Layanan untuk Disabilitas yang Pantas

* Oleh Lewa Karma

 

TULISAN ini merupakan persembahan terhadap Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada tanggal 3 Desember 2025. Hal ini sejalan dengan kerangka Hak Asasi Manusia (HAM).

Setiap manusia berhak untuk hidup bermartabat, bebas dari diskriminasi, serta memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang. Prinsip ini berlaku universal, termasuk bagi kelompok penyandang disabilitas yang ada di Indonesia.

Isu disabilitas tidak lagi dipandang sebagai persoalan kesehatan semata, tetapi sebagai isu hak asasi manusia yang menuntut penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan oleh negara. Kepedulian negara terhadap disabilitas menjadi indikator penting kualitas demokrasi, keadilan sosial, dan kemanusiaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Paradigma global menempatkan disabilitas sebagai bagian integral dari HAM. Prinsip ini ditegaskan dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2006, yang menekankan bahwa penyandang disabilitas bukan objek belas kasihan, melainkan subjek hukum dengan derajat dan hak yang setara. Indonesia meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 19 Tahun 2011, sehingga negara wajib menjamin hak-hak penyandang disabilitas di berbagai bidang kehidupan.

Dalam konteks HAM, terdapat tiga kewajiban negara, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negara. Ketiga kewajiban ini berlaku penuh terhadap pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Tentu kepedulian negara dinyatakan secara jelas dalam kerangka regulasi berikut ini.

Pertama, UUD 1945 sebagai dasar konstitusional. Hal ini dijabarkan dalam ulasan berikut ini.

1. Pasal 28D menjamin persamaan di hadapan hukum dan kesempatan yang sama.
2. Pasal 28H ayat (2) menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
3. Pasal 34 ayat (2) mengamanatkan tanggung jawab negara dalam penyediaan pelayanan sosial.

Hal ini menegaskan bahwa negara wajib menyediakan akses yang adil dan fasilitas yang memadai bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas.

Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai tonggak perubahan besar, karena alasan berikut ini.

1. mengganti pendekatan lama yang bersifat charity based (belas kasihan) menjadi rights based (berbasis hak);

2. menjamin hak di bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, hukum, keagamaan, kebudayaan, transportasi, olahraga, dan perlindungan dari diskriminasi; dan

3. mengatur pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND) sebagai lembaga independen yang mengawasi pemenuhan hak disabilitas secara nasional.

Ketiga, Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM). Dalam RANHAM, penyandang disabilitas masuk ke dalam kategori kelompok rentan yang memerlukan perhatian khusus melalui program lintas kementerian, seperti pemenuhan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan sosial.

Diantara wujud kepedulian negara terhadap kelompok disabilitas seperti berikut ini.

1. Aksesibilitas Fisik dan Nonfisik. Negara telah mendorong pembangunan fasilitas publik yang ramah disabilitas seperti jalur landai, guiding block, lift khusus, dan layanan transportasi yang lebih inklusif.

2. Aksesibilitas nonfisik seperti informasi braille, juru bahasa isyarat, dan teknologi bantu juga menjadi bagian dari pemenuhan hak.

3. Hak atas Pendidikan Inklusif. Melalui Permendikbud terkait Pendidikan Inklusif, negara menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan yang layak, baik melalui sekolah inklusif maupun sekolah luar biasa, dengan dukungan kurikulum adaptif dan pendampingan khusus.

4. Hak atas Pekerjaan yang Layak. Melalui UU No. 8 Tahun 2016 mengatur bahwa lembaga pemerintah dan BUMN/BUMD wajib mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 2% dari total pegawai, dan sektor swasta 1%. Program pelatihan vokasi, kewirausahaan, dan inkubator usaha juga disediakan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi.

4. Perlindungan Sosial dan Kesejahteraan melalui program seperti: (1) Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI), (2) bantuan alat bantu (kursi roda, alat dengar, tongkat), (3) bantuan hidup dasar bagi disabilitas berat, dan (4) negara menunjukkan komitmen untuk menjamin standar hidup layak.

Keempat, Akses Keadilan dan Perlindungan dari Kekerasan. Dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi penyandang disabilitas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, dan kekerasan. Aparat penegak hukum juga didorong untuk menyediakan layanan ramah disabilitas dalam proses peradilan.

Tantangan dalam pemenuhan HAM bagi kelompok disabilitas. Walaupun regulasi relatif kuat, terdapat sejumlah hambatan, diantaranya berikut ini.

Implementasi kebijakan yang belum merata. Sampai saat ini tidak semua daerah memiliki komitmen dan sumber daya yang sama untuk melaksanakan layanan inklusif.
Stigma sosial yang masih mengakar.

Masyarakat masih sering memandang disabilitas sebagai kekurangan, bukan keberagaman manusia. Hal ini menyebabkan diskriminasi dan hambatan budaya.

Rendahnya kesadaran HAM di tingkat pelaksana. Pelayanan publik belum sepenuhnya memahami pendekatan berbasis hak, sehingga penyandang disabilitas masih mengalami pembatasan dalam akses layanan.

Keterbatasan data disabilitas. Pendataan nasional yang belum komprehensif menyebabkan perencanaan kebijakan tidak maksimal dan tidak selalu tepat sasaran.

Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap dan memperlakukan kelompok disabilitas? Negara dan masyarakat harus hadir dengan perangkat kebijakan disertai empati dan sikap humanis yang inklusif. []

*) Penulis adalah Kasi Pendis Kemenag Buleleng, Mahasiswa Program Doktoral Prodi IAK pada IMK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *