Tiap Tahapan Pemilu Berpotensi Terjadi Sengketa, Penyelenggara Harus Kuat-kuat Pegang Kode Etik

BULELENG – Pada setiap tahapan Pemilu 2024 berpotensi terjadi sengketa Pemilu. Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu harus memegang kuat-kuat Kode Etik Penyelenggara. Demikian terungkap dalam sosialisasi “Sosialisasi Penguatan Kode Etik Penyelenggara untuk Mencegah Sengketa Pemilu 2024”.

Sosialisasi dilaksanakan KPU Kabupaten Buleleng di Berutz Bar and Resto Pemaron, Singaraja, Selasa (20/12/2022). Tampil sebagai narasumber dalam acara sosialisasi tersebut Anggota Tim Pemeriksa Daerah Provinsi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ngakan Made Giriyasa, S.IP. Acara dibuka Ketua KPU Kabupaten Buleleng, Komang Dudhi Udiyana, ST.

“Setiap tahapan berpotensi terjadi sengketa Pemilu. Karena itu, para penyelenggara Pemilu harus selalu berpegang teguh pada kode etik,” ujar Ngakan Made Giriyasa, dalam diskusi yang dipandu anggota KPU Buleleng, Made Sumertana, SH.

Ngakan Made Giriyasa

Bagaimana resep agar penyelenggara selalu tetap di koridor kode etik? Menurut Giriyasa, kode etik terkait dengan masalah kepribadian. Kode etik juga berkaitan dengan karakter. “Resepnya apa? Ya perkuat pengawasan. Karena kekuasaan itu sangat menggoda. Kuatkan pengawasan,” ujarnya.

Komunikasi terlalu dekat juga bisa berbahaya, yakni memunculkan kolusi, bukan melakukan kontrol. Karena itu, kata dia, para penyelenggara Pemilu harus mampu mengatur ‘gas dan remnya’ agar tidak terjebak ke pelanggaran kode etik.

Menurutnya, selama ini persoalan etik jarang diperhatikan. Sebab, hukum di negeri ini lebih banyak memperhatikan pidana. “Jadi hukum kita lebih banyak menjerakan orang. Sementara kode etik lebih banyak ke pendidikannya. Mengayomilah, keputusan-keputusannya. Misalnya jangan mengulangi dan lain sebagainya,” jelas Giriyasa.

Menurut Giriyasa, hingga tahapan pengumuman partai politik peserta Pemilu 2024, belum ada aduan pelanggaran etik di Provinsi Bali. Meski demikian, bukan tidak mungkin tidak ada pelanggaran etik pada tahapa-tahapan Pemilu berikutnya.

Ia mengatakan, di Bali termasuk Buleleng, potensi pelenggaran kode etik lebih banyak di penyelenggara ad hoc. Misalnya PPK dan Pengawas Kecamatan. “Kenapa? Karena secara profesional mereka kurang pengalaman. Lebih banyaknya karena mereka kurang pengalaman,” katanya.

Kata dia, profesional dalam penyelenggaraan tahapan Pemilu berarti mereka mengerti apa yang dilakukan. “Di situ banyak masalah. Saya berharap di Kabupaten Buleleng tidak terjadi. Tetapi itu pernah terjadi. Jadi persoalan profesionalitas saja,” katanya.

Setiap penyelenggara Pemilu, tegas Giriyasa, harus memahami tugas, wewenang dan kewajibannya. Potensi lainnya yakni ada pada persoalan kemandirian, dan juga ada persoalan non tahapan. Menurutnya, ada kasus pengaduan etik di non tahapan. Dijelaskan, berdasarkan pengalaman, ada kasus pengaduan etik yang masuk non tahapan, artinya kasus itu tidak ada kaitannya dengan kepemiluan. Justru di luar kepemiluan, misalnya persoalan seksualitas. Juga ada yang terakhir disidangkan karena membocorkan CAT. CAT dibocorkan, itu juga pelanggaran kode etik. Kini tengah diperiksa di DKPP. (bs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *