- Dari Anugerah Seni Wija Kusuma hingga Juara Menulis Sejarah
LAHIR di sebuah desa yang berada di ketinggian bukit. Jauh dari kota. Desa Pegayaman namanya. Tapi, ia memiliki segudang talenta. Buktinya, sejumlah penghargaan ia peroleh. Sejumlah prestasi ia raih.
Namanya khas desa tersebut. Yang sangat akulturatif. Perpaduan Bali dan nama Islam. Ketut Muhammad Suharto. Begitu lengkapnya. Orang sering memanggilnya Pak Ketut, atau Pak Harto.
Sosok yang lahir pada 13 Januari 1966 ini baru saja menjuarai Lomba Penulisan Sejarah Desa yang dilaksanakan Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Buleleng. Lomba serangkaian Festival Literasi Buleleng 2024. Penyerahan piala bagi para pemenang dalam Festival Literasi Buleleng 2024 diserahkan Kamis (12/9/2024) di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Bung Karno Sukasada.
Tentu saja, ia menulis sejarah desanya, Pegayaman. Desa yang sudah berumur 4 abad. Diperkirakan ada sejak 1648 M, yang diawali dengan 100 laskar yang direkrut pendiri Kerajaan Buleleng, I Gusti Anglurah Panji Sakti. Atas jasa para 100 laskar dari Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur tersebut, Raja Panji Sakti memberi hadiah lahan di wilayah bukit, yang bernama Pegayaman. Di Kecamatan Sukasada.
Suharto memang hafal di luar kepala tentang sejarah Desa Pegayaman. Dalam beberapa kesempatan, ia begitu lancar menceritakan sejarah desanya. Termasuk angka-angka tahun, dan detil-detil peristiwa dan nama-nama tokoh awal desa tersebut.
Selain mahir sejarah, Ketut Suharto juga menekuni seni burdah. Ia seniman burdah, yang hingga kini menjadi Ketua Sekaa Burdah Burak Pegayaman. Tak hanya menekuni, ia juga melakukan berbagai upaya bagaimana seni burdah tetap lestari.
Salah satu upaya tersebut, Ketut Suharto menulis tentang seni burdah Pegayaman. Dari sejarahnya, tokoh-tokoh atau seniman-senimannya, keunikan dan kekhasannya, dan hingga syair dan ragam lagunya.
Atas hal itu, Dinas Kebudayaan Buleleng memberikan penghargaan kepada Ketut Muhammad Suharto, Agustus 2024 lalu. Yakni Anugerah Seni Wija Kusuma. Sebuah penghargaan yang diberikan kepada talenta-talenta di bidang seni. Ketut Muhammad Suharto dinilai berjasa dalam pelestarian kesenian burdah Desa Pegayaman.
Selain menekuni penulisan sejarah, dan kesenian burdah, Ketut Muhammad Suharto juga ternyata jago melukis dan membuat sketsa. Karya-karyanya memang baru menjadi koleksi pribadi dan beberapa temannya. Namun, tangannya amat lincah menggores garis dan titik di atas kertas membentuk lukisan atau sketsa.
Ketut Muhammad Suharto menempuh pendidikan dasar di Desa Pegayaman. Setamat SMP, ia merantau ke kota Negara, Jembrana menjadi siswa PGA. Sementara pendidikan sarjananya ia tempuh di kota Mataram, NTB, di sebuah perguruan tinggi Islam di sana (IAIN). Sampai akhirnya ia juga menyunting gadis Lombok, Baiq Palmafni Zahara.
Sebagaimana kebanyakan warga Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto juga menekuni pertanian. Ia seorang petani cengkeh. Dan, juga sering diminta mendampingi pembinaan petani kopi organik yang dilaksanakan berbagai lembaga, seperti Unud dan ITBM Bali.
Ketut Muhammad Suharto juga aktif di kegiatan masjid. Masjid Jami’ Safinatussalam Pegayaman. Masjid yang berhasil meraih juara pertama lomba masjid bersejarah di tingkat Provinsi Bali yang dilaksanakan Kementerian Agama, dan kini mewakili Bali dalam lomba yang sama di tingkat nasional.
Di desanya, Ketut Muhammad Suharto juga menjadi Ketua BUMDESA “Barokah” Desa Pegayaman. Ia juga aktif di Tagana Buleleng. Dan menjadi Ketua ICMI Buleleng.
Beberapa kali, Ketut Muhammad Suharto menjadi narasumber pada seminar nasional tentang sejarah, budaya, dan adat istiadat Pegayaman. Ia juga menjadi anggota Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng, yang aktif meneliti sejarah, terutama sejarah komunitas Islam di Bali.
Ketut Muhammad Suharto juga aktif menulis tentang sejarah dan seni-budaya di portal balisharing.com. Tulisan-tulisannya sudah dibukukan dan diterbitkan oleh FPSI Buleleng, dengan judul “Ensiklopedia Desa Muslim Pegayaman Buleleng Bali”.
Kesibukan lain dalam keseharian yang tak kalah penting bagi Ketut Muhammad Suharto adalah menjadi ‘juru bicara’ Desa Pegayaman. Dalam beberapa tahun ini, Desa Pegayaman berkembang menjadi semacam ‘destinasi wisata penelitian’. Banyak pakar, profesor, doktor, peneliti, para calon peneliti, mahasiswa, siswa, dan termasuk peneliti dari luar negeri yang melakukan kunjungan ke Pegayaman. Mereka belajar dan melakukan penelitian di desa tersebut. Hampir setiap hari ada saja yang datang. Termasuk wartawan dari berbagai media.
Dan, yang ditunjuk melayani para peneliti, dan wartawan tersebut siapa lagi kalau bukan Ketut Muhammad Suharto. Ia mengantar para pengunjung ke beberapa tempat bersejarah dan menjelaskannya kepada mereka. Tentang apa dan bagaimana Desa Pegayaman, dan perkembangannya sejak 4 abad yang lalu. (yum)