Oleh Abdul Karim Abraham *)
DESA Sumberklampok secara administratif masuk wilayah Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa ini secara geografis cukup terisolir dari keberadaan desa di sekelilingnya. Di mana letaknya berada di tengah kawasan Taman Nasional Bali Barat. Sumberklampok juga merupakan desa paling ujung barat Kabupaten Buleleng, yang berbatasan dengan Kabupaten Jembrana.
Desa Sumberklampok memiliki luas wilayah 28,96 km persegi, dengan jumlah penduduk sebanyak 3.541 jiwa. Desa ini terbagi menjadi lima banjar dinas (dusun), yakni Tegalbunder, Bukit Sari, Sumberklampok, Sumberbatok, dan Teluk Terima. Masyarakat Desa Sumberklampok terbilang multi-etnik, dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Islam.
Lantas, bagaimana sejarah keberadaan Desa Sumberklampok?
Dilansir dari website resmi Desa Sumberklampok (sumberklampok-buleleng.desa.id), desa ini pertama kali dibuka atau dihuni pada tahun 1922. Disebutkan, orang Belanda bernama AW Remmert yang hendak membuka perkebunan kelapa pertama kali berlabuh di kawasan Teluk Terima. Ia datang bersama para pekerjanya yang berasal dari Pulau Madura, sebanyak 62 orang.
Setelah hutan dibuka, lahan yang sebelumnya merupakan hutan Bali Barat itu, ditanami kelapa, pisang dan rempah. Kemudian daerah tersebut diberi nama Gedebung Bunyu. Dalam perkembangan selanjutnya, AW Remmert dibantu oleh dua orang Belanda lainnya, bernama Johan J Powneel dan Gerrit Van Schermbeek, mengembangkan lahan tersebut menjadi kawasan perkebunan kelapa dan kapuk, dengan ijin perkebunan (Persil Onderneming) diberikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1930.
Setelah Indonesia merdeka, penduduk semakin banyak berdatangan dari Madura, Banyuwangi, Pulau Nusa, dan Karangasem. Nama Gedebung Bunyu oleh masyarakat setempat saat itu dianggap kurang membawa berkah dan dirasa akan mempengaruhi kehidupan masyarakatnya, karena sebelumnya sempat terjadi wabah penyakit malaria.
Sehingga diambillah nama Sumberklampok dikarenakan banyaknya pohon jambu klampok yang tumbuh dan di bawahnya terdapat sumber mata air yang sering dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari walau airnya agak payau.
Saat itu, daerah Sumberklampok belum diakui sebagai desa definitif. Menurut kesaksian tokoh, masyarakat Sumberklampok secara administratif terbagi kedua desa, masyarakat Hindu masuk ke Desa Sumberkima, sementara masyarakat Islam masuk ke Desa Pejarakan.
Baru kemudian, pada tanggal 1 Juni 1967, Sumberklampok ditetapkan sah sebagai desa. Dan tahun itu juga dilakukan pemilihan kepala desa pertama, di mana Pawiro Sentono terpilih menjadi Kepada Desa Sumberklampok pertama.
Berikut nama-nama Kepala Desa/Perbekel Desa Sumberklampok secara berurutan: Pawiro Sentono (1967-1972), I Gst Nyoman Degdeg (1972-1973), Putu Mertadana (1973-1974), Abidin (1974), Putu Warka (1974-1996), Sariman (1996-2000), Made Nuryatha (2000-2002), I Putu Artana (2002-2013), I Wayan Sawitra Yasa (2013-sekarang).
Desa Sumberklampok dengan kebersamaan dan kegigihan masyarakat dalam memperjuangkan hak atas tanah, telah melalui berbagai rintangan dan gejolak. Puluhan tahun secara turun temurun berada di atas tanah yang diklaim milik Pemerintah Provinsi Bali. Namun, akhirnya perjuangan yang panjang itu bisa terwujud pada tanggal 18 Mei 2021, Gubernur Bali I Wayan Koster memberikan Sertipikat Hak Milik kepada semua Masyarakat Sumberklampok. (bs)
*) Abdul Karim Abraham, Ketua PC Gerakan Pemuda Ansor Buleleng