SEMARAPURA – Generasi muda harus diberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam berdemokrasi. Anak-anak muda jangan sampai dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan elektoral secara praktis, dan hanya berpihak pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Mereka harus mempunyai pikiran untuk kepentingan yang lebih luas, serta bagaimana memberikan yang terbaik bagi republik ini.
Hal itu diungkapkan Kordiv Pengawasan Bawaslu Bali, I Wayan Widyardana Putra, saat mengisi acara sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif di Obyek Wisata Kali Unda, Sabtu (19/6/2021).
“Hari ini Bawaslu berbicara nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai kesadaran yang dibangun agar anak muda dapat memahami hak dan kewajibannya dalam berdemokrasi”, ungkap Wayan Widy, pejabat asal bumi lahar itu.
Menurutnya, situasi saat ini tidak baik dan tidak semakin baik, akan tetapi masih lebih baik daripada situasi era Orde Baru. Namun Bawaslu ingin menanamkan pola penyadaran, dimana harapannya masyarakat tahu hak dan kewajibannya. Artinya pemilu itu tidak menjadi eksklusif milik penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Bawaslu dan peserta pemilu, partai politik dan peserta pemilu perorangan. Dalam negara demokrasi pemilu adalah salah satu jalan yang legal dalam mendapatkan kekuasaan maka ini harus diselamatkan jika kita ingin republik ini selamat. Tidak hanya diselamatkan dari sisi administrasinya saja, namun dari substansinya harus juga diselamatkan.
Kalau ingin pemilu itu selesai di administrasi saja seperti saat Orde Baru pemilu itu sudah selesai. Di jaman Orde Baru, setiap lima tahun sekali pemilu itu ada, namun tidak pernah tercapai substansi pemilu itu sendiri. Pemilu sekarang substansi pemilu itu tercapai walaupun belum sempurna.
“Sekarang masyarakat hanya dijadikan objek, setiap pemilu dibutuhkan dimanfaatkan suaranya untuk pemenangan kepentingan elektoral sesaat, maka timbullah pragmatisme di masyarakat, sing ade pis sing milih,” ucap anggota Bawaslu Bali dua kali periode ini .
Lebih jauh dijelaskan, dalam setiap proses demokrasi itu ada hak dan kewajiban politik sebagai warga negara, dan itu harus disadari oleh anak-anak muda sekarang. “Pahami apa yang boleh dan tidak boleh dan berani menolak sesuatu yang tidak benar. Kemudian berani mengajak orang lain untuk bersama-sama melakukan perlawanan. Di mana perlawanan itu tidak bersifat sporadis dan barbar,” katanya.
Maksudnya, jelas Widy, adalah perlawanan secara intelektual, dengan memberikan pemahaman terhadap siatuasi yang ada dan memberikan pemahaman yang baik kepada lingkungannya. Suatu saat pemahaman yang seperti ini akan menjadi gerakan sosial dan gerakan politik dan dapat merubah apapun demi tujuan yang baik.
Pola kesadaran ini oleh Bawaslu coba dilembagakan. Maka Bawaslu membentuk pusat pendidikan pengawasan pemilu partisipatif. Ada empat hal penting yakni empat area yang sedang digarap oleh Bawaslu saat ini. Pertama, area edukasi yaitu area mendidik dan memberikan pemahaman lewat jalan apa kita melaksanakan area ini. Salah satunya adalah memberikan sosialisasi, membuat pojok pengawasan, melakukan penelitian, mempublikasikan dan membuat Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP).
“Dalam sekolah itu akan diajari kesadaran berbangsa dan bernegara, situsional saat ini, apa yang boleh dan tidak boleh dan berani mengajak orang untuk hal-hal yang baik dalam pemilu serta diajarkan kecakapan seorang sebagai pengawas pemilu,” jelasnya.
Sementara area partisipasi, menurut Widy, Bawaslu mendorong kelompok-kelompok masyarakat yang sudah ada agar berada pada alur dan pemikiran yang sama tentang demokrasi. Area teknologi dan inovasi, dalam hal ini Bawaslu telah membuat aplikasi yang bernama Gowaslu dimana masyarakat dapat melaporkan dugaan pelanggaran pemilu melalui aplikasi ini. Terakhir area kaderisasi, dimana Bawaslu juga sudah bekerjasama dengan teman-teman pramuka dengan membentuk Saka Adhyasta Pemilu yang bertujuan untuk mengkader dari teman-teman Pramuka untuk dapat menjadi bagian daripada pengawas pemilu partisiptif. (bs)