SINGARAJA adalah kota intelektual. Sejarah mencatat, di kota ini iklim intelektualisme pernah tumbuh dengan subur. Tokoh-tokoh dengan kualitas intelektual selangit pernah dilahirkan. Simbol-simbol intelektualisme didirikan, salah satunya perpustakaan lontar yang bernama Gedong Kirtya. Karya-karya para intelektual masa lalu tersimpan di dalamnya.
Warisan-warisan intelektualisme tersebut terancam hanya menjadi benda bersejarah. Sementara denyut dan semangat intelektualisme yang terekam di dalamnya dikhawatirkan tak menyambung ke generasi berikutnya, terutama generasi Z dan setelahnya, yang keburu dipaksa memasuki peradaban digital.
Seperti kota-kota lainnya, sejak 1990-an, Singaraja juga terdesak peradaban digital. Manusia-manusia di dalamnya tidak bisa membebaskan diri dari sana. Peradaban ini memang mencatat sejumlah hal positif, memudahkan segala urusan. Semua bisa dibuat instan dan tidak merepotkan tenaga dan pikiran.
Namun, harus diakui, peradaban digital lebih banyak menjebak orang pada posisi hanya sebagai ‘pemakai’. ‘Pemakai karya’. Karena hanya ‘pemakai karya’, orang tak butuh akal dan pikiran, apalagi jiwa. Artinya ide-ide dan proses yang membutuhkan kepiawaian intelektualisme tak diperlukan lagi. Maka muncullah beragam ‘aplikasi’. Orang tinggal memakai dan menikmatinya.
Orang ingin membuat puisi tinggal memakai aplikasi artificial intelligence (AI). Mau puisi dengan tema cinta, atau lingkungan, atau politik dan sosial, tinggal meminta di aplikasi tersebut. Selesai. Tapi hasilnya akan berbeda dengan proses penciptaan puisi hasil pengolahan jiwa dan intelektual. Puisi hasil karya AI tak akan berjiwa.
Singaraja punya sejarah intelektualisme yang membanggakan. Warisan dan denyut intelektualisme tersebut harus dihidupkan dan diteruskan ke era peradaban digital. Untuk itulah, agaknya, pasangan sastrawan Kadek Sonia Piscayanti dan Made Adnyana Ole dengan Yayasan Mahima Indonesia-nya menggagas Singaraja Literary Festival (SLF).
“SLF ini bertujuan menghidupkan, mendiskusikan, mementaskan, dan mengalih wahanakan kembali legacy bidang sastra dan intelektualisme masa lalu yang dimiliki Singaraja,” kata Kadek Sonia Piscayanti, Direktur SLF, dalam suatu kesempatan.
Dengan SLF tersebut, Sonia ingin mengajak pendidik, peneliti, mahasiswa, dan pelajar, dan/atau masyarakat untuk mengapresiasi dan merayakan kembali kekayaan di bidang kesusastraan dalam berbagai bentuk alih wahana karya yang bersumber dari karya-karya intelektual masa lalu, yakni lontar, terutama tersimpan di Gedong Kirtya.
“Singaraja Literary Festival sebagai sebuah inisiasi literasi dan sastra, berupaya mendokumentasikan secara serius potensi sastra di Singaraja pada masa lalu, kini, dan nanti. Inisiasi ini hadir untuk menghidupkan intelektualisme di kota Singaraja yang berakar dari Gedong Kirtya, pusat pengarsipan tertua di Nusa Tenggara,” kata Adnyana Ole, menambahkan.
Tahun 2024, merupakan tahun kedua pelaksanaan SLF. SLF pertama dilaksanakan pada 29 September hingga 1 Oktober 2023. Pelaksanaan dipusatkan di kawasan Gedong Kirtya, Jl. Veteran Singaraja. Di sana ada Museum Buleleng, Sasana Budaya, dan Puri Buleleng.
Denyut intelektualisme sangat terasa saat itu. Bayangkan dalam rentang tiga hari, 30 program digelar, mulai dari lomba puisi, workshop, kuliah umum, diskusi publik, bedah buku,pameran, akustik musik, tari, hingga pertunjukan teater.
SLF tahun kedua pada 2024 ini mengambil tema “Dharma Pemaculan”, atau Energi Ibu Bumi”. Dharma Pamaculan sekaligus menjadi tema besar dari panel diskusi dan lokakarya. Tema tersebut tidak terbatas hanya dengan isu pertanian, namun juga perluasannya pada isu ekologi secara umum.
SLF 2024 menghadirkan 50-an pembicara yang akan terlibat di 20-an panel diskusi, 9 workshop, 13 pertunjukan seni; baik tari, teater, musik, 4 kolaborasi nasional dan internasional, serta ratusan seniman dan budayawan nasional dan internasional. Di antaranya adalah Dee Lestari, Henry Manampiring, Sugi Lanus, Aan Mansyur, Willy Fahmi, Oka Rusmini, Pranita Dewi, Sally Breen, Sudeep Sen, Mags Webster, Phillip Cornwell Smith, Nerisa del Carmen Guevara, dan banyak lainnya.
Pelaksanaan festival tahun kedua ini juga menjadi salah satu yang spesial dengan kolaborasi bersama Asia Pasific Writers and Translators yang memberikan workshop penulisan kreatif. Tak hanya penulisan kreatif, di festival ini juga terdapat kerjasama penulisan akademik dengan Jurnal Kajian Bali yang produknya adalah artikel terindeks Scopus.
Ada juga dari Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yakni “Khazanah Rempah dalam Lontar”. Program ini juga berupaya mendokumentasikan pengetahuan terkait rempah di Nusantara baik di masa lalu hingga transformasinya di masa kontemporer. Singaraja Literary Festival turut mengundang sekitar 35 penulis untuk turut terlibat dalam proses produksi pengetahuan tentang khazanah rempah.
Selama tiga hari, 23-25 Agustus 2024, para panelis, peneliti, praktisi, akademisi, sastrawan, pengamat secara intens mengasah intelektualisme mereka membaca, mengungkap dan memberi tafsir karya-karya masa lalu agar nyambung ke masa kini. Peradaban digital harus diberi warna dan jiwa. Referensinya karya-karya masa lalu.
Intelektualisme harus terus tumbuh di sudut-sudut kota ini. Tumbuh subur seperti aplikasi di musim digital. Denyutnya harus menyebar pelosok bumi. Tugas Singaraja Literary Festival belum selesai. Sampai ketemu pada tahun depan. (bs)