Cerita Kampung dan Tokoh Muslim di Buleleng Barat-Bali (2)
Pada Sabtu (20/5/2023), Koordinator Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng, Amoeng Abdurrahman, dan anggota FPSI Ketut Muhammad Suharto, Dodi Irianto dan Yahya Umar mengunjungi tokoh masyarakat Muslim Sumberkima, H. Ibnu Amal, di Banjar Dinas Mandarsari, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Bali. Pertemuan mendiskusikan sejarah dan perkembangan masyarakat Muslim di Sumberkima. Hasilnya ditulis dalam beberapa laporan. Berikut laporan kedua dari diskusi tersebut.
BAGAIMANA hubungan orang-orang Bugis Mandar di Sumberkima dengan Kerajaan Buleleng? Apa peran mereka dalam sejarah Kerajaan Buleleng?
Menurut H. Ibnu Amal, ia mendengar cerita dari sesepuh di Sumberkima bahwa di antara enam tokoh Bugis Mandar awal pernah diminta bantuan oleh Kerajaan Buleleng ketika ada persoalan dengan Belanda. Dan di antara mereka berangkat memberikan bantuan karena mempunyai keahlian “berperang”.
H. Ibnu Amal menceritakan, mereka berangkat ke Kerajaan Buleleng naik perahu. Menyusuri pantai dari Sumberkima hingga ke pantai Buleleng. Sebab, waktu itu belum ada jalan dari Sumberkima ke Buleleng. Jalan aspal jalur Singaraja – Gilimanuk seperti yang ada sekarang baru dibangun Belanda setelah menguasai Buleleng.

“Nenek moyang kami naik perahu ketika pergi ke Buleleng untuk membantu Kerajaan Buleleng yang sedang menghadapi masalah dengan Belanda. Belanda sendiri belum masuk di Sumberkima. Nenek moyang kami sudah menempati Sumberkima sebelum ada Belanda,” jelas H. Ibnu Amal.
Ada cerita menarik soal perahu yang dipakai tokoh-tokoh Bugis Mandar untuk transportasi laut. Menurut H. Ibnu Amal, nenek moyang mereka kadang-kadang meminta bantuan binatang laut untuk menarik perahu mereka.
“Kakek saya, Kannai Moti (saudara dari nenek saya), dalam sejarahnya tidak pernah mendayung sendiri perahunya. Pernah istri dari kakek Kannai Moti mau melahirkan. Ia harus mencari gula ke Singaraja. Kakek Kannai Moti memanggil gurita untuk menarik perahunya ke Singaraja. Dan juga waktu pulang kembali ke Sumberkima. Begitu sejarahnya,” tutur H. Ibnu Amal.
Menurutnya, Kannai Moti juga jago dalam menangkap buaya. Dulu, kata H. Ibnu Amal, di Sumberkima banyak ditemukan buaya. “Orang-orang Sulawesi yang menangkapi buaya-buaya tersebut.”

Sementara Koordinator FPSI Buleleng, Amoeng Abdurrahman, memprediksi orang-orang Bugis Mandar datang pertama kami ke Sumberkima sekitar tahun 1800-an. Menurutnya, kalau ada tokoh Bugis Mandar diminta bantuan oleh Kerajaan Buleleng diperkirakan terjadi pada Perang Jagaraga tahun 1848 – 1949 M.
Dikatakan, dalam Perang Jagaraga, Kerajaan Buleleng melawan Belanda. Kerajaan Buleleng juga diperkuat orang-orang Bugis saat itu. Orang-orang Bugis banyak terlibat dalam perang tersebut. Dalam babad disebutkan bahwa diantara orang-orang yang gugur dalam Perang Jagaraga tersebut terdapat orang-orang Bugis. Sangat mungkin orang-orang Bugis yang terlibat dalam Perang Jagaraga termasuk yang dari Sumberkima.
Artinya, kalau disebutkan orang-orang Bugis Mandar di Sumberkima pernah diminta bantuan Kerajaan Buleleng ketika bermasalah dengan Belanda berarti mereka ada di Sumberkima jauh sebelum peristiwa perang tersebut. Sehingga keberadaannya diketahui oleh Raja Buleleng.

H. Ibnu Amal juga menuturkan, leluhurnya yang datang ke Sumberkima bukan hanya memiliki keahlian dalam “berperang”. “Bukan berperang lagi, besi bisa digulung oleh mereka,” ujarnya.
Ia mengatakan, nenek moyangnya juga jago main pedang. Kalau terluka, cukup dioles dengan ludahnya, luka tersebut akan sembuh. Oleh karena itu, kata H. Ibnu Amal, lelehurnya sangat ditakuti di Sumberkima. Karena mereka merupakan para pendekar ulung. “Sampai generasi ketiga, leluhur kami masih ditakuti di sini,” tambahnya.
Sementara bela diri yang diwarisi warga Muslim Sumberkima dari leluhurnya adalah kuntau. Bela diri ini mirip dengan kungfu. Bedanya, kalau kungfu tidak banyak memang tubuh lawan. Sementara dalam kuntau, jika dekat pasti memegang badan lawan. (bs)
Bersambung……………..
Nama Kannai Moti menunjukkan asal usul mereka dari suku Mandar (Sulawesi Barat saat ini). Di Sulawesi Selatan terdapat empat suku besar: Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Tahun 2004 Sulawesi Barat mengalami pemekaran dari Sulawesi Selatan.
Di Mandar istilah Kanna atau Kannai disematkan pada seseorang. Misalnya anggota pada keluarga bernama Moti, yang sesungguhnya adalah seorang kemanakan atau adik. Contohnya, Ali Kannai Garuna yang bermakna bahwa Garuna merupakan kakak/ponakan dari Ali.
Diaspora orang-orang Mandar yang sering disebut sebagai orang Bugis di berbagai daerah, karena memang memiliki latar budaya yang sama, telah terjadi seak ratusan tahun lalu. Fase awal itu dimulai pasca kejatuhan Kerajaan Gowa di Makassar di tangan VOC dan sekutunya tahun 1667-1669… Orang Mandar atau Kerajaan-Kerajaan di Mandar merupakan sekutu setia Gowa.