Oleh Drs. Ketut Muhammad Suharto
MEMANDANG Pegayaman sebagai sebuah desa yang seakan terisolir di sebuah bebukitan, dan mencermatinya dengan seksama sungguh sangat menarik. Dalam bidang pendidikan, misalnya. Kalau dianalisa, sistem pendidikan yang selama ini berjalan di Pegayaman memberi corak pada watak orang Pegayaman.
Sebelum tahun 1955, orang Pegayaman memadati kehidupannya dengan ilmu agama. Waktunya mereka habiskan untuk belajar ilmu agama, dengan kualitas dan kuantitas yang terus meningkat seiring gerak zaman.
Sebelum tahun 1955 tersebut, kebanyakan orang Pegayaman memilih menempuh pendidikannya di pondok pesantren. Sejumlah pondok pesantren menjadi tujuan orang Pegayaman untuk mempelajari ilmu agama. Seperti pondok pesantren di Desa Kediri, Lombok Barat yang dipimpin oleh TGH Hafizd. Atau di pondok pesantren di Desa Bengkel Utara, Kediri yang dipimpin oleh TGH Saleh Hambali.
Pada tahun-tahun itu juga banyak orang Pegayaman yang menuntut ilmu agama di pulau Jawa, tepatnya di pondok pesantren di Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
Jauh sebelum itu, pada tahun 1900 M, banyak tokoh Pegayaman yang sudah menuntut ilmu agama di kota Al Makkatul Mukarromah. Di kota suci umat Islam tersebut para tokoh Pegayaman sampai bermukim puluhan tahun. Sebut saja para tokoh Pegayaman yang belajar ilmu agama di Makah saat itu seperti TGH Hamam. Beliau yang menjadi pelopor orang Pegayaman untuk belajar ilmu agama ke Makah. Kemudian menyusul TGH Bahzah, TGH Mahfudz, TGH Ilyas, dan yang lainnya.

Ini membuktikan bahwa hasrat menuntut ilmu orang Pegayaman sangat luar biasa. Terjadi dari generasi ke generasi. Bagi orang Pegayaman, menuntut ilmu agama merupakan hal utama.
Kondisi inilah yang membuat kuatnya dasar-dasar agama Islam dalam masyarakat Pegayaman. Membekas dan terimplementasi dengan baik dari generasi ke generasi sampai sekarang. Dan berlanjut dengan metode dan sistem pendidikan sorogan yang diajarkan pada sistem pendidikan nonformal yang berkembang sampai sekarang.
Kitab-kitab kajian dan hafalan yang disuguhkan pada generasi Pegayaman adalah kitab-kitab dasar dalam bersuci, beribadah, bergaul dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Di antara kitab-kitab tersebut yaitu kitab perukunan, kitab masailal, kitab Hidayatus shalikhin, kitab Fathul Qorib, kitab sifat dua puluh dan Al barzanji. Ini adalah kitab-kitab berbahasa Melayu dengan tulisan Arab Pegon, yang mana ketika kitab ini dibaca sudah dipastikan bacaan yang muncul adalah aksennya bahasa Melayu. Ini berlangsung sampai sekarang. Dan kitab-kitab inilah sebagai dasar dalam pelaksanaan keseharian warga Pegayaman.
Ketaatan dalam melaksanakan ibadah, tata sopan santun dalam pergaulan, baik sesama Muslim maupun nonmuslim, juga bagaimana dalam bersuci, prilaku anak terhadap kedua orang tua, dan takzim terhadap guru, semua itu yang membuat bertahannya adab keseharian generasi Pegayaman sampai sekarang.
Bila Anda masuk dan berkeliling di dalam Desa Pegayaman, janganlah heran Anda akan selalu disalami dengan jabat tangan oleh anak-anak dan orang-orang yang berpapasan dalam perjalanan Anda. Semua ini adalah bukti dari hasil pendidikan non formal sorogan yang ditularkan dengan kebiasaan-kebiasaan dan seakan-akan menjadi keharusan untuk dilakukan. Inilah yang bisa dikatakan sebagai adab kebiasaan dalam pergaulan di Pegayaman.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan pola pikir zaman, kebutuhan pendidikan semakin meningkat. Pada tahun 1955 M, berdirilah sebuah lembaga pendidikan formal yang dimotori oleh tiga orang mujaddid Pegayaman, yakni Ustadz Guru Arifin, Ustadz Guru Wayan Jamil, TGH Habibullah. Tiga tokoh pembaharu inilah yang mendirikan sistem pendidikan klasikal dengan berbasis Islam dengan nama Madrasah Miftahul Ulum.
Keberadaan sekolah formal ini memberi warna baru dalam sistem pendidikan di Desa Pegayaman. Dan karena fanatiknya pola pergaulan keseharian di Pegayaman, dari yang penulis dapat cerita, kaum perempuan masih diharamkan untuk mengikuti sistem pendidikan ini. Mungkin ini karena dalam keseharian selama dalam proses pendidikan antara laki-laki dan perempuan bersamaan dalam satu kelas (masalah muhrim).
Murid pertama dari Madrasah Ibtida’iyah Miftahul Ulum ini masih bisa dijumpai dan ngobrol tentang kisah sekolah pertama ini. Di antara murid pertama di sekolah tersebut Wak Safik dan Daud Syah.
Sedangkan tiga serangkai pendiri sekolah ini sekaligus menjadi guru kelas pada saat itu. Alhamdulillah sampai sekarang sekolah ini maju pesat dengan gedung bangunan yang standar dan murid yang banyak. Sekolah ini terus berkembang, dengan berdiri juga Madrasah Aliyah Miftahul Ulum.
Dengan dinamikanya yang pesat, kelembagaan pendidikan yang dimiliki Desa Pegayaman sangat lengkap. Ada empat TK, tiga SD dan satu MI, satu SMP negeri, satu SMP swasta, satu MTs swasta dan satu MA.
Para tamatan sekolah dasar dan menengah di Pegayaman kini sudah terbiasa untuk melanjutkan keluar daerah. Warga Pegayaman kini sangat menyadari bahwa sistem pendidikan formal ini sangat mempengaruhi pola kehidupan warga Pegayaman sampai sekarang ini. Dengan dinamika yang berbeda dan tentunya mengubah atau mengembangkan pola pendidikan yang lalu dari yang terbiasa sorogan non formal menuju klasikal formal.
Perubahan ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Kalau kita lihat, dampak positif pendidikan formal adalah para tamatannya punya kesempatan untuk bisa mengisi ruang-ruang kepegawaian yang dibutuhkan oleh pemerintah.
Sedangkan tamatan-tamatan pendidikan sorogan non formal, peluang itu tidak bisa dimiliki. Ini disebabkan tamatan ini tidak memiliki syarat-syarat utama untuk bisa masuk menjadi pegawai negeri, seperti salah satunya ijazah formal.
Di lain pihak, cara berpikir para tamatan pendidikan klasikal formal lebih vulgar dan sedikit meniadakan adab, sebagaimana yang ditekankan pada pola sorogan non formal. Ini kenyataan yang dirasakan, seperti takzim pada seorang guru di sistem klasikal formal sangat-sangat berbeda dengan adab takzim seorang santri pada ustadz dan atau kiainya.
Ini sebuah keniscayaan. Sebuah perubahan zaman yang tidak bisa dihindarkan. Sekarang tinggal kita menyikapinya dengan cara apa dan bagaimana.
Menyikapi kondisi ini, di Pelayanan muncul sebuah sistem pendidikan informal yang secara masif diterapkan dalam kondisi apapun dalam kehidupan keseharian masyarakat. Kedua orang tua dan masyarakat selalu saling memantau dan memperhatikan antar sesama, saling mengingatkan, baik dari mulai dalam rumah tangga dan lingkungan sekitar. Dan ini berjalan sampai sekarang.
Contoh yang sangat sederhana, jika keluar rumah harus minta izin, ketika bertemu bersalaman, memakai bahasa Bali halus dengan yang lebih dewasa, jam maghrib tidak ada yang keluar rumah dan warung tidak buka. Kalau bertamu jika malam mulai habis sholat Isya, dan jika siang habis solat Ashar, serta banyak lagi aturan-aturan tersirat yang harus dilakukan dan menjadi perhatian orang tua kepada anak-anaknya, dalam bertetangga dan melakoni kehidupan sosial.
Kenyataan tiga sistem pendidikan ini tidak lepas pantauan dalam kehidupan keseharian di Desa Pegayaman. Untuk pendidikan non formal jadwal pelaksanaannya, yaitu pengajian orang tua (ibu-ibu) sehabis sholat Ashar di musholla-musholla, pengajian orang tua (laki-laki) sehabis sholat maghrib di masjid.
Sementara untuk anak anak dan remaja sehabis sholat maghrib di rumah-rumah pribadi dan para ustadz di pesantren-pesantren. Juga sehabis sholat Subuh dengan tempat yang sama.
Sedangkan pendidikan informal dilaksanakan di masing-masing rumah tangga dan hubungan interaksi sosial keseharian yang saling memperhatikan.
Inilah sistem pendidikan yang membentuk karakter mental orang Pegayaman, yang secara keseharian berjalan dengan dinamika yang utuh dan murni. []
*) Penulis adalah Pemerhati Sejarah dari Pegayaman

