Cerita Kampung dan Tokoh Muslim di Buleleng Barat-Bali (4)
Pada Sabtu (20/5/2023), Koordinator Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng, Amoeng Abdurrahman, dan anggota FPSI Ketut Muhammad Suharto, Dodi Irianto dan Yahya Umar mengunjungi tokoh masyarakat Muslim Sumberkima, H. Ibnu Amal, di Banjar Dinas Mandarsari, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Bali. Pertemuan mendiskusikan sejarah dan perkembangan masyarakat Muslim di Sumberkima. Hasilnya ditulis dalam beberapa laporan. Berikut laporan keempat dari diskusi tersebut.
POHON bakau atau pohon mangrove tumbuh subur di pesisir Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Buleleng Barat, Bali. Hutan mangrove ini bagai benteng yang melindungi warga Sumberkima dari ‘serangan’ cuaca ekstrem. Dan masyarakat Muslim Sumberkima punya peran besar menjaga kelestarian hutan bakau ini.
“Sebelum saya lahir, hutan bakau ini sudah ada. Yang menjaga hutan bakau tersebut selama ini ya kami masyarakat Mandar,” kata tokoh Muslim Sumberkima, H. Ibnu Amal.
Menurutnya, hutan bakau tersebut banyak fungsinya. Di antaranya menjaga pesisir pantai dari abrasi dan juga menjaga rumah-rumah warga. Misalnya kalau ada angin utara, tidak langsung menghantam rumah-rumah warga, karena terhalang hutan bakau ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, H. Ibnu Amal mewanti-wanti agar umat Islam yang ada di pesisir pantai Sumberkima harus ikut menjaga hutan bakau ini. “Jangan justru merusak,” tandasnya.
“Kita betul-betul menjaga mangrove ini. Siapa pun orangnya, tidak boleh menebang atau sekadar memotong ranting pohon mangrove di sini,” sambung warga Mandarsari lainnya, Moh. Toyib.
Luas hutan bakau di pesisir Sumberkima mencapai ratusan hektar. Keberadaannya sangat bergantung kepada masyarakat Sumberkima. Kalau masyarakat tidak peduli, tak butuh waktu lama untuk menghabiskan hutan bakau ini.
Menurut H. Ibnu Amal yang punya nama kecil Benu Amang, tidak ada petugas khusus untuk menjaga hutan mangrove ini. Masyarakatlah yang menjaganya. Meskipun sang pemilik tanah, tidak boleh memotong pohon bakau ini.
“Kalau pun ada yang mati, itu mati sendiri. Atau kalau ada warga yang membuat pendaratan perahunya boleh merabas sebatas tempat mendaratkan perahu,” jelas H. Ibnu Amal.
Dijelaskan, di dalam hutan mangrove banyak terdapat kekayaan hayati. Berbagai jenis ikan dan kepiting hidup di sana. “Di dalam banyak kepiting. Kepiting bakau. Itu tak pernah dipanen. masyarakat bisa mengambil kepiting itu untuk dinikmati. Kita tidak memarahi dan tidak melarang. Silahkan ambil kepitingnya. Yang penting bakaunya jangan diganggu. Jangan ditebang,” tegas H. Ibnu Amal.
Ia juga mengaku bersyukur agar pemerintah mulai memperhatikan untuk pelestarian hutan mangrove ini. “Alhamdulillah, pemerintah sudah mulai memperhatikan hutan bakau ini.” (bs)
Bersambung ……………..