Oleh Lewa Karma **)
LAZIMNYA setiap tanggal 25 November, bangsa Indonesia secara rutin merayakan Hari Guru Nasional (HGN). Hari guru merupakan momentum reflektif untuk mengingat jasa para ”Pahlawan Pendidikan” yang disebut Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Kita sadar bahwa kemajuan pendidikan tidak mungkin tercapai tanpa kehadiran guru yang hebat.
Namun “guru hebat” tidak semata-mata menguasai konten pelajaran, melainkan sosok yang mampu membaca zaman, adaptif terhadap perubahan, humanis dalam mendidik, serta konsisten menjadi penjaga moral bagi generasi muda.
Di era disruptif dan transformasi digital ini perubahan terjadi lebih cepat daripada kemampuan pendidikan untuk beradaptasi dengan keadaan. Peran guru menjadi semakin krusial dengan banyak fenomena moral yang viral di lingkungan pendidikan.
Guru sejati sejak dulu, kini dan nanti adalah kurikulum berjalan. Kendatipun kebijakan dan regulasi berubah, tetapi mindset dan paradigma pendidik adalah kunci penggerak karakter anak didik. Oleh sebab itu, kehadiran guru senantiasa menjadi sebab maju dan mundurnya pendidikan dan budaya bangsa. Sejalan dengan ini, sudah sepatutnya guru diberikan ruang untuk berkiprah dan membuka peluang yang lebih produktif dalam mendorong kemajuan Pendidikan.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 menjelaskan pengertian guru sebagai tenaga pendidik profesional di bidangnya yang memiliki tugas utama dalam mendidik, mengajar, membimbing, memberi arahan, memberi pelatihan, memberi penilaian, dan mengadakan evaluasi kepada peserta didik yang menempuh pendidikannya sejak usia dini melalui jalur formal pemerintahan berupa sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Guru hari ini memiliki tantangan nyata yang harus diselesaikan dan telah menjadi problem gunung es yang hendak mencair bersamaan. Namun demikian, setiap problem tersebut harus dibarengi dengan solusi. Solusi yang berpihak pada kepentingan dan keberadaan guru dengan menempatkan profesinya sebagai kemuliaan sejati.
Berikut ini ada 6 problem dan opsi solusi yang seharusnya menjadi perhatian kita semua.
Pertama, kesenjangan literasi dan numerasi yang masih tinggi. Kurikulum terus disempurnakan, termasuk kemampuan dasar, namun faktanya siswa masih belum merata di seluruh wilayah. Guru bahkan kerap kali terjebak pada rutinitas dan kewajiban administratif, sehingga waktu untuk membimbing secara personal berkurang.
Dengan demikian, refleksi hasil asesmen anak didik harus menjadi pedoman pembelajaran bagi guru, stakeholder, agar kesenjangan bisa ditekan dan diperbaiki. Asesmen bukan lagi sekadar pemetaan literasi dan numerasi saja, namun menjadi kredibilitas profesi dan kualitas Lembaga yang diperbaiki secara simultan dan terus menerus. (Tari et al., 2020)
Kedua, beban non-pedagogis yang membengkak. Administrasi, laporan/instrumen, hingga berbagai kegiatan birokratis yang banyak menyita waktu dan energi guru, sehingga kualitas pembelajaran makin tidak optimal. Padahal esensi mengajar adalah interaksi, bukan administrasi.
Oleh sebab itu, diperlukan penyederhanaan instrumen akan mengembalikan ruh pembelajaran. Dengan demikian, guru bisa lebih banyak punya ruang dan waktu untuk berinteraksi dengan anak didik, sehingga bisa memecahkan banyak masalah sekaligus menemukan gagasan baru dalam pembelajaran. Tilaar (2001, p. 328)
Ketiga, kesenjangan teknologi dan kerentanan kompetensi. Secara nasional tidak semua guru bisa mengakses pelatihan digital mumpuni. Sebagian masih gagap teknologi sementara pembelajaran kini menuntut integrasi digital yang cepat dan dinamis.
Tidak semua guru memiliki akses pelatihan yang merata; yang di kota tumbuh cepat, yang di desa sering tertinggal. Pelatihan untuk guru harus berbentuk coaching, peer mentoring, dan learning community sehingga berkualitas, berkelanjutan, dan tidak membebani. Dengan demikian, maka kompetensinya bisa ditingkatkan. (Rohman & Susilo, 2019)
Keempat, tantangan karakter dan krisis keteladanan. Anak didik hari ini telah terpapar media sosial tanpa batas yang bisa diakses kapan saja melalui gawai. Dilain pihak guru juga dituntut lebih dari sekadar memberi materi, namun harus hadir sebagai role model sehari-hari.
Profesionalitas tidak semata-mata kemampuan teknis, tetapi karakter. Guru hebat bukan hanya yang pintar, tetapi memiliki kecakapan moral dan berintegritas. Hal ini sejalan dengan kompetensi sosial dan kepribadian guru sebagai tolok ukur karakter dan value added sebagai guru di Tengah arus zaman yang permisif dan kapitalistik. (Buchari et al., 2018)
Kelima, kesejahteraan yang belum merata. Banyak guru khususnya honorer masih bertahan dengan gaji yang tidak sebanding dengan biaya hidup. Mereka tetap datang ke sekolah, bukan karena imbalan, tetapi karena panggilan nurani sebagai pengorbanan yang jarang dipahami.
Kesenjangan ini menjadi makin melebar antara guru di madrasah/sekolah negeri dan swasta. Reformasi perekrutan dan penempatan guru harus berpihak pada kesejahteraan dan keadilan. Guru yang sejahtera akan lebih fokus mengembangkan kompetensinya. (Wardaya dan Sumartini, 2016).
Keenam, kurangnya perlindungan profesi. Kasus perundungan, tuntutan hukum, hingga tekanan orang tua sering membuat guru merasa tidak aman. Profesi yang seharusnya dihormati justru sering menjadi sasaran kemarahan publik.
Keberadaan organisasi profesi hari ini menjadi penting untuk melindungi guru dari kriminalisasi oleh siswa maupun pihak lain yang sering mengorbankan guru pada problem domestik.
Regulasi juga harus melindungi guru secara psikologis, legal, dan sosial harus diperkuat. Guru tidak boleh dibiarkan menghadapi serangan publik sendirian. Pelibatan organisasi Profesi seperti : Pergunu, IGI, PGRI dan lainnya harus saling memperkuat dan sekaligus bersinergi dengan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah dalam rangka mendorong profesionalitas dan perlindungan terhadap guru.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sekalipun menghadapi banyak keterbatasan, guru tetap memikul amanah besar, yaitu mendidik generasi untuk masa depan bangsa. Guru harus senantiasa profesional dan kompeten, berintegritas dan adaptif dengan perkembangan zaman menjawab tantangan dan transformasi digital tanpa kehilangan identitas, karakter dan nilai.
Guru profesional berarti menguasai materi dan pedagogi, memanfaatkan teknologi pembelajaran, menjadi teladan moral,mampu memecahkan masalah di kelas, terus belajar secara mandiri. Guru di Indonesia banyak yang sudah melakukan hal ini. Disamping kewajiban mengajar, mereka juga punya tanggungjawab merawat keluarga. Membagi waktu dengan mengikuti pelatihan sambil menghadapi tekanan ekonomi. Tetap membimbing siswa, meskipun fasilitas dan sarana terbatas.
Inilah guru hebat pantang menyerah. Pada hakikatnya, profesionalitas guru sering lahir dari sikap heroik, bukan dari sistem yang ideal.
Hari Guru Nasional bukan sekadar perayaan, tetapi panggilan moral untuk kita semua. Guru tidak mencari kemewahan, kado dan ucapan selamat. Mereka pantas untuk dihormati, dihargai secara layak, diberi ruang untuk berkembang, diperlakukan sebagai manusia yang berhak bahagia.
Guru seharusnya Bahagia agar bisa mengawal pendidikan berkualitas. Anak didik yang hebat lahir dari guru yang kuat, dan guru yang kuat hanya akan hadir jika nestapa mereka disembuhkan. Hari Guru Nasional mengingatkan bangsa bahwa membangun pendidikan bukan hanya soal kurikulum, teknologi, atau program, tetapi tentang memperlakukan guru dengan layak dan terhormat.
Pada saat guru dihargai, dilindungi, dan diberdayakan, maka profesionalitas akan tumbuh secara alamiah. Disitulah lahir Guru Hebat, yang akan menguatkan bangsa dan menuntun Indonesia menuju masa depan yang lebih beradab dan manusiawi.
HGN pada tahun 2025 ini pemerintah melalui Kementerian Dikdasmen menuangkan tema ‘Guru Hebat, Indonesia Kuat’. Di dalamnya tersirat pesan bahwa kualitas guru adalah fondasi berdirinya generasi yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan zaman. Makna ini juga tampak jelas dalam desain logo resminya, yang menonjolkan figur guru, murid, serta simbol-simbol pendidikan yang berpadu harmonis.
Melalui tema ini, pemerintah tampaknya juga ingin mengapresiasi guru dan tenaga kependidikan yang berkontribusi nyata bagi murid, sekolah, dan masyarakat. Tema ini juga selaras dengan cita-cita menuju Indonesia Emas 2045, di mana guru berperan besar melahirkan generasi yang unggul dan berdaya saing.
Sementara Kementerian Agama mengambil tema HGN 2025, yaitu “Merawat Semesta dengan Cinta.” Tema ini bukan hanya seruan simbolik, melainkan refleksi mendalam atas filosofi pendidikan yang berakar pada kesadaran spiritual, ekologis, dan kemanusiaan. Tema ini menggambarkan peran guru sebagai penjaga keseimbangan antara ilmu dan iman, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.
Guru bukan hanya mengisi pikiran, tetapi menumbuhkan kesadaran dan meluruskan jalan berpikir. Dalam pandangan Islam, guru adalah warasatul anbiya (pewaris para nabi). Tema ini juga seakan mengajak guru untuk tidak hanya mendidik manusia, tetapi juga menumbuhkan kepedulian terhadap sesama dan alam semesta.
Pendidikan bukan lagi sekadar proses transfer ilmu, melainkan proses penyadaran agar manusia menjadi makhluk yang beriman, berilmu, dan berakhlak. Pesan HGN pada Kementerian Agama seolah membawa semangat inklusif melalui tagline “Teachers Day for All” atau Hari Guru untuk Semua.
Pada akhirnya, penulis menghadirkan sentesis dari kedua tema HGN 2025 menjadi “Guru Hebat, Semaikan Cinta untuk Indonesia Kuat”. Hal ini merupakan harapan sekaligus doa agar bisa menempatkan sosok guru sebagai pribadi yang hebat supaya bisa menyemaikan cinta pada profesi dan anak didiknya, sehingga terwujud Indonesia yang Tangguh, kuat dan berdaulat.
Selamat Hari Guru Nasional (HGN) untuk semua guru di tanah air Indonesia, tetaplah kuat bersahaja, semoga Sejahtera dan Bahagia terlimpahkan selalu untuk kalian semua. []
Keterangan :
*) : Opini dalam rangka HGN 2025
**) : 1). Ketua PC Pergunu Buleleng,
2). Kasi Pendis Kemenag BUleleng,
3). Mahasiswa Program Doktoral Prodi IAK pada IMK


Belajar menulis untuk mengikatkan diri pada ilmu pengetahuan sembari memperkuat budaya literasi tentang tema tertentu, mohon saran dan masukannya