Oleh Amoeng A. Rachman *) Bagian 2 – Habis
Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 2 Buleleng genap berumur 71 tahun pada 2024 ini. Serangkaian acara digelar untuk merayakan milad ke-71 MIN 2 Buleleng, dengan tagline Gebyar Milad Ke-71 MIN 2 Buleleng. Sekolah ini resminya didirikan pada 10 Februari 1953, yang awalnya bernama Sekolah Rendah Islam (SRI). Bagaimana sekolah ini lahir dan seperti apa dinamikanya selama melintasi sejarah, berikut catatan Pemerhati Sejarah, Amoeng A. Rachman.
DITUTUPNYA Madrasah Al-Ittihad Al-Islami disertai pindahnya Attamimi ke Lombok tahun 1950-an, telah memupus sebagian harapan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang menekankan pendidikan agama. Ketiadaan lembaga pendidikan yang berbasiskan agama ini pula telah membujuk sejumlah kalangan sehingga timbul pemikiran untuk segera mengambil langkah.
Sekitar tahun 1953 diadakanlah suatu pertemuan untuk rencana pendirian sebuah sekolah. Sekolah yang dimaksud adalah sekolah yang bercirikan Islam yang dapat memenuhi hasrat dan harapan orang tua pada masa itu. Atas prakarsa beberapa tokoh Islam yang ada di lingkungan komunitas muslim di Singaraja seperti H. Moh Jasin, Umar Faris, H. Ali, H. Said, H. Naim, Habib Adnan, H. Alawi dan lain-lain, maka disepakati untuk membentuk sekolah, yang selanjutnya dinamakan Sekolah Rendah Islam (SRI) enam tahun.
Sekolah yang didirikan ini adalah swadaya murni dari masyarakat muslim dan menjadi satu-satunya sekolah swasta Islam yang ada di kota Singaraja pada waktu itu. Untuk menangani pengelolaan sekolah ini maka dibentuklah pengurus SRI, dengan Ketua Imam Muhajir, Sekretaris Habib Adnan dan anggota antara lain Abdul Latif, Ali Basnan, Usman Ramli dan lain-lain.
Resminya SRI berdiri pada tanggal 10 Februari 1953 dan sekolah ini menggunakan bekas gedung madrasah Al-Ittihad Al-Islami yang merupakan wakaf dari Umar Faris dan Ma’ruf Sammach yang terletak di Jalan Pattimura. Letak SRI sangat strategis, karena berada pada posisi dekat dengan perbatasan wilayah tiga kampung; Kampung Bugis, Kampung Kajanan, dan Kampung Anyar, yang merupakan basis pendukung utama sekolah ini.
Dalam proses belajar mengajar, sekolah ini menggunakan kurikulum yang berimbang antara pelajaran agama dan pengetahuan umum. Perpaduan ini dimaksudkan agar anak didik nantinya disamping memiliki dasar pengatahuan agama yang kuat, tetapi juga mampu mengikuti kemajuan zaman.
Sejak awal berdirinya, SRI ini telah memperoleh respon yang cukup positif. Anak-anak yang terdaftar bukan saja dari kalangan sekitarnya, tetapi juga dari berbagai tempat yang cukup jauh dari lokasi sekolah. Jumlah murid sebenarnya tergolong banyak, sedangkan jumlah kelas yang kurang memadai sehingga terpaksa sebagian kelas meminjam ke TK ASRI (TK Aisyiyah) di Jalan Merak yang letaknya tidak jauh dari sekolah ini.
Ada beberapa guru pengajar yang merupakan generasi pertama yang mengabdi di sekolah ini, antara lain M. Hasan (Kepala Sekolah), Bakar Mascatty, M. Sidiq, Ali Kadir Bobsaid, Moh Damin dan seorang ibu guru Soeparmi. Untuk kepentingan efektivitas pengelolaan, sekolah ini pernah bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Islam (YPI), sebuah yayasan yang khusus bergerak membantu sekolah-sekolah Islam yang berada di wilayah Bali dan Nusa Tenggara.
SRI yang nantinya sebutannya berubah menjadi MII (Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah) bukanlah gedung yang megah dengan segala fasilitasnya, tetapi hanya sebuah gedung tua dan kusam yang terdiri dari beberapa lokal saja. Bahkan beberapa bagian dari gedung ini sudah keropos, dan bila hujan tiba-tiba ruangan kelasnya menjadi banjir karena beberapa bagian atapnya rusak.
Sedangkan papan nama sekolah yang ukurannya relatif kecil dengan tulisan sederhana hanya ditempelkan pada sebuah tiang penyangga teras bagian depan. Meskipun demikian, di balik semua itu ditemukan para pendidik yang memiliki pengabdian jiwa yang sangat tinggi. Kendati kondisi sekolahnya sangat minim dengan fasilitas dan guru yang digaji seadanya bahkan untuk mengajar sering kehabisan kapur tulis, namun tidak menyurutkan semangat pendidiknya untuk mengajar.
Di sekolah yang secara fisik sangat mengenaskan ini sebenarnya telah disemai pribadi-pribadi yang jujur dan tangguh serta tahan banting. Di sekolah yang guru-gurunya sangat rendah hati itu pula telah mampu mencetak manusia-manusia yang tidak hanya dapat menyesali keadaan tetapi manusia yang bisa mengatasi keadaan dengan potensi yang serba terbatas.
Banyak cerita suka duka, kenangan masa belajar di sekolah ini yang telah membalut ingatan para alumninya. Mereka kini telah menyebar ke berbagai pelosok. Memang tidak semua alumni bisa dikatakan telah menjadi orang yang sukses, apalagi dari segi materi. Namun para mantan guru mereka merasa bangga telah dapat mewariskan apa yang seharusnya diberikan pada anak didiknya terlebih dahulu.
Ada semacam kesan dari para alumninya, bahwa mereka pada umumnya mempunyai ikatan batin yang sangat kuat dengan tempat sekolah ia menimba ilmu dahulu. Setidaknya hal ini terbukti ketika diadakan reuni pada tahun 1979, semasa sekolah itu dipimpin oleh Ustadz A. Rahman Alawi. Hampir sebagian besar para alumninya yang ada di berbagai tempat berdatangan, termasuk mantan guru generasi pertama dan pendiri sekolah ini.
Dalam perkembangannya, MII yang sebelumnya menempati gedung lama (Jalan Pattimura) kemudian pindah ke Jalan Dewi Sartika Utara pada tahun 1978. Tempat baru ini merupakan pemberian dari Bupati Buleleng yang pada masa itu dijabat oleh Hartawan Mataram. Kepindahan sekolah ini pada tanggal 10 Februari 1978 ditandai dengan sebuah prasasti yang ditandatangani oleh Bupati Buleleng. Kepindahan ini juga bertepatan dengan seperempat abad usia sekolah ini.
Meskipun sekolah ini telah pindah ke tempat yang baru, namun sisa-sisa kenangan para alumninya di gedung lama (Jalan Pattimura) masih melekat dalam ingatannya. Gedung tua yang penuh sejarah ini sebenarnya masih berdiri walaupun sedikit berubah. Bahkan kini masih digunakan kegiatan pendidikan oleh Yayasan Mardhatillah.
Seiring dengan perjalanan waktu sekolah swasta Islam ini kemudian mengalami proses “penegerian” pada tahun 1995. Semula dari nama MII (Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah) yang swasta kemudian berubah menjadi MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) Singaraja. Proses perubahan ini sempat menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, karena ada pihak-pihak yang merasa khawatir dengan perubahan tersebut.
Namun proses itu pada akhirnya dapat berjalan, meskipun ada ketidakpuasan sebagian pihak. Sejak perubahan status pada tanggal 25 Nopember 1995 dari sekolah swasta (MII) menjadi sekolah negeri (MIN) secara fisik sekolah ini banyak mengalami kemajuan. Hal ini dapat dilihat dari gedung dan ruang kelas dengan fasilitas jauh meningkat dibandingkan sebelumnya.
Demikian juga jumlah tenaga pengajar dengan kualifikasi yang cukup memadai serta prestasi yang dicapai siswa dan sekolah diberbagai tingkatan. Namun dibalik semua itu para alumni SRI/MII dahulu yang memiliki hubungan sejarah masa lalu merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu itu mungkin “semangat dan rasa memiliki” yang sudah tidak terasa lagi.
Akankah nama besar SRI/MII menjadi sebuah “legenda” ataukah ia hanya akan menjadi penggalan sejarah masa lalu yang dilupakan? Artinya, generasi mendatang sudah tidak akan tahu lagi jejak sejarahnya. Untuk itulah tulisan ini dibuat. (bs)
*) Penulis adalah Ketua Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng
Keterangan : Tulisan ini ditulis pada 1 Juni 1 Juni 2006, dengan sumber tulisan, yakni makalah Ketut Ardhana berjudul “Perkembangan Muhammadiyah Bali (1934-1968)”, yang disampaikan dalam “Peringatan Seperempat Abad Perguruan Muhammadiyah” di Denpasar, tahun 1985. Majalah Suara Muhammadiyah, No.10/TH. KE 91-2006. Wawancara A.A. Bobsaid (mantan Kepala Sekolah SRI/MII 1960-1965), M. Sidiq (mantan guru SRI generasi pertama), Abdur Rahman Alawi (mantan Kepala Sekolah SRI/MII 1971-1984)
Lampiran :
Nama Kepala Sekolah SRI/MII Singaraja (1953-1995)
1. M. Hasan (1953-1957)
2. Bakar Mascatty (1958-1960)
3. A.A Bobsaid (1961-1965)
4. Husin Macatty (1966-1967)
5. A. Thayib Murad (1967-1970)
6. Ahmad Basultanah (1970-1971)
7. A. Rahman Alawi (1970-1984)
8. Nur Muhammad Ramli (1984-1990)
9. Siti Aminah (1990 1995)