cepat. Cukup dengan memainkan smart phone mereka bisa mengetahui profil dan aktivitas paslon, bahkan juga rekam digitalnya.
Disrupsi telah terjadi, sebagai arus perubahan ke arah digitalisasi, dan meninggalkan pola/cara lama. Disrupsi juga terjadi pada kampanye. Disruptiv mindset telah terjadi pada pemilih, paslon beserta tim kampanye mereka. Saatnya, KPU mengikutinya dengan disruptiv regulation, sehingga terjadi harmonisasi dalam praktek kampanye. KPU perlu melakukan pengaturan lebih rinci dan teknis penggunaan media sosial, tidak sebatas mendata akun para paslon.
Penggunaan medsos juga telah merubah budaya, yang dikenal dengan disruptiv culture. Budaya berkumpul, riuh rendah keramaian di lapangan terbuka, dan gedung-gedung pertemuan, teriakan yel-yel dari paslon dan tim kampanye, kini telah terbungkus dalam kemasan konten media sosial. Sekali lagi inilah disrupsi, sesederhana kita meninggalkan penggunaan komputer PC beralih ke smart phone.
Kini saat tahapan kampanye dimulai, KPU telah mewajibkan pasangan calon mendaftarkan akun media sosialnya untuk kemudian diteruskan kepada pihak terkait dalam melakukan pengawasan. Mari kita sama-sama wujudkan Pilkada yang smart, Pilkada yang sehat, berkualitas dan memiliki legitimasi melalui partisipasi masyarakat yang tinggi. Meskipun sedang terlibat kontestasi dan merebut simpati pemilih, pasangan calon hendaknya tetap mengedepankan kampanye sebagai wahana memberikan informasi, meyakinkan, dan mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Pergunakan pilihan konten pada medsos yang tidak berpotensi menimbulkan pertentangan SARA, kekerasan verbal. Untuk menjangkau masyarakat yang tidak tersentuh medsos, kiranya pertemuan tatap muka yang dilakukan tetap mengedepankan pencegahan penularan Covid-19. (bs)