
PESISIR selatan Kota Negara, tepatnya Desa Pengambengan yang lebih dikenal mempunyai musim yang khas yang tidak dipunyai oleh desa-desa lainnya di Jembrana. Musim ikan, sebuah musim yang memiliki karakter yang cukup unik, dimana pada saat musim ikan, para nelayan serentak pergi melaut untuk mencari ikan.
Potensi hasil tangkapan para nelayan yang cukup melimpah menyebabkan semua stakeholder yang ada bergerak dinamis. Roda ekonomi pun berjalan menggeliatkan pasar pasar kota Negara.

Bagaimana tidak, dari jumlah para nelayan yang aktif terdaftar resmi telah memiliki kartu Kusuka (kartu khusus nelayan diterbitkan oleh KKP) lebih dari 5 ribu orang. Itu diluar yang belum terdata secara resmi, bisa mencapai tambahan kisaran 3 ribu orang. Ini baru dari mata pencaharian sebagai nelayan. Belum lagi dari sektor unit pengolahan ikan (UPI), baik pembekuan ikan (coldstorate), pengalengan ikan (fish canning industry) maupun penepungan ikan dan minyak ikan (fish meal & fish oil) yang mampu menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan kisaran 4 ribu sampai 5 ribu tenaga kerja. Musim ikan memang menjadikan barokah bagi semua masyarakat pesisir selatan kota Negara.
Banyak tradisi budaya yang unik di saat musim ikan tiba. Salah satu yang cukup akrab didengar dari budaya pesisir ini adalah kata “Ngujur”. Dari segi bahasa, ngujur berasal dari kata “mujur” (nasib baik), yang kemudian diserap oleh masyarakat Melayu pesisir Pengambengan menjadi kata “ngujur”. Orang yang melakukan kegiatan ngujur sering disebut pengujur.
Sejak kapan awal mulanya sebutan ngujur ataupun pengujur ini? Menurut berbagai sumber lisan yang sempat penulis wawancarai selama ini, serta dari pengamatan langsung sejak tahun 1990-an silam, kata ngujur mulai dikenal sejak booming lemuru di tahun 1970-an.
Dan kata ngujur ini mulai populer serta meluas dikenal masyarakat Jembrana kisaran tahun 90-an sejak banyak berdiri pabrik-pabrik pengalengan ikan. Ngujur di sini identik dengan mata pencaharian yang terjadi pada saat musim ikan tiba. Hal ini sudah menjadi keseharian yang sudah biasa dan lumrah di pesisir.
Pada awalnya, saat itu, jika ada ikan-ikan yang jatuh berceceran saat rantai proses angkut dari perahu ke timbangan diambil dan dikumpulkan oleh seseorang yang sering disebut pengujur. Proses mengumpulkan ikan yang tercecer inilah disebut ngujur (nasib mujur mendapatkan ikan yang terjatuh secara gratis). Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, maka tradisi ngujur menjadi kebiasaan sehari-hari para pengujur jikala musim ikan tiba.
Para pemilik perahu yang juga pemilik ikan ataupun para belantik pembeli ikan, selama ini tidaklah melarang ataupun mencegah para pengujur yang juga sering mengambil langsung ikan dari godong yang sedang diangkut para panol menuju timbangan. Walau ikatan jaring di godong sudah bisa mengurangi jatuhnya ikan. Ya mereka berpikir dengan membiarkan para pengujur sudah bisa berbagi dengan sesama, asalkan tindakan para pengujur tidaklah berlebihan. Toh ikan hasil tangkapan juga merupakan rejeki pemberian dari Alloh SWT. Intinya indahnya berbagi rejeki bersama-sama di kala musim ikan tiba.
Inilah kenyataan hidup, pemandangan yang sudah lazim di masa banjir ikan. Keseharian yang telah mentradisi di kalangan masyarakat pesisir.
Apalagi dalam menentukan hukum profesi “ngujur” ini yang karena keseharian sudah menjadi tradisi, apakah termasuk kategori haram ataupun halal, termasuk mencuri atau bukan, tentulah harus mempunyai cara pandang yang bijak dan berbeda. Antara ngujur sebagai profesi maupun mata pencaharian sehari-hari yang mencari ikan secara gratis tanpa seijin pemiliknya untuk diperjual belikan, ataukah berbeda ngujur sebagai perbuatan meminta ikan sekadar untuk keperluan lauk dengan seijin pemiliknya serta tidak diperjualbelikan, di sinilah sudut pandang yang berbeda dalam konteks kata ngujur itu tadi.
Sepakat ataupun tidak sepakat, untuk meminimalisir peluang terjadinya ngujur dari atas perahu hingga menuju timbangan memang diperlukan pengawasan melekat dari seorang pengawas perahu. Akan tetapi hal tersebut kadang kala masih lolos juga karena kelihaian para pengujur ini.
Ya di sinilah diperlukan sebuah proses penyadaran ataupun pembinaan dari berbagai pihak. Kata pemberdayaan yang nantinya dapat ataupun mampu memberikan sebuah mata pencaharian lain sebagai pengganti, yang mampu mengikis perlahan lahan sebuah warisan budaya mengambil ikan secara gratis atau lebih umumnya dengan nama “ngujur” ini. (bs)
Foto-foto Eka Sabara