Encik Fu, Penjual Kawat Keliling

  • Esai Sejarah dr. Soegianto Sastrodiwiryo

KITA akan memulai dari aliran Tukad Buleleng yang berasal dari pegunungan Den Bukit dan berakhir di pantai utara. Kali ini kita akan mematok sebuah titik di pertigaan pertemuan Tukad Buleleng dengan jalan timur barat yang membelah Desa Banyuning.

Di antara aliran garis jalan ini dengan pantai utara Buleleng terletak sebuah perkampungan Tionghoa yang lazim disebut Kampung Tinggi. Kampung Tinggi pernah mengalami masa kejayaannya di zaman Taoke Hsu.

Tapi sisa-sisa kejayaan perkampungan China ini masih tersisa berupa reruntuhan batu-bata dan bangunan setengah lapuk tapi tiang pancangnya masih kuat.

Di abad ke-19 dahulu terdapat sebuah kelenteng tua di selatan jalan yang telah ditinggalkan. Sisa-sisa kelenteng itu di awal tahun 50-an ditempati oleh seorang centeng bernama Encik Fu.

Encik Fu tinggal di sana dan tidur di atas sofa tua yang ditinggalkan. Encik Fu cukup nyaman tinggal di sana, namun Encik tua ini yang konon Cina totok dari Kwantung juga mengambil pekerjaan sebagai penjual kawat keliling kota Singaraja.

Anehnya orang tinggi kurus ini tak pernah memakai catut buat memotong kawat yang digulungnya dan dibawa kian kemari sepanjang jalan desa-desa.

Orang-orang suka berhubungan dengan Encik Fu karena ramah dan bekerja praktis. Berapa saja harga yang diminta pembeli Encik Fu dengan senyum memberinya.

Banyak anak-anak muda yang ingin mengetahui di mana tempat tinggal Encik Fu. Sekelompok kecil pemuda Mumbul bertekad untuk mengetahui rumahnya. Mereka adalah Derahman, Dolok, Boadi dan Sugiri. Namun Sugiri mengundurkan diri. Sisa tiga orang yang cukup nyalinya, yaitu Derahman, Boadi dan Dolok karena bila mungkin akan belajar silat China dari Encik Fu.

Akhirnya di Bulan Terang bulan Oktober ketiga anak Mumbul ini berhasil menemukan rumah Encik Fu, walau ada seekor anjing garang yang berusaha mengusir dan menggonggong mereka.

Ketika orang tua penjual kawat itu mengetahui ada yang mengintainya, namun Encik tua itu hanya tersenyum dan menyuruh diam anjing penjaganya.

Betapa gembira ketiga anak tanggung dari Mumbul ini saat Fu memanggilnya dengan ramah dan diberikan nasehat tentang ilmu bela diri China. Namun sayang hanya sebatas nasehat dan tidak diajarkan jurus-jurus silat China.

Encik Fu hanya menganjurkan mereka bertiga untuk mendatangi Abah Abdurahman Bawzir, penjaga Masjid Keramat di Kajanan.

Ketiganya pulang walau dengan perasaan masygul tapi berhasil menemui Abah Bawzir. Syukur Abah pendekar Kajanan ini mau menerima ketiganya sebagai murid karena ada surat atau pesan dari Encik Fu.

Encik Fu kembali menjalankan kesehariannya dengan menjajakan kawat keliling kota. Sebuah kejadian yang cukup viral di kota Singa adalah saat Encik Fu yang bercelana Singkek berbaju tambalan dan membawa handuk lama tiba-tiba dibegal oleh sekawanan bromocorah.

Saat itu Encik baru selesai mandi di Tukad Banyumala di bawah jembatan ketika dia ditodong sebilah pedang oleh pemimpin begal ini. Encik tersenyum dan Cuma bilang begini: ”Hayyaa owe tidak punya uang lhaa mau ambil kawat bole, owe kasi hayaa”.

Rampok itu tambah marah karena dianggap mengejek. “Hayyaa owe tak mau kelahi laa.” Seketika begal itu mengayunkan parangnya pada lengan Encik Fu.

Entah bagaimana caranya, Encik Fu melemparkan handuknya dan cepat menangkap parang yang diayunkannya lalu memiting lengan bromocorah itu. Begal itu teriak ampun-ampun dan kawannya berdiri menjauh melingkari Encik Fu sambil ikut menyembah minta-minta ampun.

Encik melepaskan handuknya lalu menasehati para bajingan itu agar jangan lagi mencari uang dengan cara membegal. Ia contohkan dirinya yang susah payah mencari duit keliling kota berjualan kawat.

Tiap orang kota paham bila ada seorang Cina tua berjualan kawat tanpa pakai catut pastilah itu Encik Fu dari Kampung Tinggi. []

*) Penulis adalah Cendekiawan Sejarawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *