Menyoal Keterlibatan Masyarakat dalam Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali

BERBAGAI isu dan peristiwa yang terjadi dan diberitakan melalui berbagai kanal informasi publik muncul silih berganti, membuat masyarakat melupakan bahwa kini Pemerintah Provinsi Bali tengah berjibaku mewujudkan mimpinya. Geliat pembangunan mahakarya monumental, bersejarah dan memiliki makna strategis tengah dilaksanakan pada kawasan timur Provinsi Bali.

Proyek prestisius yang saat ini dibangun di kawasan Kabupaten Klungkung adalah Pusat Kebudayaan Bali, pada areal eks galian C di Desa Gunaksa. Merupakan proyek yang memiliki nilai strategis dan sangat prestisius, karena bertujuan mengubah kawasan yang sudah tidak produktif.

Desa Gunaksa yang dulu dikenal sebagai daerah pertambangan galian C terbesar di Bali, meninggalkan bekas galian yang tidak mungkin dikembalikan sebagai lahan pertanian produktif. Kawasan ini diharapkan dapat menjadi penggerak perekonomian masyarakat. Pembangunan yang dinegasi sebagai Penanda munculnya Pusat Peradaban Dunia, didedikasikan sebagai penanda Bali Padma Bhuwana merefleksikan perjalanan 500 tahun revolusi peradaban Bali.

Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali yang dirancang dengan pola yang komprehensif dan terintegrasi, diharapkan menjadi pusat perekonomian baru, menjadi kebanggaan masyarakat Bali, dan bermanfaat dalam skala lokal, nasional, regional dan global. Melalui penggunaan dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) sebesar Rp 1,5 triliun, pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali telah dimulai sejak bulan Januari 2022. Proyek tersebut dibangun di atas lahan seluas 334 hektar, yang terbagi atas zona inti, zona penunjang dan zona penyangga.

Untuk menggugah kesadaran kita semua, tulisan kecil ini mengingatkan kembali betapa proyek Pusat Kebudayaan Bali dibangun dengan perencanaan yang sangat matang dan kompleks. Zona Inti memiliki 15 fasilitas pentas seni tradisi dan modern, 12 museum yang bersifat tematik, auditorium, desa difabel, international convention centre, exhibition centre, pusat promosi barang eksport, fasilitas pariwisata, pelabuhan marina dan taman rekreasi yang mengedepankan konsep ekologis, panggung terbuka utama berkapasitas 15.000 orang, panggung lainnya, dari berkapasitas 3.000 sampai 4.000 orang.

Pada zona penunjang akan dibangun hotel, apartemen, dan usaha pariwisata. Sedangkan zona penyangga direncanakan dibangun hutan dan taman ekologis tematik, dengan luas berkisar 70 sampai 90 hektar. Secara konseptual proyek prestisius ini mengusung konsep terintegrasi, terpadu, lengkap, komprehensif, hijau dan ramah lingkungan. Maka tidak salah jika Pusat Kebudayaan Bali diberikan label Penanda Peradaban Bali Era Baru.

Pembangunan proyek ini diperkirakan akan dikerjakan selama rentang waktu tiga sampai empat tahun, sekitar tahun 2024 diharapkan telah rampung. Rentang waktu yang cukup untuk melibatkan semua komponen, termasuk masyarakat sekitar agar proyek tersebut selesai tepat pada waktunya, sesuai rencana. Deru mesin, hilir mudik kendaraan proyek dan rutinitas kesibukan para pekerja kini meramaikan kawasan tersebut.

Sementara di berbagai sudut desa yang terdapat di sekitaran proyek tersebut, di antaranya Desa Gunaksa, dan Tangkas, masyarakat belum dapat membayangkan seperti apa wujud proyek prestisius tersebut. Setidaknya tidak usah terlalu muluk-muluklah, yang saat ini mereka pertanyakan adalah peran apa yang dapat mereka lakukan pada proyek itu? Cukupkah mereka dialokasikan menjadi pendengar dan penonton yang baik, atau dilibatkan sebagai pekerja proyek.

Sementara saat ini telah terpilih pelaksana proyek adalah tenaga ahli pada bidangnya. Tulisan kecil ini ingin mengingatkan semua kalangan, bahwa masyarakat sekitar wajib mendapatkan kemanfaatan langsung dari pembangunan yang dilaksanakan.  

Realitas yang terjadi menunjukkan Pandemi Covid-19 telah merubah peta kehidupan masyarakat, banyak diantara mereka yang kehilangan pekerjaan di perkotaan dan kembali ke desa. Sektor pariwisata yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama tidak dapat lagi diandalkan. Fenomena urban bias telah menjadikan kawasan perkotaan sebagai rujukan masyarakat desa mencari pekerjaan meninggalkan desanya. Terkonsentrasinya pembangunan di kawasan perkotaan, berdampak pada tingginya pertumbuhan perekonomian.

Data resmi Statistik tahun 2019 menunjukkan angka kemiskinan di pedesaan sebanyak 15,15 juta dengan persentase sebesar 12,85%. Jumlah tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kemiskinan di perkotaan, hanya sebesar 9,99 juta orang, dengan persentase sebesar 6,69%.

Langkah pemerintah dengan memberikan atensi khusus terhadap upaya pengurangan kemiskinan di desa, salah satunya menjadikan desa sebagai kawasan terpadu diharapkan dapat menjadi pusat perekonomian. Idealnya pembangunan Pusat Kebudayaan Bali di Desa Gunaksa Klungkung juga mengedepankan tujuan tersebut.

Pemerintah sebagai penggerak utama proyek tersebut dapat melibatkan masyarakat secara langsung. Jikapun saat ini belum dapat dilibatkan dengan dalih pembangunan proyek saat ini membutuhkan keahlian khusus agar kekuatan konstruksinya optimal, maka lebih banyak melibatkan pihak swasta (pengusaha). Tetapi setelah pembangunan utama berjalan, paling tidak ketika pengerjaan proyek pendamping seperti pemasangan paving, pembuatan taman, dan lainnya dilaksanakan, masyarakat desa sekitar dapat dilibatkan. Sehingga mengurangi mobilitas masyarakat meninggalkan desanya untuk bekerja di kota, karena lapangan pekerjaan telah tersedia di desa.

Melalui penerapan skema padat karya tunai, masyarakat dapat terlibat secara langsung menjadi bagian dari realisasi pembangunan. Pada inisiasi collaborative governance sebagai paradigma baru praktek pemerintahan, yang direalisasikan pada program kerja pemerintah, pihak swasta dapat berperan serta bersama pemerintah dan masyarakat. Pemerintahan yang kolaboratif merupakan alternatif dari pola penerapan aktor tunggal yang dijalankan pemerintah, solusi praktek pemerintahan yang semakin kompleks (McIvor, 2019); (Hayter and Nisar, 2018).

Mungkin timbul pertanyaan bagaimana skema padat karya tunai itu diterapkan. Skema padat karya tunai bersifat swakelola, yang mengatur koordinasi pelaksanaan padat karya tunai di desa dalam pembangunan desa. Kebijakan tersebut mengharuskan pembangunan desa wajib mengalokasikan 30% untuk upah kerja yang dihitung delapan jam kerja dalam satu hari, dan dibayarkan langsung kepada masyarakat yang terlibat dalam sistem harian. Melalui keterlibatan tenaga kerja lokal pada proyek pemerintah, masyarakat desa tidak hanya sebagai penonton.

Sebagai bagian dari masyarakat global, kemanfaatan penerapan skema padat karya tunai dengan paradigma collaborative governance bagi pemerintah adalah komitmen ketaatannya terhadap Sustainable Development Goals (SDGs). Sebagai rencana aksi global yang telah disepakati, diharapkan tercapai pada tahun 2030.

Salah satu isu strategis yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif, menyeluruh serta pekerjaan yang layak untuk semua. Hal tersebut menjadi acuan pemerintah Indonesia dalam menetapkan skala prioritas pembangunan nasional, ditindaklanjuti dengan penerbitan kebijakan dan program pemerintah.

Maka seidealnya Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemilik dan penggerak langsung proyek tersebut menerapkan skema padat tunai, dalam melibatkan masyarakat desa di sekitar proyek secara langsung. Terlebih pengerjaan proyek tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga keterlibatan masyarakat dapat berlangsung secara berkelanjutan. Dapat menampung tenaga kerja yang berasal dari masyarakat usia produktif, dan pemerintah berhasil menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi masyarakat.

Kolaborasi pemerintah, swasta dan masyarakat juga merupakan ikon penerapan good governance, sebagai sebuah konsensus antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. (*) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *