Oleh Lewa Karma **)
HARI Pohon Sedunia yang diperingati setiap 21 November adalah peringatan global yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pohon bagi ekosistem dan kehidupan.
Hal ini menandakan adanya momen kesadaran kolektif untuk mendorong masyarakat, komunitas, hingga pemerintah untuk bersatu dalam aksi penanaman pohon. Aksi nyata ini merupakan terjemahan praktis dari ajaran Ekoteologi. (Abdillah, M, 2001).
Program ini juga sejalan dengan aksi nyata yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama dalam upaya melibatkan diri secara langsung melalui program “Menanam Sejuta Pohon Matoa” sebagai manifestasi ekoteologi.
Gagasan ekoteologi yang diusung Kementerian Agama terus diperkuat sebagai langkah konkret dalam menanggapi permasalahan lingkungan. Ekoteologi (asal kata Ecology dan Theology) adalah studi yang menghubungkan isu-isu ekologis dengan perspektif keagamaan dan spiritual.
Ekoteologi mengemas nilai-nilai keagamaan dan kearifan lokal sebagai bagian dari upaya menjaga lingkungan merupakan langkah strategi yang perlu terus dikembangkan. Nilai keagamaan dijadikan acuan, karena itu adalah kesadaran terdalam manusia.
Ekoteologi juga diharapkan mampu menguatkan iman, merawat lingkungan, sebagai Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025–2029, dan Trilogi Kerukunan.
Ekoteologi yang digaungkan bersinergi dengan muatan Kurikulum Cinta yang dituangkan dalam program menanam satu juta pohon Matoa di awal tahun 2025. Menanam pohon merupakan langkah kecil yang bisa dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem di muka bumi.
Allah SWT dengan tegas melarang perusakan alam (wala tufsidu) setelah Dia menciptakan-Nya dalam keadaan seimbang dan baik. Dimana Al Qur’an Surat Al-A’raf ayat 56 adalah dasar etika lingkungan dalam Islam. “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Kemudian dalam hadist dijelaskan pula keutamaan menanam pohon bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. “Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih tanaman, lalu (hasilnya) dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, melainkan baginya akan bernilai sedekah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Melakukan eksploitasi atas hutan dan alam termasuk di dalamnya merusak pohon tanpa tujuan dan manfaat yang jelas merupakan perilaku yang dianggap “berbuat kerusakan” oleh Tuhan.
Sementara menanam pohon dan bibit akan bernilai sedekah dan manfaatnya untuk semesta. Dengan demikian, program ekoteologi dan menanam pohon yang digagas oleh Menteri Agama RI Nasarudin Umar merupakan ikhtiar nyata menjaga alam.
Pohon dapat dimaknai sebagai bagian integral kosmos. Dalam banyak tradisi keagamaan, alam, termasuk pohon, dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang “sacral” dan memiliki nilai intrinsik, bukan sekadar sumber daya untuk dieksploitasi manusia. Dengan demikian, merawat pohon dianggap sebagai bagian dari ibadah dan wujud ketaatan terhadap pencipta.
Menanam pohon merupakan tanggung jawab moral dan spiritual, dimana ekoteologi menanamkan kesadaran bahwa manusia memiliki tanggung jawab (khalifah) untuk menjaga dan melestarikan alam. Merusak lingkungan, termasuk menebang pohon secara liar, dipandang sebagai pelanggaran moral dan spiritual.
Ekoteologi juga merupakan aksi iklim berbasis iman: sebagai gerakan menanam pohon dalam rangka Hari Pohon Sedunia menjadi aksi iklim yang nyata didorong oleh kesadaran spiritual.
Keberadaan pohon telah mendukung keberlanjutan hidup manusia dan semesta. Berikut ini adalah manfaat pohon di sekitar kita. (1) Menyerap Karbon Dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen. (2) Mencegah Bencana Alam seperti banjir dan tanah longsor (melalui fungsi akar sebagai pengikat tanah). (3) Menjaga Keanekaragaman Hayati sebagai habitat fauna. (4) Menciptakan iklim mikro yang lebih baik (peneduh dan pendingin alami). Artinya, penanaman pohon secara luas dapat memberikan banyak manfaat dan menimbulkan dampak kompleks pada siklus hidrologi (Bonnesoeur, 2019).
Sinergi antara ekoteologi dan Hari Pohon Sedunia secara langsung diharapkan dapat mewujudkan harmoni bersama semesta melalui dua dimensi utama. Pertama, Harmoni vertikal (Manusia-Tuhan) dimana melalui penanaman pohon, manusia menjalankan perintah agama dan spiritual untuk menjaga ciptaan-Nya. Aksi ini menjadi ibadah ekologis yang memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.
Kedua, harmoni horizontal (Manusia-Alam) dimana penanaman dan pemeliharaan pohon adalah tindakan altruistik yang memberikan manfaat ekologis bagi seluruh makhluk hidup, menciptakan keseimbangan, dan memastikan keberlanjutan bumi bagi generasi mendatang. Sebagai contoh, tingkat keparahan degradasi hutan di banyak daerah di daerah tropis sangat memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan struktur hutan dan komposisi spesies (Chazdon, 2003), sehingga aksi penanaman pohon secara massif mutlak diperlukan.
Relasi antara ekoteologi – Hari Pohon Sedunia juga menjadi bukti nyata tentang konsep Hablum Minal Alam (hubungan dengan alam) adalah konsep teologis praktis yang esensial dalam mewujudkan harmoni bersama semesta. Ekoteologi memberikan landasan teologis, Hari Pohon Sedunia menyediakan platform aksi, dan Hablum Minal Alam adalah tujuan spiritual yang menyatukan keduanya.
Dalam konteks ajaran agama, hubungan manusia tidak hanya terbatas pada Hablum Minallah (hubungan dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan sesama manusia), tetapi juga Hablum Minal Alam (hubungan dengan alam).
Hablum Minal Alam merupakan pilar keseimbangan yang menegaskan bahwa alam bukan objek eksploitasi, melainkan subjek ciptaan yang harus dihormati dan dipelihara. Merusak alam dianggap sebagai tindakan merusak keseimbangan yang telah ditetapkan oleh Pencipta.
Hablum Minal Alam juga amanah (Trusteeship) dimana manusia diamanahkan sebagai khalifah atau penjaga bumi. Manifestasi dari amanah ini adalah memastikan keberlanjutan dan kesehatan ekosistem.
Lebih lanjut, penanaman pohon sering juga dipuji sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan, baik melalui produksi barang dan jasa ekologis (Chazdon dan Uriarte, 2016 ; Weston et al., 2015).
Dengan demikian, Hari Pohon Sedunia bukan sekadar sebagai agenda seremonial, tetapi seharusnya sebagai manifestasi nyata dari iman dan tanggung jawab (Hablum Minal Alam) yang diperkuat oleh kesadaran ekoteologi, kita dapat secara efektif mewujudkan harmoni abadi dengan semesta. Menanam satu pohon adalah menunaikan satu ibadah bagi bumi. []
Ketarangan :
*) : Tulisan dalam rangka Hari Pohon Sedunia 21 November 2025
**) : 1. Kasi Pendis Kemenag Buleleng
2. Mahasiswa S3 Prodi IAK di IMK Singaraja

