KAHMI: RESPON PENOLAK RUU CIPTAKER, PEMERINTAH JANGAN REPRESIF

JAKARTA – Respon dan aspirasi yang menolak RUU Cipta Kerja harus disikapi pemerintah dengan persuasif dan dialogis, bukan dengan represif dan memonopoli kebenaran dengan melakukan justifikasi (pembenaran) terhadap RUU Cipta Kerja. Pernyataan-pernyataan pemerintah atau para elit politik untuk lebih bijak (wisdom), menyejukkan dan tidak menimbulkan pernyataan yang konfrontatif, spekulatif, ketidakpastian dan tidak ada solusi.

Sigit Pamungkas

Demikian pernyataan Majelis Nasional KAHMI atas disahkan UU Cipta Kerja yang respon dengan penolakan oleh sejumlah pihak. Pernyataan yang ditandatangani Koordinator Presidium MN KAHMI, Sigit Pamungkas, dan Sekjen Manimbang Kahariady dikirim kepada pers, Selasa (13/10/2020).

Dalam padangan KAHMI, substansi RUU Cipta Kerja harus dipastikan telah sesuai dengan landasan filosofis, yuridis dan sosiologis, yaitu penciptaan lapangan kerja serta mempermudah investasi, pengaturan ekosistem investasi, dan kemudahan serta perlindungan usaha mikro dan kecil sebagai bagian utama dalam mempercepat kemajuan Indonesia.

“RUU Cipta Kerja mengandung semangat pembaharuan dalam memberikan kemudahan izin berusaha dan terobosan hukum untuk menangkap peluang invesitasi. Namun agar tidak melanggar prinsip negara hukum yang demokratis harusnya RUU ini dibentuk dengan cermat, hati-hati dan kajian yang dilakukan lebih teliti untuk minimalisasi resiko yang merugikan bangsa di masa depan.”

KAHMI meminta agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan, para pihak yang berkepentingan dalam melakukan penilaian terhadap RUU Cipta Kerja tidak menggunakan pendekatan politik atau bisnis, tetapi menggunakan batu uji (testing stone) ideologi Pancasila, Konstitusi UUD NRI 1945, teori dan asas hukum yang berlaku secara universal serta sesuai dengan nilai prediktibilitas (predictability), stabilitas (stabilitiy), keadilan (fairness).

Sementara itu, atas dugaan keberpihakan kepada investasi asing dan terjadinya intoleransi ekonomi, KAHMI meminta agar peraturan pelaksananya harus disusun secara jelas dan tidak ada substansi yang kabur (Obscuur Libel), apalagi yang merugikan rakyat. Peraturan pelaksananya harus dapat mencegah oligarki ekonomi dan dapat mengarus utamakan ekonomi rakyat.

Dalam pandangan KAHMI, sinkronisasi sejumlah pasal yang ditolak sebagian kelompok masyarakat menunjukkan bahwa ada permasalahan dalam pasal-pasal tersebut. Pertentangan antar pasal harus dapat dipecahkan dengan melakukan harmonisasi antar undang-undang dan integrasi lembaga pelaksananya. Jika harmonisasi substansi tanpa harmonisasi kelembagaan, maka tidak akan menjadi penyelesaian masalah yang kredibel. Oleh karena itu, kebijakan deregulasi dan debirokratisasi harus dilaksanakan secara konsisten, terukur dan otentik.

KAHMI juga berpendapat, harus ada kemudahan mengakses dokumen resmi UU, agar tidak menimbulkan kecurigaan bahwa ada yang disembunyikan dari isi UU tersebut. Akses naskah RUU yang resmi merupakan inti masalah dan telah menimbulkan masalah baru, yang kontra produktif karena banyak beredar narasi hoax dan membingungkan masyarakat. Hal ini tidak sejalan dengan UU KIP yang pada dasarnya menjamin hak publik untuk mengakses dan mendapatkan informasi yang benar dari Badan Publik. Kewajiban Pemerintah dan DPR adalah memastikan bahwa rakyat tetap well informed dengan kebijakan yang ditetapkan.

“Dalam waktu 3 bulan semua peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan pelaksana dalam undang-undang ini harus sudah ada. Proses penyusunan tersebut harus dilakukan secara cermat sehingga tidak ada rumusan yang bermasalah yang berpotensi merugikan rakyat. Law and order harus ditegakkan dan menjamin adanya perlindungan dan kepastian hukum sesuai dengan amanat dan semangat konstitusi,” demikian KAHM. (bs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *