Oleh R. Azhari *)
SEJAK kedatangan rombongan beberapa tokoh ulama, bangsawan, saudagar dan tabib dari berbagai suku bangsa mendiami Kampung Pancoran, semakin menarik minat suku bangsa lain menyusul berdatangan menaruh harapan hidupnya. Terlebih setelah pihak Raja Seloka memberikan konsesi tanah di bagian utara Pelabuhan Pancoran kepada kaum pendatang.
Dengan hibah perluasan kawasan pemukiman ini semakin mendorong pendatang membentuk komunitas baru dengan kemakmuran yang diperoleh dan terus semakin bertumbuh.
Satu diantara keahlian pendatang adalah memberi pengobatan kepada orang sakit tanpa menerima imbalan, karena semua dilakukan dengan keikhlasan.
Tersebutlah seorang ulama, Syekh Ahmad Bawasier, suku bangsa Arab berasal dari Banyuwangi. Disamping menyebarkan ajaran Islam, Syekh Ahmad Bawasier juga memberi pengobatan kepada orang sakit.
Karena kemampuannya itulah namanya semakin dikenal tidak terbatas di kalangan umat Islam sendiri, tetapi banyak pula dikunjungi oleh orang Hindu Bali, yang membutuhkan pertolongan. Ketenarannya sampai kepada penduduk Desa Awen, yang sedang dilanda wabah penyakit gudug/lepra.
Kala itu gudug/lepra bagi orang awam dianggap sebagai penyakit kutukan dan sangat ditakuti. Kemudian dari pihak keluarga yang sedang mendapat musibah mengadukan wabah penyakit ini kepada Syekh untuk diberi pertolongan.
Desa Awen sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Melalui jalan setapak, memasuki rawa-rawa dan hutan bakau, hampir tidak ada orang yang berani mendekat karena takut terjangkit. Dan para penderita terpaksa dikucilkan.
Dengan ketulusan hati, Syekh Ahmad Bawasier memberikan pertolongan kepada para penderita lepra hingga sembuh. Para penderita ini adalah masyarakat jelata dari golongan sudra (kasta rendah) dalam strata masyarakat Hindu Bali.
Semua upaya yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Bawasier semakin mendapat simpati dari pihak keluarga penderita lepra dan masyarakat setempat. Cara dakwah yang sangat mulia menyelamatan nyawa orang dari kematian, dan berangsur-angsur penduduk di sana mendapat hidayah dengan menyatakan syahadat berpaling dari keyakinan yang lama.
Mereka ini kemudian dijuluki kaum yang berbalik keyakinan (mualaf). Bading dari bahasa Bali artinya balik. Hingga kini desa itu disebut ‘kumbading’.
Perubahan sikap dan keyakinan ikut pula yang mempengaruhi tata cara kehidupan. Selanjutnya tidaklah lagi mengikuti saudara yang lain seperti mengolah tanah (bertani) tetapi mengikuti tata cara orang Bugis, yakni melaut.
Berita berpalingnya keyakinan penduduk Awen ini sampai kepada pendeta Ida Pendanda Agung dan hal itu diteruskan kepada Raja I Gusti Ngurah Putu.
Betapa murka mendengar rakyatnya beralih keyakinan dan kemudian dibuat aturan untuk mengucilkan seluruh keluarga dari segala syarat dan pelayanan umat Hindu dan adat.
Bagi masyarakat Kumbading, keputusan raja tidak banyak mempengaruhi cara hidup dalam mencari mata pencaharian. Gengsi yang ditampilkan oleh raja berimbas kepada hubungan kekerabatan yang renggang terhadap tokoh-tokoh pendatang dengan mengabaikan dari sekian lama menjalin hubungan yang harmonis antara kedua belah pihak.
I Gusti Ngurah Putu, pelanjut tampuk kekuasaan Kerajaan Jembrana setelah ayahnya I Gusti Ngurah Seloka meninggal dunia. Tabiatnya sangat sewenang-wenang memperlakukan rakyat sehingga timbul rasa tidak suka di kalangan rakyat bawah, karena sikap dan kebiasaan raja ini berbeda dari ayahnya ketika berkuasa.
Memudahkan orang mengenali suatu tempat atau tujuan dalam mencari pertolongan maka dari desa tetangga memberi nama kampung ini dengan sebutan ‘loloh’. Bahasa Bali kata lain dari obat atau ramuan (cikal bakal penyebutan Kampung Loloan).
Dusun Kumbading mayoritas penduduknya beragama Islam menggunakan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa keseharian dengan mata pencaharian di lahan tambak ikan dan juga sebagai pelaut. Terdapat bangunan masjid, maderasah ibtidaiyah islamiyah dan pesantren.
Setelah tiga ratus tahun lebih masyarakat Kumbading berada dalam aturan desa adat Hindu Bali, kini terpisah melalui pemekaran wilayah digabung ke Desa Pengambengan. []
*) Penulis adalah Pemerhati Budaya dari Loloan Timur