BULELENG – Sangat unik, berbeda dengan upacara yadnya lainnya yang biasanya dilaksanakan menggunakan tetabuhan gong. Namun kali ini upacara Dewa Yadnya di Pelinggih Cakra Geni diiringi drumband.
Pelinggih Cakra Geni memiliki kaitan dengan sejarah Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, tahun 2016 yang berlokasi di kediaman mantan Kades Anturan, Buleleng I Made Gina (almarhum) diresmikan bersama para pejuang/veteran Buleleng. Pada zaman penjajahan para pejuang Kemerdekaan RI asal Buleleng yang berjalan ke barat maupun ke timur dan singgah di Desa Anturan tidak dapat dilihat oleh pasukan NICA/Belanda yang datang ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang yang telah kalah dalam Perang Dunia II.
Di pelinggih itu, bersemayam yang disebut Ida Bhatara atau Dewa Bagus Cakra Geni dan Dewa Ayu Cakra Geni. Pelinggih tersebut telah ada sejak zaman kolonial Belanda dan telah diperbaharui atau dipugar dan dilaksanakan ngenteg linggih/upacara besar.
Upacara menyambut HUT ke-77 Kemerdekaan RI dari pagi digelar berbagai pesta, seperti lomba makan kerupuk, lari karung dan upacara bendera secara sederhana oleh pengempon. Dilanjutkan jelang malam beberapa warga Desa Anturan berbondong-bondong membawa sarana bebanten dan menghaturkan sembah bakti kepada para pejuang dari pukul 18.00 s/d 22.10 Wita.
Jro Ketut Wibawa Putra, selaku pengempon pelinggih kepada awak media mengatakan, sejarah keberadaan pelinggih itu tidak lepas dari perjuangan rakyat melawan kolonial Belanda saat zaman sebelum kemerdekaan. Dari rangkaian cerita maupun pawisik yang didapatkan, area pelinggih ini ketika itu digunakan para pejuang yang bergerilya berlindung saat berjuang melawan penjajah.
“Dahulu zaman penjajahan/revolusi, para pejuang berkumpul dan minta perlindungan maupun petunjuk rute yang akan ditempuh selanjutnya. Bahkan menurut cerita leluhur kami yang berlindung di sini tidak terlihat oleh tentara Jepang maupun Belanda bahwa ada pemuda kumpul. Justru sebaliknya pejuang dapat mengetahui keberadaan tentara Belanda,” kata Jro Ketut Wibawa Putra.
Jro Wibawa sebelumnya menempuh pendidikan strata dua di sebuah perguruan tinggi di Texas, Amerika Serikat. Ia sempat menderita sakit dengan tumbuhnya benjolan di bagian dadanya. Dokter menyarankan pulang, dan sesampainya di rumah, ia mendapatkan pawisik untuk memugar pelinggih itu.
Dia menganggap lalai tidak bisa menjaga sejarah. “Setelah saya diberikan cobaan mengalami sakit dan sadar diberikan tugas menjaga leluhur. Begitu juga pesan dari bapak saya jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah dan ini harus kami teruskan seperti kali ini ada drumband untuk mengiringi para pejuang dan ini harus saya jalani,” jelas Jro Wibawa Putra.
Namun, setelah kakeknya tidak lagi menjadi pemangku, pelinggih ini sempat tidak terawat. Bahkan sebagian keluarga sempat berkeinginan untuk memindahkan ke lokasi lain.
“Kami juga sempat lalai dalam menjaga sejarah, ketika itu beliau yang memberi pawisik, marah. karena tidak ada yang menghargai anugerah kemerdekaan Bali dan Indonesia yang telah diperjuangkan dengan darah serta jiwa raga. Bukan pamrih, beliau hanya ingin kemerdekaan dihargai,” jelasnya.
Sedangkan iringan-iringan tetabuhan drumband yang dimainkan dari siswa-siswi SMP Saraswati Seririt, yang mana musik itu identik dengan perjuangan tentara hanya digelar dari jalan raya kemudian masuk ke areal pelinggih dan memutar-mutar sembari bernyanyi lagu kemerdekaan dan diikuti tetabuhan gong dari anak muda Desa Anturan. (bs)