MENGUNGKAP PERAN STRATEGIS PEGAYAMAN SEBAGAI BENTENG PERTAHANAN (2)

Jepang Membangun 4 Benteng di Desa Pegayaman

LOKASI Desa Pegayaman yang sangat strategis jika dilihat dari strategi perang, menjadikan Jepang pada tahun 1942 sangat tertarik dengan situasi dan kondisi Pegayaman dalam membangun benteng pertahanan. Hal ini dibuktikan dengan adanya sisa-sisa benteng Jepang hingga sekarang.

Bangunan-bangunan benteng tersebut juga memberikan kenangan yang bisa dijadikan sebagai bukti bahwa Pegayaman lokasinya sangat strategis dalam pengintaian musuh.

Cerita yang kami dapat dari Bapak Hasan Sagir, tokoh Lingsir Pegayaman, yang tahu kisah pengerjaan benteng tersebut bahwa yang mengerjakan benteng Jepang ini adalah warga Desa Pegayaman dan warga dari desa-desa lainnya. Misalnya warga yang berasal dari Karangasem, Bondalem dan desa-desa sekitar Pegayaman. Pada saat itu warga harus kerja paksa untuk membangun benteng-benteng tersebut.

Jumlah benteng pertahanan ini (orang Pegayaman menyebutnya perlindungan) ada 4. Satu yang paling besar sebagai tempat tinggal tentara Jepang. Namun, bangunan ini sudah dibongkar oleh masyarakat dan dijadikan mushalla. Yang kini masih tersisa ada tiga bangunan. Satu mempunyai dua lubang yang sekarang dipenuhi dengan air. Bangunan ini diinterpretasikan sebagai tempat rapat tentara Jepang, sebagai ruangan rahasia.

Di sebelah timurnya, terlihat pada benteng tersebut ada lubang-lubang tempat mengintip. Sepertinya bangunan ini untuk meletakkan senjata berat. Dan benteng ini juga kemungkinan digunakan untuk mengintai lawan.

Lantas di sebelah timurnya lagi menghadap ke timur daya bisa disimpulkan sebagai tempat gudang senjata. Sebab, lokasi bangunan yang satu ini tersembunyi. Posisi bangunan-bangunan benteng tersebut dilihat dari sekarang itu sangat strategis untuk melihat tentara musuh yang ada di laut.

Benteng-benteng tersebut hanya dimanfaatkan sekitar 1,5 tahun. Setelah itu, tentara Jepang kembali ke negaranya karena Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh tentara Sekutu. Inilah lokasi benteng pasukan Jepang di Desa Pegayaman.

Keberadaan benteng-benteng tersebut membuktikan pada masa pendudukan Jepang di wilayah Buleleng, Desa Pegayaman dijadikan sebagai sentral pengawasan musuh yang ada di sekitar Buleleng, baik yang ada di lautan, udara dan darat.

Empat benteng tersebut berada di ketinggian Desa Pegayaman. Lokasinya gampang dijangkau oleh warga. Dari benteng ini terlihat lautan di utara.

Beberapa sumber menuturkan, pembuatan benteng Jepang dilakukan selama satu tahun, sejak Jepang masuk di Buleleng tahun 1942. Dalam pengerjaannya, bangsa Jepang ini memaksa penduduk. Termasuk para ibu dan gadis dipaksa gorong royong menumbuk bata merah untuk bahan perekat bangunan. Sementara bata merah yang juga menjadi bahan bangunan diambil paksa dari warga, baik yang ada di rumah warga, yang sedang dibuat warga, maupun yang sudah terpasang di tembok warga dipaksa untuk dibongkar. Setelah empat benteng tersebut jadi, lantas dihuni oleh penjajah Jepang dengan jumlah 80 orang.

Disamping membuat benteng ini, penjajah Jepang juga membuat jalan lebar yang bisa dilalui mobil dengan membangun jembatan yang terbuat dari pohon toop (bahasa Bali ) dengan diameter kayu 50 cm, dan panjang 6 meter, serta panjangnya 60 meter. Pohon ini diambil di sebuah tempat namanya Madie di Desa Pegayaman bagian timur dengan jarak empat kilo ke arah timur berbatasan dengan Desa Lebah. Kayu ini diangkat dengan cara dipikul kerja paksa. Para pekerja didatangkan dari Desa Karangasem.

Sejumlah dua batang diletakkan di atas sungai, berseberangan antara Desa Gitgit, Kampung Pumahan Lontar dengan Desa Pegayaman Dusun Barat Jalan Juwanyar. Jalan ini dari Dusun Pumahan Gitgit menuju sungai lontar dan menyeberang menuju Juwanyar barat jalan dan sampai di benteng Jepang yang berjumlah empat benteng. Kalau dilihat posisi benteng ini, semuanya menghadap ke arah ke laut.

Dulu, di depan benteng ini adalah sawah, dan sangat nampak laut dari ketinggian. Sehingga ketika musuh dilihat di tengah laut yang berjarak 10 kilometer dari arah Pegayaman, sangat nampak jelas kelihatan. Menurut cerita orang tua, ketika terlihat kapal musuh di tengah laut, maka serdadu Jepang memerintahkan warga untuk menutup atap rumah warga dengan daun kelapa, agar tidak terlihat dari pesawat penyerbu bahwa di sana ada rumah penduduk. (bs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *