BULELENG – Warga Pegayaman sering menjumpai ‘manusia purba’ di hutan liar Gege Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Tinggi mereka sekitar satu meter, berkulit hitam dan hanya memakai sempak dari dedaunan. Terakhir, warga Pegayaman menjumpai ‘manusia purba’ ini Kamis (9/5/2024).
“Warga menyebutnya ‘manusia kurcaci’ karena seukuran dengan sosok-sosok kurcaci dalam film-film,” kata tokoh warga Pegayaman, Ketut Muhammad Suharto, Rabu (15/5/2024).
Ia mendapatkan cerita ‘manusia purba’ tersebut dari anggota Burdah Burak Pegayaman, yang biasa disapa Daruk. Di sela-sela latihan burdah di rumah Ketut Muhammad Suharto, Daruk menceritakan bahwa Kamis (9/5/2024), ia menjumpai ‘manusia purba’ di hutan liar Gege Pegayaman. Lokasinya sekitar 6 kilometer arah timur selatan Tower Turyapada.
Daruk bercerita sempat mengejar ‘manusia kurcaci’ tersebut. Ingin menangkapnya. Namun, ‘manusia hutan’ itu lari dengan cepat, dan menghilang di dalam hutan.
Apa itu bukan monyet atau makhluk penampakan? “Bukan. Itu jelas manusia. Tapi kecil. Seperti kurcaci,” kata Daruk, yang tinggal di Dusun Kubu, Desa Pegayaman ini.
Atau itu mungkin halunisasi? “Orang saya sering ketemu dan sering saya kejar, namun tidak pernah berhasil ditangkap. Sering sekali ketemu, di daerah selatan Tower Turyapada,” katanya.
Daruk menceritakan bahwa ia beberapa kali menjumpai ‘manusia purba’ tersebut. Yang pertama ditemukan kulitnya agak hitam dan pakai sempak hijau. Rambutnya sebahu. Tinggi badannya kurang lebih satu meter. Ia menjumpai ‘manusia purba’ itu di suatu tempat yang dikenal masyarakat bernama Tegal Kayu Puun, Bun Melingseh.
Kedua, Daruk bertemu ‘manusia purba’ ini dengan sosok yang berbeda. Kepalanya botak, kulitnya agak putih. Ukurannya lebih pendek dari yang pertama, kurang dari satu meter tingginya.
Keraguan atas cerita Daruk ditepis juga oleh warga Pegayaman yang lain, Muhtadi, yang juga anggota Sekaa Burdah Burak Pegayaman. Muhtadi tinggal di Dusun Kubu, Desa Pegayaman, sekitar lokasi pembangunan Tower Turyapada.
Menurut Muhtadi, komunitas pencari anggur gunung markisa sering menjumpai ‘manusia purba’ ketika mencari buah tersebut ke dalam hutan Gege Pegayaman. Komunitas ini sering keluar-masuk hutan Gege untuk mencari anggur markisa. Kemudian hasilnya dijual di Bedugul atau sekitarnya.
Komunitas ini mencari anggur markisa di hutan arah timur-selatan Tower Turyapada hingga hutan di timur lapangan golf Bali Handara. Hutannya masih asri dan liar, serta tidak berpenghuni. Jarang dikunjungi manusia.
Selain mencari anggur markisa, komunitas ini juga kadang-kadang mencari kayu, rotan, mencari burung, dan kadang-kadang berburu kijang untuk keperluan upacara adat di subak Pegayaman. “Masih banyak kijang di hutan itu,” jelasnya.
Nah, saat bersama-sama masuk ke hutan Gege yang lebat itu, komunitas pencari anggur markisa Dusun Amertasari ini sering berjumpa ‘manusia purba’. Mereka sering mengejarnya, tapi selalu gagal menangkap ‘manusia purba’ tersebut. “Maunya diajak berbicara, tapi mereka selalu melarikan diri dan menghilang ke dalam rerimbunan pepohonan hutan,” tutur Muhtadi.
Dijelaskan, selain tubuhnya pendek atau cebol seperti kurcaci, telapak kaki ‘manusia purba’ lebar dan panjang. Mungkin karena tidak pernah memakai alas kaki sehingga mengembang. Muhtadi mengaku melihat ‘manusia purba’ itu tidak hanya di siang hari, tetapi juga di malam hari.
Bahkan menurut Ketut Muhammad Suharto, selain di tengah hutan Gege seperti diceritakan Daruk dan Muhtadi, warga Pegayaman juga menjumpai ‘manusia purba’ sudah masuk desa. Bulan lalu, ‘manusia purba’ itu berjenggot panjang dan membawa tombak berjalan di lembah di Dusun Kubu, tepatnya di Tembara.
“Warga Pegayaman juga pernah menjumpai ‘manusia purba’ berjalan bergerombol membawa alat-alat seperti alat musik kendang. Ada perempuannya di antara mereka,” tutur Ketut Muhammad Suharto, yang juga pemerhati sejarah ini.
Menurutnya, cerita warga, Daruk dan Muhtadi tentang ‘manusia purba’ yang menghuni hutan Gege Pegayaman ini menarik ditelusuri lebih lanjut. Siapa sebenarnya mereka? Apakah semacam manusia suku anak dalam seperti di Sumatera atau seperti di daerah lainnya? Kenapa belakangan sering dijumpai warga? Apakah mereka sudah mulai terganggu?
“Ini menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Kalau bisa kita nginap di hutan itu, menunggu mereka. Apalagi kalau bisa kita berbicara atau ngobrol dengan dengan mereka,” kata Ketut Muhammad Suharto. (bs)
Ket. Foto: Hutan Gege Desa Pegayaman
Mohon yg berwenang memberikan edukasi ke masyarakat pentingnya menjaga alam semesta dengan membiarkan satwa atau mahluk lain hidup dengan aman. Bila perlu penghuni hutan ini dipelihara, dirawat dengan menyediakan makanan, menghimbau masyarakat agar tidak menangkapnya, melestarikan hutan sekitarnya shg mereka nyaman hidup disana. Dan perlu diingat bahwa beberapa satwa sudah dilindungi UU.
“Ketika kita menjaga alam, maka alam pun menjaga kita.
Semoga semua mahluk berbahagia❤
Sesuai dg saran putu Suryaningsih masyarat sekitarnya perlu menjaga dan melestarikannya supaya tidak punah kalu memang benar itu manusia purba yg berada di alas gege pegayaman pungkasnya warga pegayaman yg bernama Daruk dam muhtadi ketut Muhamad Suharto
diharapkan selalu pemerkasa Budaya di Bali khususnya
Di daerah desa Pegayaman
Kenapa mesti di kejar saat ketemu mahluk itu. Sepanjang tidak mengganggu kita, biarkan saja. Biarkan mereka hidup dan menjaga hutan itu.
Semua harus dilindungi Manusia alam dan tumbuhan ,hutan harus dipelihara dan dirawat agar lestari,jgn di abat demi sebuah pembangunan apalgi hutan bali utara yg sangat memverikan suplay air bagi daerah selatan. Para investor harus bayar pajak utk pelestarian hutan sehingga hasil pajak bisa utk masy yg memelihara hutan.segera perbaiki regulasi sehingga hutan hutan bisa lestari dan bertahan selamanya. Lingkungan yang baik akan memberikan kehidupan yang baik buat anak cucu.suksma
Menurut pendapat sy, mreka adalah mahluk ciptaan Tuhan yg sdh menempati wilayah tsb sejak lama, dgn keberadaan kita ( manusia modern ) justru kita yg sdh mengusik keberadaan nya, hendak nya dr Pemetintah setempat dan pusat, mencarikan jalan tengah demi melestarikan Aset Bangsa tsb.
Klo bisa direkam ya direkamlah. Bawalah HP/kamera klo masuk hutan. Biar ada dokumentasi. Dgn begitu kita tidak berasumsi mahluk jadi2an atau mahluk gaib. Selanjutnya mungkin perlu konservasi alam/hutan bagi kelangsungan hiduop mereka.