Lintasan Para Pejuang

  • Esai Sejarah dr. Soegianto Sastrodiwiryo (alm.) 

DUA bulan sebelum Perang Margarana (bukan puputan), dua bulan sebelum 20 November 1946, duapuluh atau lebih Resimen Ngurah Rai setelah meliwati celah sempit di Pelaga, mereka tiba di ketinggian Desa Lemukih. Di atas Jagaraga.  

Dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai dan beserta stafnya, diantaranya Mayor Pindha. Di Desa Lemukih mereka ini dijamu oleh rakyat desa, tapi amat dirahasiakan karena mata-mata mungkin banyak berkeliaran. 

Seorang tokoh yaitu Kepala Desa Lemukih adalah Bapa Ringin yang amat patriotik membela, buat mengusir pasukan Belanda NICA. 

Waktu berjalan cepat karena di pagi buta pasukan pejuang ini sudah harus berangkat melewati puncak Gunung Agung karena akan melakukan penyergapan kepada pasukan Belanda yang masih muda-muda dan sedang melakukan latihan perang-perangan di wilayah Tanah Aron. Rupanya pasukan Ngurah Rai ini diikuti terus oleh seekor burung elang besar. 

Lusanya, pasukan Ngurah Rai pagi-pagi buta telah sampai di Tanah Aron pada sebuah ketinggian. Akan tetapi Letkol Ngurah Rai melarang segera melakukan serangan. Atas petunjuk Nyoman Beleleng sebaiknya menunggu satu jam lagi agar tanah medan menjadi cukup terang dan pasukan NICA ini sedang istirahat. 

Kemudian salvo tembakan diberikan oleh Komandan Ngurah Rai dan beberapa orang pasukan Belanda menggeliat melepaskan nyawa. Pimpinan NICA terkejut luar biasa, sambil mengirim informasi dengan pesawat pemancarnya minta bantuan pada pesawat terbang yang paling dekat. Tapi syukur cuaca ada di pihak pasukan Ngurah Rai dan berita sulit sampai ke induk pasukan Belanda. 

Ada berita yang mengabarkan bahwa beberapa anggota Resimen Ngurah Rai yang tersesat di Desa Lampu berhasil menghabisi beberapa orang pengkhianat, orang-orang China, yang dari sejak datangnya NICA suka memberi keterangan tentang posisi pemuda. 

Ngurah Rai segera memerintahkan anak buahnya untuk kembali naik ke Gunung Agung karena pesawat capung Belanda mulai terlihat berkeliaran. Rai curiga bahwa posisinya sudah tercium dan tentu mereka bisa disergap. 

Ngurah Rai mengumumkan bahwa pasukan akan segera kembali ke Tabanan, wilayah Marga dan untuk itu Rai memerintahkan kepada pasukan berani matinya dibawah pimpinan Kapten Anang Ramli untuk mengamankan lintasan kembali. 

Di sinilah Ngurah Rai mendapat berita sedih bahwa anak buah yang amat dicintainya Mayor Metra telah gugur di wilayah Selat Buleleng. Padahal Rai telah siap mengangkat Mayor Metra untuk menjadi penasehatnya. Upacara duka dilakukan dengan diam-diam dan amat sederhana. [] 

*) Penulis adalah Cendekiawan dan Sejarawan 

*) Tulisan ini dikutip dari buku penulis “Lompatan-Lompatan Kebenaran”. Yang berminat bisa menghubungi HP : 0818-0533-9885 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *