“Pemerasan Seksual” dan “Perlawanan” Mahasiswa Undiksha Singaraja

SEORANG perempuan meringkuk di sudut ruangan. Seperti melindungi diri. Tiga laki-laki (dihadirkan dalam siluet) siap menerkam sosok perempuan tersebut. Dua kamera HP dalam mode on siap merekam.

“Blackmail Sexual” atawa “Pemerasan Seksual”, itulah judul karya rupa mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Rupa Angkatan 2022, Kadek Windi Kurniadewi. Karya seni rupa tersebut dipamerkan dalam Pameran Studi Khusus Mahasiswa Angkatan 2022 di Galeri Paduraksa FBS Undiksha, Singaraja, sejak 9 Juli 2025 hingga 20 Juli 2025 mendatang.

Pameran yang dibuka Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd tersebut menghadirkan seni lukis, seni intermedia, kriya kayu, kriya tekstil, desain komunikasi visual (dkv), prasi, kriya keramik, dan grafis.

Sebanyak 36 karya dipamerkan dalam pameran yang diberi tajuk “Kuasa Lipstik” tersebut. Sebanyak 19 mahasiswa memamerkan karyanya. Mereka adalah Made Ardy Saputra, I Putu Yogantara, I Gede Angga Jayastrawan, Kadek Windi Kurniadewi, Bonefasius Elan, Laela Farndatur Alifah, Muhammad Effendi, Komang Andi Laksmana Putra, Kadek Rifkyandi Septian, dan Kadek Ananda Budi Winaya.

Juga Putri Ana Sabilillah, Sagita Imtias Rahmani, Ketut Sastrawan, Kadek Mas Sri Lestari, Ari Purnama Aji, Gusti Ayu Rani Hitayanti, Muhammad Haikal Fazri, Made Bayu Ariada (alias Bayu Beton) dan yang terakhir I Ketut Rai Ariadi Nugraha—alias Dolar.

Lewat karya “Blackmail Sexual” tersebut, Kadek Windi Kurniadewi, seperti ingin menyuarakan perlawanan terhadap fenomena kekerasan seksual yang selalu merugikan korbannya, yakni perempuan.

“Pemerasan seksual, di mana korban dipaksa untuk tunduk dalam diam dan mematuhi perkataan pelaku. Dengan karya ini saya ingin menyoroti dinamika kekuasaan yang menampakkan bagaimana manipulasi dilakukan oleh pelaku untuk memperalat korban demi kepentingannya sendiri,” kata Windi dalam katalog pameran.

Windi mengaku, para pelaku, tiga laki-laki, sengaja dibuat siluet, untuk menegaskan bahwa siapa pun bisa menjadi pelaku “pemerasan seksual”. Dalam karyanya tersebut, mahasiswa Seni Rupa semester 6 ini, tidak hanya menyoroti kekerasan seksual fisik, tetapi juga pemerasan berbasis konten intim. Karena tak jarang, dokumentasi pelecehan seksual menjadi senjata untuk menekan, memeras, dan membungkam korban.

“Blackmail Sexual” menjadi kritik tajam terhadap masyarakat yang seringkali lebih sibuk menilai korban daripada menuntut pertanggungjawaban pelaku. Karya ini bisa menjadi ruang dialog bagi masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran, membangun empati, dan mendorong tindakan hukum yang kuat terhadap segala bentuk kekerasan seksual dan praktik pemerasannya.

Dalam karya lainnya, “Catcall”, Windi ingin menghadirkan pengalaman universal yang kerap dialami oleh perempuan. Catcall adalah bentuk pelecehan yang sering dilakukan oleh laki-laki.

“Dalam konstruksi berpikir sebagian laki-laki, menganggap pelecehan ini adalah pelecehan yang sepele dan tidak berbahaya,” tutur Windi.

Melalui teknik cukil kayu, menampilkan wajah-wajah para pelaku (wajah tersebut sebagai contoh bukan berarti mereka melakukan pelecehan tersebut), dipadukan dengan efek Hollow Face Optical Illusion pada bagian mata. Ilusi ini menciptakan kesan tatapan yang terus mengikuti, diperkuat oleh suasana gelap dan mata yang menyala dalam gelap (glow in the dark). Karya ini mengundang khayal umum terutama laki-laki untuk merasakan bagaimana menjadi korban dari pandangan mata yang penuh hasrat dan niat tersembunyi.

Sementara dalam karya berjudul “Incest”, Windi menampilkan seorang anak laki-laki dan anak perempuan yang dilecehkan oleh ayah kandungnya sendiri. Dengan warna hitam, karya ini menciptakan bagaimana anak-anak ini terjebak dalam situasi yang mengerikan.

Di belakang mereka hadir dengan latar yang dipenuhi dengan mainan anak-anak seperti boneka, mobil-mobilan dan lain sebagainya menjadi simbol kebahagian dan kepolosan. Namun dalam karya ini, mainan tersebut justru mengundang senyum yang menjadi saksi bisu, seolah mereka harus menyaksikan peristiwa keji yang tak pernah mereka bayangkan.

Mereka diam, namun dibalik kehadiran mainan yang membuat mereka senyum, justru di perkuat oleh ironi bahwa ada luka dan trauma yang mendalam di hidup mereka.

Karya ini tidak hanya menjadi seruan untuk empati dan perhatian dari masyarakat, tetapi juga secara tegas mengecam keluarga, khususnya orang tua yang justru melampiaskan nafsunya kepada anak-anaknya sendiri.

“Orang tua, yang semestinya menjadi pelindung dan tempat bersandar bagi anak-anak, berubah menjadi pelaku, dan rumah yang seharusnya menjadi ruang aman justru menjadi tempat trauma bermula. Melalui karya ini, kita menyadari bahwa kekerasan seksual bukan hanya ancaman dari luar, melainkan bisa terjadi di dalam keluarga. Jika tempat yang paling kita percaya dan kita harapkan untuk melindungi justru menjadi sumber penderitaan terdalam, lalu bagaimana korban bisa benar-benar merasa aman untuk bersuara?” tanya Windi.

Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha Drs. I Gede Nurjaya, M.Pd, yang membuka pameran mengatakan, tema “Kuasa Lipstik” diangkat bukan hanya untuk menyoal keberadaan benda kecil ini sebagai produk kosmetik, tetapi untuk membedah bagaimana ia bekerja sebagai simbol kuasa yang hadir di ruang pribadi maupun publik.

Kata dia, lipstik, sekilas hanyalah sebatang pewarna bibir—ringan, mudah dibawa, dan kerap dianggap sekadar pelengkap penampilan. Namun di balik tampilannya yang sederhana, lipstik memuat serangkaian makna, wacana, dan kontradiksi yang melekat erat pada pengalaman manusia modern.

Melalui karya-karya visual, instalasi, dan eksplorasi media yang ditampilkan dalam pameran itu, para mahasiswa memaknai lipstik sebagai metafora kompleks—mulai dari kritik terhadap konsumerisme hingga perayaan kebebasan berekspresi. (bs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *