ADA sesi khusus dalam pagelaran Singaraja Literary Festival 2024. Sesi khusus yang dikemas dalam bentuk, katakanlah, seminar tersebut bertajuk “Khazanah Rempah dalam Lontar Bali”. Seminar yang digelar di Wantilan Desa Adat Buleleng, Singaraja, itu mendatangkan tiga narasumber yang ahli dalam bidang pembacaan dan kajian lontar, seperti Ni Made Ari Dwijayanti, IGA Darma Putra, dan Putu Eka Guna Yasa. Juga ada keterlibatan budayawan Adi Wicaksono yang memberi pandangan soal urgensi rempah Indonesia dipandang dalam konteks budaya dan percaturan ekonomi dunia.
Acara yang didukung oleh keterlibatan Direktorat PPK (Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan), Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia itu dilaksanakan selama tiga hari berbarengan dengan Singaraja Literary Festival, dari tanggal 23 sampai 25 Agustus 2024.
“Sesi khusus ini adalah sebuah perayaan khusus soal khazanah rempah di dalam lontar. Tujuannya adalah untuk memasyarakatkan pengetahuan rempah dalam konteks masa kini, khususnya di dunia pengobatan dan kuliner,” tutur Kadek Sonia Piscayanti, Direktur Singaraja Literary Festival, di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Minggu (18/8/2024) siang.
Rempah adalah kekayaan alam Indonesia yang sudah terkenal sejak berabad-abad. Citra rempah yang hangat dan bisa dijadikan penyedap makanan menyebabkan bangsa Barat rela menjelajah lautan untuk mendapatkannya di bumi Nusantara. “Konsekuensi kekayaan alam yang menggiurkan ini, bangsa Eropa yang semula menjelajah rempah, akhirnya menjajah bangsa kita,” kata Sonia.
Secara imajinatif, jalur rempah adalah suatu lintasan peradaban dalam bermacam bentuk, berupa garis lurus, lingkaran, silang, bahkan berbentuk jejaring. Jalur perdagangan antarbenua itu dikenal dengan “jalur rempah”—merujuk kepada salah satu komoditas utama perdagangan pada zaman kejayaannya, yaitu rempah.
Bersama dengan komoditas bernilai lainnya, rempah menyusuri pelabuhan demi pelabuhan dari Asia hingga Eropa. Dalam konteks perkembangannya di Bali, rempah tumbuh dari bagian utara Bali yang merupakan salah satu titik berlabuh dan bertolaknya rempah Nusantara. Para pelawat manca negara, terutama India dan Cina, telah tiba di Bali sejak awal abad Masehi.
Materi Gandha, Boga, dan Usadha
Hingga saat ini, masyarakat Bali, secara kreatif, masih melestarikan rempah dan memanfaatkannya untuk kepentingan ketahanan alam, elemen ritual, ramuan pengobatan dan perawatan, serta mengembangkan gastronomi. Hal ini membuktikan bahwa jalur rempah adalah jalur budaya dan jalur perdagangan sekaligus—yang selama berabad-abad—dapat kita teroka jejak legasinya dalam masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Rajutan hubungan antara masyarakat Bali dengan rempah menyebabkan sistem pengetahuan kerempahan juga tercatat dalam warisan naskah. Naskah Bali seperti Geguritan Megantaka, Tutur Dharma Caruban, dan Usadha Bali dapat dijadikan literasi tentang fungsi rempah.
Berdasarkan pustaka-pustaka itu, rempah setidaknya memiliki tiga fungsi utama, yaitu dalam konteks gandha, boga, dan usadha. Dalam Geguritan Megantaka dijelaskan bahwa rempah berfungsi sebagai sarana minyak wangi atau parfum (gandha). Demikian pula dalam konteks boga, naskah lontar Dharma Caruban menjelaskan berbagai bumbu, terutama basa genep, untuk membuat olahah betutu, sate, timbungan, dan yang lainnya.
Selanjutnya, dalam konteks usadha atau obat-obatan, lontar Usadha Rare membabar betapa pentingnya rempah sebagai sarana kesehatan, seperti obat batuk, radang, luka, dan seterusnya. “Special events ini terdiri dari 2 kegiatan, yaitu Seminar Khazanah Rempah dalam Lontar dan Pengenalan Khazanah Lontar, khususnya yang mengandung tema rempah,” ujar Sonia.
Seminar khazanah rempah dalam lontar yang terbagi dalam tiga topik mengenai gandha, obat-obatan (usadha), dan tentang boga atau kuliner. Sesi ini diikuti oleh 30 lebih penulis Bali sebagai peserta—yang sekaligus akan membuat semacam esai terkait jalur rempah dan akan dipublikasikan—ditambah mahasiswa dan kaum muda di Buleleng.
Khusus penulis Bali yang menjadi peserta, sebagaimana telah disinggung di atas, tak hanya akan membuat esai sederhana, tapi pula diminta untuk mendalami khazanah pengetahuan dalam manuskrip lontar tentang obat-obatan sehingga kemudian dapat menyebarkan khazanah pengetahuan kepada khalayak luas. Sementara peserta mahasiswa dan kaum muda diharapkan dapat mengenali kembali manuskrip sebagai khawanah pengetahuan dalam lontar.
Sedangkan pengenalan khazanah lontar, khususnya yang mengandung tema rempah seperti khazanah usadha dan kuliner, ditujukan kepada para siswa sekolah dan kaum remaja di Singaraja. Kegiatannya berupa presentasi dan diskusi tentang lontar di sekolah. “Juga ditambah pementasan atau pembacaan lontar serta pembacaan puisi oleh lima penyair Bali dengan tema bahari yang diselingi pentas musik,” terang Sonia. (bs)