DENPASAR – Masyarakat Bali diminta tidak panik terhadap munculnya prediksi bakal terjadinya gempa megatrush dan tsunami setinggi 20 meter di selatan Jawa. “Gempa megatrush itu hasil penelitian para ahli. Itu merupakan prediksi dari hasil pemodelan,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, Made Rentin, Kamis (1/10/2020).
Menurut Rentin, Bali merupakan salah satu daerah yang berpotensi terkena megatrush tersebut. Oleh karena itu, kata dia, pihaknya terus melakukan upaya mitigasi dan membangun kesiapsiagaan di kalangan masyarakat Bali.
“Masyarakat tidak perlu panik. Mari selalu tingkatkan kewaspadaan. Tidak hanya megatrush, dengan posisi geografis Bali, memiliki berbagai ancaman terjadinya bencana alam, gempa, tsunami, erupsi gunungapi, banjir, angin puting beliung, longsor, termasuk likuifaksi,” kata Rentin.
Seperti diketahui, Badan Meterologi Klimatologi Geofisika (BMKG) menjelaskan soal potensi terjadinya megatrush dan tsunami 20 meter di selatan Jawa. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam rilisnya, 28 September 2020, menjelaskan, sejak beberapa tahun yang lalu beberapa peneliti telah melakukan kajian potensi kejadian tsunami di Pantai Selatan Jawa yang dapat mencapai ketinggian 20 meter akibat gempa bumi megahtrust. Metode, pendekatan, dan asumsi yang dilakukan dalam tiap penelitian tersebut berbeda, namun hasilnya kurang lebih sama, yaitu potensi terjadinya tsunami dengan ketinggian sekitar 20 meter, dalam waktu 20 menit gelombang tiba di pantai sejak terjadinya gempa.
Menurut Dwikorita, penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Widjo Kongko (2018), Ron Harris (2017 – 2019), dan yang terakhir oleh tim lintas lembaga yang dipimpin oleh ITB dan didukung oleh BMKG. Hasil penelitian tersebut diperlukan untuk menguatkan sistem mitigasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami, mengingat potensi kejadian gempa bumi dan tsunami di Indonesia tidak hanya berada di pantai selatan Jawa saja, namun berpotensi terjadi di sepanjang pantai yang menghadap Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, ataupun pantai yang berdekatan dengan patahan aktif yang berada di laut (busur belakang atau back arc thrusting, ataupun membentang sampai ke laut, dengan berbagai potensi ketinggian gelombang tsunami.
“Penelitian terakhir oleh ITB yang didukung oleh BMKG, KKP, dan BIG dilakukan berdasarkan analisis data-data kegempaan BMKG dan pemodelan tsunami dengan beberapa skenario. Skenario terburuk mengasumsikan jika terjadi gempa bumi secara bersamaan di 2 segmen megathrust yang ada di selatan Jawa bagian barat dan selatan Jawa bagian timur, yang mengakibatkan tsunami dengan tinggi gelombang maksimum 20 meter di salah satu area di selatan Banten, dan mencapai pantai dalam waktu 20 menit sejak terjadinya gempa,” jelasnya.
Menurutnya, mekanisme kejadian tsunami yang dimodelkan ini serupa dengan kejadian tsunami Banda Aceh tahun 2004, yang juga diakibatkan oleh gempa bumi dengan Mw 9.1 dan tsunami mencapai pantai dalam waktu kurang lebih 20 menit. Kata dia, hasil pemodelan ini dapat juga menjadi salah satu acuan bahwa lahan di pantai yang berada pada ketinggian lebih dari 20 meter, relatif lebih aman terhadap ancaman bahaya tsunami. Hasil pemodelan tersebut juga penting untuk penyiapan jalur dan tempat evakuasi, ataupun untuk penataan lahan di daerah rawan tsunami.
Dwikorita menjelaskan, sejak tahun 2008 Pemerintah Indonesia telah mengantisipasi potensi kejadian tsunami akibat gempa bumi megathrust seperti yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004, dan juga seperti yang telah dimodelkan oleh beberapa peneliti tersebut di atas. “Jadi Sistem Peringatan Dini yang dibangun di BMKG memang disiapkan untuk memonitor dan mengantisipasi kejadian gempa bumi (termasuk gempa bumi megathrust) dengan magnitudo dapat mencapai lebih dari Mw 9, dan memberikan peringatan dini potensi datangnya gelombang tsunami. Dalam waktu 3 s/d 5 menit setelah kejadian gempa bumi, Sistem Monitoring dan Peringatan Dini tersebut yang dioperasikan dengan Internet of Things (IoT) dan diperkuat oleh super computer dan Artificial Intelligent (AI), secara otomatis dapat menyebarluaskan informasi peringatan dini tsunami ke masyarakat di daerah rawan gempa bumi dan tsunami, melalui BNPB, BPBD, media massa, ataupun beberapa moda diseminasi (sms, email, website, sosial media). Dengan penyebarluasan peringatan dini tsunami tersebut maka masih tersisa waktu kurang lebih 15 s.d 17 menit untuk proses evakuasi, apabila waktu datangnya tsunami diperkirakan dalam waktu 20 menit,” jelasnya.
Ia mengaku, adanya penelitian yang ditindaklanjuti dengan peringatan dini belum dapat sepenuhnya menjamin keberhasilan upaya pencegahan terjadinya korban jiwa dan kerusakan akibat tsunami, tanpa kesiapan masyarakat, pemerintah daerah dan seluruh pihak terkait. Menurutnya, masih sangat diperlukan kesungguhan pemerintah daerah dan masyarakat setempat bersama-sama Pemerintah Pusat untuk melakukan berbagai langkah kesiapan pencegahan bencana. Langkah tersebut harus didasarkan pada edukasi masyarakat agar mampu melakukan perlindungan dan penyelamatan diri terhadap bencana gempa bumi dan tsunami, juga merespons Peringatan Dini secara cepat dan tepat. Peran media sangat penting dan efektif dalam mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat secara tepat, untuk meningkatkan kewaspadaan tanpa menimbulkan kepanikan. (bs)