JAKARTA – Yayasan Bipolar Care Indonesia dan Yayasan Remisi bekerja sama dengan Lega Healing Studio menyelenggarakan acara Hari Bipolar Sedunia yang diperingati setiap 30 Maret. Pada tahun ini acara seremonial World Bipolar Day diselenggarakan pada Minggu, 2 April 2023, di Gedung Pertemuan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Jakarta Selatan.
Acara berlangsung mulai dari pagi hari sampai sore. Acara yang antara lain diisi dengan seminar dan talk show itu mengambil tema “Kenalan Lagi dengan Gangguan Bipolar Yuk!”. Acara ini banyak mendapat respons positif dari publik.
Panitia seminar mengajak para undangan yang jumlahnya mencapai ratusan itu untuk mengenal lebih jauh: apa itu gangguan Bipolar? Sampai saat ini gangguan yang banyak dialami masyarakat Indonesia itu, masih banyak disalahpahami masyarakat. Semacam terjadi miskonsepsi dan mispersepsi di masyarakat.
Acara ini menghadirkan dr. Erickson Siahaan Sp. KJ yang memaparkan tentang gejala-gejala umum mengenai gangguan bipolar dari sudut pandang medis, serta cara praktis bagaimana penanganan yang tepat agar orang dengan gangguan Bipolar dapat pulih secara optimal.
Selain itu, dokter Erick juga mengajak masyarakat agar timbul gerakan kesadaran tentang kesehatan mental. Dengan timbulnya gerakan tersebut, diharapkan pemahaman dan kesadaran masyarakat semakin meningkat. Pada gilirannya orang dengan gangguan bioolar bisa menjalani hidup keseharian dengan baik, produktif serta mandiri.
Agus Hasan Hidayat, aktivis disabilitas psikososial dari Yayasan Remisi yang juga menjadi salah seorang pembicara dalam seminar, mengajak peserta seminar melihat fenomena kesehatan mental dari sudut pandang berbeda. Yakni, bagaimana orang dengan bipolar dilihat dari sudut pandang sosial dengan pendekatan HAM.
Ia menjelaskan tentang pentingnya bagaimana cara mengatasi hambatan kultural seperti stigma dan diskriminasi yang selama ini dialmi oleh orang dengan bipolar. Menurut Agus, kebijakan pemerintah sampai saat ini masih diskriminatif terhadap orang dengan disabilitas psikososial. Harapannya ke depan, kebijakan yang masih menjadi penghambat utama untuk kelompok disabilitas psikososial tersebut bisa diubah agar orang dengan bipolar bisa mandiri dan 2 berpartisipasi penuh dalam masyarakat.
“Kebijakan baru yang pro terhadap orang dengan bipolar dengan berperspektif HAM sangat diharapkan,” ujar Agus.
Selain itu, Agus juga menjelaskan tentang pentingnya berbagai dukungan berbasis komunitas terhadap orang dengan bipolar. Dukungan ini sangat penting untuk mengatasi berbagai kebutuhan dan permasalahan yang biasanya dialami oleh orang dengan bipolar seperti diskriminasi berlapis hingga kekerasan sebagai bagian dari kelompok disabilitas.
Ananda Badudu, pembicara lain dalam seminar tersebut, bercerita pengalamannya yang menarik sebagai penyintas tentang bagaimana cara ia mengatasi isu kesehatan mental yang ia hadapi melalui musik yang sudah ia geluti selama ini.
Sebagai musisi ia menceritakan kisah unik dalam hidupnya yang sangat inspiratif terutama bagaimana ia mengatasi permasalahan mental yang ia hadapi. Menulis lagu dan bermain musik menjadi kegiatan yang ia sering lakukan untuk mengekspresikan perasaanya.
Vindy Ariella sebagai pegiat terapi seni dari lega healing studio punya cerita tak kalah menarik. Ia mengajak beberapa peserta untuk berpartisipasi dengan ikut menggambar lukisan yang bertujuan untuk lebih mengenal terapi seni. Terapi seni dengan melukis ini selain ia jalani selama ini dengan professional ia juga melakukan upaya pemulihan seperti hidup sehat, melatih mindfulness, journaling dan kegiatan menarik lainnya.
Vindy menegaskan bahwa, “menggambar bisa menjadi media yang aman untuk mengekspresikan diri, serta bisa mendapat insight lebih dalam mengenai apa yang ia rasakan dan pikirkan, serta mengeluarkan emosi yang tertahan atau katarsis.” Seminar ini dimoderatori oleh Igi Oktamiasih selaku pendiri Yayasan Bipolar Care Indonesia. (bs)