KITA bayangkan. Kita merawang ke masa silam. Empat ratus tahun lalu. Pada tahun 1648 M. Ketika alam Buleleng masih bernama Den Bukit. Masa di mana Buleleng masih jarang penghuninya.
Suasana alam saat itu tentu sangat angker. Dipenuhi semak belukar. Pepohonannya lebat dengan ukuran raksasa. Alangkah mengerikannya jika sepintas kita bayangkan. Belum lagi kalau membayangkan isi hutan dan binatang yang hidup di dalamnya.
Sepanjang saya ingat, sebagai warga Pegayaman yang kini telah berumur 55 tahun. Saya masih sempat melihat bekas kotoran kijang di sungai-sungai kering di lembah pohon kopi. Pada saat itu usia saya sekitar umur 8 tahun. Saat itu saya diajak menjaga kopi sampai satu bulan di hutan. Saya mondok di dalam hutan. Itu kira-kira tahun 1974 M.
Di hutan yang luas dan angker seperti itulah, para panglingsir Pegayaman ditempatkan oleh Raja Buleleng, I Gusti Anglurah Panji Sakti. Para panglingsir Pegayaman mengemban tugas menjaga serangan ke Kerajaan Buleleng dari arah selatan. Pegayaman menjadi benteng alami bagi Kerajaan Buleleng, dengan para laskar yang direkrut dari Blambangan, Banyuwangi.
Luas wilayah pantauan para panglingsir Pegayaman pada zaman Kerajaan Panji Sakti sangat luas. Bersebelahan dengan Desa Padangbulia dan Pegadungan serta Silangjana, sampai ke perbatasan Tabanan. Luasnya diperkirakan mencapai 2.000 hektar.
Wilayah ini adalah wilayah benteng liar, sebagai wilayah pertahanan keamanan yang berjarak dengan kondisi belantara gege pada saat itu. Raja I Gusti Anglurah Panji Sakti kemudian memberikan wilayah ini, selain sebagai benteng pertahanan, juga sebagai lahan hunian dan garapan, dengan kontribusi nindihin Gumi Buleleng dari serangan musuh dr arah selatan.
Kumpi Bukit merupakan laskar dari Blambangan, Jawa Timur yang direkrut oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti sebagai hasil invansi pertama Raja Buleleng ke Kerajaan Blambangan, sebagai perwujudan janji beliau yang diucapkan di tahun 1611 M di puncak gunung Pegayaman. Itulah yang dikenal dengan Sumpah Panji Landung-nya. Pada saat itu, Ki Barak Panji Sakti baru berusia 12 tahun. Dengan sangat luar biasa mengucapkan Sumpah Panji Landung untuk menguasai semua yang dilihat dari ketinggian bukit Asah Panji yang sejajar dengan Munduk Pegayaman.
Sumpah ini diungkapkan dengan kobaran semangat yang sangat berorientasi kedepan, sehingga memunculkan Bumi Buleleng. Sumpah Panji Landung tersebut membuahkan hasil penyerangan ke Jawa Timur, yakni ke Kerajaan Blambangan.
Pada momen penyerangan tersebut, situasi politik di beberapa kerajaan, baik di Gelgel, Mataram Islam Jawa tengah, dan Buleleng, sangat memungkinkan untuk melakukan serangan, dan juga sangat memungkinkan untuk mendapat kemenangan.
Di Kerajaan Gelgel sedang terjadi upaya pemberontakan Agung Maruti. Di Mataram Islam Jawa Tengah juga sedang terjadi pemberontakan Adi Pati, adik dari Amangkurat I. Sementara I Gusti Anglurah Panji Sakti sedang bersemangatnya untuk mengadakan perluasan kerajaan, yang pada saat itu (tahun 1648 M), sudah memindahkan kerajaannya ke wilayah Sukasada. Sebelumnya Kerajaan Panji Sakti berada di Desa Panji, yang didirikan pada tahun 1620 M (sumber buku dr. Soegianto Sastrodiwiryo).
Kondisi situasi politik di beberapa kerajaan tersebut menjadikan Raja Buleleng bertambah semangat untuk membuktikan janji politiknya di tahun 1611 M yang diucapkan ketika beliau berumur 12 tahun. I Gusti Anglurah Panji Sakti dilahirkan di Gelgel pada tahun 1599, dari seorang Raja Gelgel yang bernama Dalem Sagening dengan seorang selir Ayu Pasek yang berasal dari Desa Panji, Den Bukit.
Ketika penyerangan ke Jawa Timur dengan sasaran Kerajaan Blambangan, Panji Sakti bertemu dengan pasukan Mataram Islam Jawa Tengah yang dipimpin oleh Tumenggung Danupaya, pada zaman Pemerintahan Amangkurat I.
Pada saat itulah terjadi kerjasama antara I Gusti Anglurah Panji Sakti dengan pihak Amangkurat I. Dan karena situasi politik di Mataram Islam sedang goncang dengan adanya pemberontakan Adi Pati, adik Amangkurat I, maka tawaran kerjasama tersebut diterima, sehingga mengondisikan I Gusti Anglurah Panji Sakti sebagai pemenang pada peperangan tersebut.
Kemenangan inilah yang membawa cerita tentang rekrutmen 100 laskar Muslim yang dibawa ke Bali, yang dipimnpin oleh tiga orang pendekar, yakni Nur Alam, Nur Awin, Nur Mubin. Mereka membawa sejumlah gajah yang diberikan oleh pihak Mataram Islam, sebagai bukti kerja sama pada saat itu.
Dan 100 laskar Muslim ini diberikan lahan sementara di Banjar Petak, Banjar Peguyangan, Banjar Jawa dan Pantai Lingga. Dengan alasan politik dan alasan sosial lainnya, maka para laskar tersebut dipindah ke arah selatan, ke wilayah perbukitan yang dipenuhi dengan pohon gatep. Di mana dalam bahasa Jawa, gatep adalah gayam.
Maka wilayah hunian baru 100 laskar Muslim dari Blambangan ini diberi nama Pegayaman. Wilayah itu sekaligus dijadikan sebagai wilayah sendi pengamanan Kerajaan Buleleng.
Kondisi hutan lebat yang pada saat itu masih merupakan gege liar, memberikan tantangan khusus bagi para pendekar gabungan pasukan goak dari Blambangan ini. Dengan restu Raja Buleleng I Gusti Anglurah Panji Sakti, para Kumpi Bukit membuka alas gege ini, yang dijadikan sebagai multifungsi bagi warga laskar penjaga Kerajaan Buleleng ini. Diperkirakan luas wilayah ini mencapai 2000 hektar.
Pembabatan alas gege menjadi wilayah Pegayaman merupakan bukti kesaktian para pendekar atau laskar Muslim yang direkrut Raja Panji Sakti. Dilihat dari kondisi hutan yang diberikan dan bisa bertahan hidup sampai sekarang. Kini keturunan Kumpi Bukit berjumlah jiwa 7.200 jiwa dengan KK 1.620. Ini belum ditambah dengan warga Pegayaman yang sudah merantau, seperti ke Lombok sejak tahun 1891, ketika Mekel Saleh diutus sebagai duta pengaman Bumi Lombok pada saat itu.
Para Kumpi Bukit dijuluki sitindih terhadap Kerajaan Buleleng. Oleh karena itu, ketika para pengkaji dan penulis menulis tentang Kerajaan Buleleng, tidak pernah bisa melepaskan kajiannya tentang peran para Kumpi Bukit yang ada di bukit Pegayaman yang selalu menjaga Kerajaan Buleleng.
Kita melihat, bukit gege Pegayaman yang dulu angker sebagai penyangga keamanan Kerajaan Buleleng di perbatasan selatan, kini telah berubah dan berbalik 100 persen. Wilayah Pegayaman kini sangat terbuka dan menuju era kemajuan, dengan dibangunnya sejumlah proyek nasional, seperti jalan shortcut yang sangat panjang, pembangunan tower kelas dunia, dan pembangunan Taman Panji Landung.
Semoga dengan berubahnya hutan gege Pegayaman yang dulu dibabat oleh para panglingsir Kumpi Bukit sitindih Pegayaman, akan memberikan dampak positif bagi warga Pegayaman pada khususnya, dan Kabupaten Buleleng serta Bali pada umumnya.
Ini artinya keberadaan Kumpi Bukit sitindih akan terus berjaya, sekalipun dalam zaman modern, di zaman digital saat ini. Kini wilayah Kumpi Bukit menjadi sasaran kajian untuk kemajuan. Kemajuan Pegayaman, Buleleng dan Bali, serta Indonesia.
Ini menambah peran strategis yang dimainkan Pegayaman dari zaman ke zaman. Dulu, kondisi Pegayaman dengan lembah dan bebukitannya, menjadi tempat yang aman untuk perlindungan para gerilyawan pejuang Bali di zaman Revolusi Fisik, yakni di tahun 1940 ke atas. Terbukti di Pegayaman ada 3 orang pahlawan nasional yang gugur ikut membela negara. Mareka adalah Bapak Fauzi, Bapak Bahrul, dan Bapak Harunan.
Para pemuda banyak bergerilya di Pegayaman sebagai tempat sembunyi dan lokasi evakuasi pejuang. Tempat tersebut dikenal dengan Tibu Tiing, Yeh Kaping.
Di Pegayaman juga ada peninggalan sejarah benteng Jepang yang dibangun oleh Jepang di tahun 1942. Bangunan benteng tersebut masih utuh sampai sekarang.
Jadi Desa Pegayaman telah berperan dari zaman Kerajaan Buleleng sampai sekarang. Tahun 1648, di zaman Kerajaan Buleleng, Raja I Gusti Anglurah Panji Sakti merekrtut 100 orang lascar Muslim menjadi laskar Goak. Pada tahun 1865, Kumpi Muhammad Muse aktif di Kerajaan Buleleng sebagai punggawa dari Pegayaman. Pada tahun 1891, tokoh Pegayaman menjadi duta pengamanan Lombok yang diutus Kerajaan Karangasem.
Sementara pada tahun 1945, tiga orang tokoh Pegayaman tampil sebagai pahlawan dalam Perang Kemerdekaan (Revolusi Fisik). Dan tahun 2022, Desa Pegayaman dijadikan sasaran proyek nasional, seperti jalan shortcut, Taman Panji Landung, dan proyek tower tertinggi di dunia.
Dengan jejak peristiwa semacam itu merupakan bukti besarnya peran warga Pegayaman dalam dinamika sejarah Buleleng. Mulai bagaimana para panglingsir Pegayaman sebagai pasukan Kerajaan Buleleng hingga pejuang Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. (y)