DENPASAR – Tim Hukum Gede Aryastina alias Jerinx Superman Is Dead (Jrx SID), Jumat (11/12/2020) mendatangi Pengadilan Negeri Denpasar untuk menyerahkan memori banding. Hadir Ketua Tim Hukum Jerinx , I Wayan ‘Gendo’ Suardana, S.H., bersama rekan-rekannya. Penyerahan memori banding dari Penasihat Hukum Jrx SID dilakukan di PTSP PN Denpasar.
Gendo menjelaskan, memori banding setebal 72 halaman dan juga dilampiri catatan verbatim dalam setiap persidangan berdasarkan rekaman persidangan dan ad inforandum lainnya. Karena dalam berita acara persidangan serta putusan, majelis hakim yang memeriksa perkara Jrx SID hanya memasukkan pertimbangan hukum yang memberatkan Jrx SID. Dalam satu pokok bahasan yang meringankan dibuang, yang memberatkan dimasukkan. “Keterangan penting tidak masuk,” ujar Gendo.
Lebih lanjut Gendo menguraikan, hal yang tidak dimasukkan sebagai pertimbangan oleh majelis hakim adalah hubungan konseptual antara IDI dengan WHO. Dalam hal anggota IDI yakni para dokter yang menjalankan rekomendasi WHO yakni rapid test. Padahal, keterangan dr. Widiyasa dalam persidangan ada menerangkan SOP wajib rapid test berasal dari WHO, lalu beberapa alat bukti surat yang menunjukkan hubungan konseptual antara IDI dengan WHO hilang, sehingga pernyataan Jrx yang mengatakan IDI Kacung WHO seolah-olah bukan fakta. “Itu (pernyataan Jrx IDI Kacung WHO) seolah-olah fitnah,” katanya.
Gendo menerangkan, keterangan latar belanag Jerinx SID yang anti rasis, humanis dan tidak punya rasa benci terhadap dokter tidak masuk dalam berita acara dan putusan. Padahal, menurutnya, itu penting, karena hal tersebut bisa membedakan ujaran biasa dengan ujaran kebencian, karena itu bisa dipakai menguji apakan Jerinx SID mempunyai niat untuk menghasut membenci dokter atau tidak. “Hakim gagal memahami itu (antara ujaran biasa dengan ujaran kebencian),” tegas Gendo.
Dalam memori banding Penasihat Hukum Jrx SID, ia juga menegaskan bahwa majelis hakim yang memeriksa perkara Jrx SID tidak adil karena hanya memasukkan keterangan Ahli Bahasa Jaksa Penuntut Umum (JPU), Wahyu Aji Wibowo. Padahal dalam persidangan ahli bahasa JPU pendidikan formalnya bahasa Inggris, tidak menunjukkan CV di persidangan dan tidak ada di website sebagaimana yang ahli bahasa JPU terangkan.
Lalu, ahli bahasa Penasihat Hukum Jrx, Drs. Jiwa Atmaja, yang mengurai soal niat dalam soal ujaran kebencian tidak dimasukkan sebagai pertimbangan oleh majelis hakim. Sehingga hakim hanya menguji dari bentuk-bentuk bahasa saja. Gendo juga menilai bahwa majelis hakim telah melanggar Pasal 163 KUHAP, dan pada akhirnya keterangan yang memberatkan Jrx SID saja yang digunakan sebagai pertimbangan. “Ini (putusan) seperti dipaksakan,” tegas Gendo.
Ia menjelaskan, postingan Jrx SID pada tanggal 13 Juni 2020 dengan 15 Juni 2020 dipaksakan menyambung oleh majelis hakim. Sedangkan fakta persidangan, baik keterangan saksi dan ahli menyatakan bahwa postingan tanggal 15 Juni 2020 tidak ditujukan kepada siapapun, termasuk IDI. Sehingga seharusnya postingan tanggal 13 Juni 2020 tidak bisa disambungkan dengan postingan tangal 15 Juni 2020.
“Hakim memaksakan seolah-olah sebagai perbuatan berlanjut dengan kehendak yang sama,” terang Gendo.
Terakhir, hal yang memberatkan dimasukkan dalam putusan, yakni perbuatan Jrx SID yang membuat perasaan dokter tidak nyaman, Gendo menilai hal tersebut tidak ada tolak ukurnya sehingga itu merupakan asumsi dari majelis hakim. Lalu terkait perbuatan walk out Jrx SID yang dinilai oleh majelis hakim menghina persidangan, Gendo juga mengajukan informasi tambahan kepada majelis hakim banding bahwa pada sidang sebelumnya (4 Desember 2020), ada terdakwa yang merokok pada saat sidang dengan agenda pembacaan putusan, dan tindakan itu hanya diberikan peringatan oleh salah satu hakim yang memeriksa perkara Jrx SID.
“Dari semua hal tersebut, kami melihat bahwa majelis hakim ingin menghukum Jrx SID,” tegasnya. (bs)